:
Oleh Amrln, Jumat, 19 Agustus 2016 | 09:32 WIB - Redaktur: Gusti Andry - 665
Jakarta, InfoPublik - Dalam skema efisiensi anggaran, Pusat Kajian Keuangan Negara sarankan pemerintah siapkan peta jalan (road map) lebih jelas, karena efisiensi anggaran perlu didasarkan atas kebutuhan, seperti dikatakan Presiden, money follow program.
"Jadi, pemerintah perlu memilah dan memilih belanja mana yang tidak prioritas, belanja yang tidak perlu, dan belanja yang track off," kata Direktur Pusat Kajian Keuangan Negara Prasetyo di Jakarta, Kamis (18/8), yang menilai mengatakan pemerintah cukup berani merencanakan pemangkasan terhadap alokasi belanja kementerian/lembaga.
Banyak kalangan menilai RAPBN 2017 yang disampaikan Presiden Joko Widodo dalam Sidang Paripurna MPR (16/8) cukup realistis dengan kondisi perekonomian tahun ini. Pendapatan dari penerimaan pajak diperkirakan Rp1.495,9 triliun, lebih rendah dibandingkan APBN-P 2016 yang sebesar Rp1.359,1 triliun.
Sementara itu dari sisi belanja, secara umum juga diperkirakan mengalami penurunan sebesar 0,60% dibandingkan APBN-P 2016. Komponen belanja yang mengalami penurunan terbesar adalah belanja hibah, turun sebesar 74,15%, belanja utang luar negeri turun 8,63%, belanja subsidi turun 1,62%, dan belanja non kementerian/lembaga turun sebesar 1,23%.
Untuk jangka panjang, dapat mengevaluasi kembali belanja pegawai yang jumlahnya rata-rata mengalami kenaikan sebesar 14% setiap tahun dengan persentase kurang lebih 26% dari total belanja pemerintah pusat. Cara yang dapat ditempuh pemerintah dapat menunjuk Kementerian Pendayagunaan Aparatur dan Reformasi Birokrasi untuk membuat database pegawai, sehingga dapat menjadi acuan belanja pegawai dari sisi tunjangan. Sebab, tunjangan yang diberikan sering tidak searah dengan kinerja yang diharapkan.
Dalam jangka pendek, pemerintah dapat mengevaluasi tata kelola belanja bantuan sosial, yang disalurkan melalui kementerian/lembaga. Belanja bansos di kementerian/lembaga selama ini dinilai tidak efisien, bahkan cenderung rawan disalahgunakan. Diketahui, realisasi belanja bansos tahun 2014 sebesar Rp97,9 triliun yang tersebar di 17 K/L, tahun 2015 sebesar Rp97,1 triliun yang tersebar di 11 K/L dan untuk tahun 2016 sebesar Rp53,4 triliun. Pilihannya hanya ada dua, dihapus atau dikelola oleh satu kementerian saja.
“Apalagi, berdasarkan Laporan BPK-RI dalam LKPP Tahun 2015 disebutkan tata kelola dana bansos selama ini meragukan dan tidak akuntabel. BPK menemukan terdapat kesalahan klasifikasi, dana bansos masih mengendap di rekening penampungan K/L dan rekening pihak ketiga, penyaluran dan pertanggungjawaban realisasi belanja bansos tidak sesuai ketentuan, serta masih banyaknya dana bansos yang tidak sesuai dengan penggunaannya,” ujarnya.
Diketahui, belanja kementerian/lembaga dalam RAPBN 2017 direncanakan sebesar Rp758,4 triliun lebih rendah dibandingkan pagu APBN-P 2016 yang sebesar Rp767,8 triliun atau turun sebesar 1,24%.
Data sementara kementerian/lembaga yang mengalami pemangkasan belanja terbesar di antaranya Kementerian Perhubungan, dari Rp105,6 triliun menjadi Rp97,1 triliun, Kepolisian RI dari Rp79,3 triliun menjadi Rp72,4 triliun, Kementerian Pendidikan dari Rp43,6 triliun menjadi Rp38,9 triliun, dan Kementerian Kesehatan dari Rp58.3 triliun menjadi 62,7 triliun.
Sementara itu, alokasi belanja yang sebenarnya tidak perlu dikurangi adalah belanja non subsidi, yang justru turun dari Rp83,4 triliun (APBN-P 2015) menjadi Rp82,7 triliun. Belanja non subsidi ini misalnya subsidi pangan, subsidi pupuk, subsidi benih, dan Public Service Obligation (PSO). “Nawacita sebenarnya dapat diakselerasi melalui Dana Desa dan subsidi non energi ini. Sebaiknya jangan dipotong,” kata.
Selanjutnya, belanja transfer ke daerah yang baru-baru ini menuai protes dari daerah, juga direncanakan mengalami pemangkasan sampai 4,18%. Komponen yang mengalami pemangkasan adalah dana bagi hasil (DBH) turun sebesar 4,97% dan Dana Alokasi Khusus (DAK) turun sebesar 19,57%.
Kemudian komponen yang mengalami kenaikan yaitu Dana Alokasi Umum (DAU) naik sebesar 4,79%, Dana Otonomi Khusus naik sebesar 8,19%, dana transfer lainnya (DID) naik sebesar 33,3%, serta dana desa naik sebesar 21,70%. “Rencana pemangkasan dana transfer ke daerah di satu sisi dapat mendorong pemerintah daerah untuk lebih mandiri. Namun kebijakan ini perlu dievaluasi dan didiskusikan lebih mendalam, karena juga menyangkut proyek-proyek pemerintah di daerah,” pungkasnya.