- Oleh MC PROV GORONTALO
- Jumat, 15 November 2024 | 05:19 WIB
: Archipelagic and Island States (AIS) Forum meluncurkan program AIS Blue Hub dan AIS Research and Development Center sebagai side events Konferensi Tingkat Tinggi AIS Forum yang pertama, di Hotel Mulia, Nusa Dua, Kabupaten Badung, Bali, Senin (9/10/2023)/Tim Komunikasi dan Media KTT AIS Forum 2023
Badung, InfoPublik - Wilayah pesisir merupakan benteng pertahanan dari laut menuju daratan. Keberadaan kawasan tersebut bisa menjadi penentu apakah benteng bisa berdiri tegak ataupun sebaliknya. Salah satu penentunya adalah keberadaan mangrove. Tanaman yang membentuk kawasan hutan di perairan pesisir itu, diketahui memiliki banyak manfaat banyak untuk bisa mencegah ancaman kerusakan pesisir.
Mangrove merupakan kumpulan tanaman yang dapat tumbuh pada lumpur aluvial di kawasan pantai dan muara sungai, serta eksitensinya bergantung kepada pasang surut air laut. Mangrove atau bakau yang punya peran penting dalam menjaga keseimbangan lingkungan. Misalnya, menyediakan nutrisi bagi makhluk hidup di perairan, menjernihkan air dan menjaga salinitas garam.
Kehadiran mangrove juga bisa mencegah terjadinya abrasi pantai, mengurangi dampak dari gelombang pasang, ataupun menghindari dampak buruk dari bencana tsunami. Semua itu, bisa terjadi jika pesisir dijaga oleh kawasan hutan mangrove yang tumbuh dengan sehat dan terawat. Tak hanya menjadi penjaga pesisir, mangrove juga memiliki manfaat lain yang tak kalah hebatnya. Manfaat tersebut tidak lain adalah kemampuan menyerap karbon dioksida (CO2) yang bisa memicu perubahan iklim.
Mangrove menjadi penyerap karbon yang sangat besar dan bisa mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) yang saat ini tengah diturunkan oleh pemerintah. Dengan kemampuan menyerap karbon 77 persen lebih banyak dari vegetasi di darat seperti hutan, karena disimpan di bawah air laut (karbon biru), mangrove menyimpan potensi yang besar. Saat ini, potensi karbon biru di Indonesia mencapai 3,4 giga ton atau sekitar 17 persen dari karbon biru di dunia.
Laman resmi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyebutkan ekosistem mangrove di Indonesia menjadi yang terluas di dunia dengan 3.364.080 hektare. Atau sekitar 22,6 persen dari total luas hutan mangrove di seluruh dunia. Pemerintah Indonesia melaksanakan perluasan kawasan mangrove hingga bisa mencapai 600 ribu ha pada 2024 mendatang. Ini lantaran besarnya manfaat mangrove untuk kawasan pesisir sekaligus sebagai pengendali perubahan iklim.
Hal itu merujuk pada Peraturan Presiden Nomor 120 Tahun 2020 tentang Badan Restorasi Gambut dan Mangrove. Melalui kegiatan tersebut, target rehabilitasi dan restorasi mangrove diharapkan bisa terwujud bersamaan. Secara keseluruhan, mengelola hutan mangrove tak cukup dengan kebijakan dan komitmen kuat dari Pemerintah Indonesia saja. Lebih dari itu, perlu dukungan dari pihak-pihak yang memiliki kepedulian agar kedua ekosistem pesisir itu bisa tetap terjaga dan bermanfaat.
Di antara cara untuk menjaga ekosistem mangrove tersebut, adalah melalui adopsi teknologi. Seperti yang dilakukan oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melalui Monitoring Mangrove atau MonMang, aplikasi canggih berbasis teknologi digital untuk memantau hutan mangrove. Aplikasi pemantau tersebut bekerja dengan menggunakan kecerdasan buatan (AI), yakni Automated Mangrove Species Identification (AMSI).
Peneliti Pusat Riset Oseanografi (P2O) BRIN Wayan Eka Dharmawan ketika dikonformasi di Jakarta, Senin (9/10/2023) menjelaskan, MonMang untuk mempromosikan urgensi dari Indeks Kesehatan Mangrove (Mangrove Health Index/MHI) dalam tata kelola mangrove di tanah air. Aplikasi ini merupakan pertama diciptakan di dunia untuk memantau mangrove. MonMang dibangun dengan pendanaan dari Forum Negara-Negara Pulau dan Kepulauan (Archipelagic and Island States/AIS) yang memiliki partisipan 51 negara. Proses tersebut melibatkan sejumlah institusi dari berbagai negara.
Agar bisa bermanfaat banyak dan mencapai cakupan yang luas, penggunaan MonMang tidak hanya terbatas pada peneliti saja. Namun juga, bisa dimanfaatkan oleh masyarakat umum yang tertarik pada kelestarian hutan mangrove dan sekaligus tertarik pada sains. Menurut Wayan, MonMang tercipta dilatari oleh kegiatan riset beberapa institusi terkait pengawasan hutan mangrove yang dilakukan secara terpisah dan data dari hasil monitoring disimpan secara terpisah.
Selain itu, salah satu masalah yang terjadi adalah institusi yang berbeda menggunakan metode yang berbeda. Dengan begitu, data yang dihasilkan tidak bisa dikomparasi dengan data yang lain. Masalah yang terakhir adalah standar berbeda yang digunakan dalam mengawasi hutan mangrove. Dari permasalahan tersebut perlu adanya sebuah platform untuk menyatukan pengawasan mangrove secara terintegrasi.
MonMang pernah diperkenalkan pihak Wayan Eka Dharmawan, pada kegiatan side event AIS Forum 2022 The Blue Innovation Solution Conference di Bali International Convention Center (BICC), kawasan pariwisata terpadu Nusa Dua, Kabupaten Badung, Bali pada 5 Desember 2022. Aplikasi ini bisa diunduh di telepon seluler (ponsel) pada platform terbuka seperti AppStore dan Playstore karena telah mengadopsi sistem operasi Android dan IOS. Aplikasi tersebut juga diklaim sangat ramah dan mudah digunakan oleh siapa pun.
Tetapi, untuk bisa mengoperasikan MonMang, diperlukan pelatihan dan sertifikasi agar bisa menambahkan data pengawasan hutan mangrove ke dalam basis data yang ada. Ada sejumlah fitur disematkan dan bisa dimanfaatkan oleh pengguna MonMang seperti AMSI untuk proses identifikasi jenis mangrove. Caranya, pengguna cukup memfoto bagian mangrove dengan kamera pada fitur AMSI, maka informasi umum terkait jenis mangrove tersebut langsung tampil di layar ponsel.
Fitur AMSI memberi pengalaman baru kepada para penggunanya untuk mengetahui sebaran spasial dan sementara (temporal) dari beberapa nilai analisis yang disajikan. Misalnya, MHI, karbon stok, dan indeks vegetasi fungsional. Kemudian, ada juga fitur Learning Centre. “Ini fitur untuk pemula, komunitas peneliti amatir (citizen scientist), jurnalis, pelajar, mahasiswa, dan masyarakat umum. Isinya adalah materi edukasi pengenalan hutan mangrove. Semua informasi itu langsung tersaji di layar ponsel, jadi tidak perlu jadi ahli mangrove hanya untuk mengetahui seluk beluknya,” ucap Wayan Eka.
Sejak dikembangkan pada 2014 lalu, MonMang yang hadir saat ini merupakan versi ketiga. Untuk setiap versinya selalu dilakukan pembaruan data dan kemudian pada versi ketiga dibentuk basis data tentang mangrove. MonMang juga sudah diperkenalkan kepada otoritas di pesisir negara Fiji. Bahkan sudah diujicobakan untuk memantau lahan mangrove di Suva, Fiji. “Pengguna aplikasi MonMang tidak hanya dari Indonesia saja tetapi juga dari negara seperti Jerman, Jepang, Uni Emirat Arab, dan masih banyak lagi,” terang dia.
Wayan mengutarakan, pada 15 Mei 2023 lalu MonMang bahkan sudah dipresentasikan di depan para petinggi Organisasi Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) kantor perwakilan Indonesia. Menurutnya, aplikasi ini tidak dapat berdiri sendiri dan perlu kolaborasi dengan berbagai institusi. Ini supaya basis data di dalamnya dapat selalu diperbarui dan dapat digunakan sebagai media edukasi bagi siapa pun.
Penciptaan aplikasi MonMang seperti yang dilakukan pihak BRIN sejalan dengan semangat nilai-nilai solidaritas yang dianut oleh AIS Forum bagi masa depan laut yang berkelanjutan. Sejak dibentuk pada 1 November 2018 melalui Deklarasi Manado (Manado Joint-Declaration), AIS Forum secara konsisten bergerak untuk saling menguatkan kerja sama dan kolaborasi aktif tanpa menimbang luar wilayah, kondisi sosial-ekonomi, dan level pembangunan yang ada.
AIS Forum akan melaksanakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) pertamanya di Bali, 10-11 Oktober 2023. Ini akan menjadi medium tepat untuk kembali menekankan pentingnya kolaborasi dan solidaritas bersama, yang diperkuat pada level kepala negara/pemerintahan. (Anton Setiawan/Elvira Inda Sari)