Oleh Eko Budiono, Sabtu, 19 Februari 2022 | 07:59 WIB - Redaktur: Untung S - 524
Jakarta, InfoPublik - Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Kuala Lumpur, Malaysia, menyesalkan putusan Pengadilan Kota Bahru, Negara Bagian Kelantan, yang membebaskan seorang majikan bernama DB dari tuntutan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dan kekerasan fisik.
Hal tersebut disampaikan Duta Besar (Dubes) RI untuk Malaysia, Hermono, melalui keterangan tertulisnya, Jumat (18/2/2022).
“Keputusan itu, tentu sangat mengecewakan dan tidak memberi keadilan kepada korban kerja paksa dan kekerasan fisik selama bertahun-tahun," ujar Dubes Hermono.
Menurut Dubes, KBRI Kuala Lumpur telah meminta jaksa untuk mengajukan banding atas putusan tersebut.
DN yang berasal dari Desa Bakuin, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, telah mengalami kerja paksa yang dilakukan DB tanpa mendapatkan bayaran gaji selama sembilan tahun lebih dan mengalami kekerasan fisik hingga pendengarannya terganggu.
Selain bekerja di rumah majikan, DB juga dipekerjakan di bengkel mobil milik majikan.
DB melarikan diri dari rumah majikan pada akhir Oktober 2020, karena tidak tahan mengalami kerja paksa lebih dari 15 jam sehari tanpa hari libur dan kekerasan fisik.
Berdasarkan laporan DB, majikan ditangkap oleh Dinas Tenaga Kerja Kelantan dan Polisi pada November 2020, dan diajukan ke pengadilan dengan tuduhan melakukan TPPO disertai kerja paksa dan penganiayaan.
Sedangkam berdasarkan informasi dari Dinas Tenaga Kerja Kelantan pada 17 Januari 2022, Pengadilan Kota Bahru telah memutus bebas majikan dari semua tuduhan.
"Melalui pengacaranya, majikan DB pernah mengusulkan penyelesaian di luar persidangan dengan membayarkan gaji yang tidak dibayar. Namun tawaran tersebut ditolak DB dan KBRI Kuala Lumpur karena jauh di bawah tuntutan gaji yang seharusnya dibayarkan majikan," kata Hermono.
Sejalan dengan proses pengadilan pidana di tingkat banding, KBRI Kuala Lumpur telah menunjuk pengacara untuk menuntut majikan DB di peradilan perdata.
“Kami tidak hanya menuntut gaji yang tidak dibayar, tetapi juga bunga dan kompensasi. Ini penting untuk memberikan efek jera kepada majikan,” katanya.
Kasus kerja paksa dalam bentuk tidak membayar gaji, penahanan dokumen, larangan berkomunikasi banyak dialami oleh PMI, tidak hanya di sektor rumah tangga, tetapi juga di sektor lain, seperti perkebunan dan manufaktur.
Hermono menambahkan, Malaysia sedang menjadi sorotan internasional karena dituduh melakukan praktik kerja paksa.
Beberapa perusahaan Malaysia bahkan dikenai sanksi ekspor ke Amerika Serikat akibat tuduhan kerja paksa itu.
Sesuai catatan KBRI Kuala Lumpur, selama 2021 KBRI berhasil mengembalikan hak gaji Pekerja Migran Indonesia (PMI) sejumlah RM2,166,890.63 atau lebih dari Rp7 miliar milik 206 PMI sektor rumah tangga.
Untuk 2022 gaji 16 PMI yang berhasil diselamatkan mencapai RM337.270.
Data ini belum termasuk penyelesaian kasus gaji oleh Konsulat Jenderal dan Konsulat Indonesia di Malaysia.
Hermono mengatakan sebenarnya masih banyak PMI di Malaysia yang menjadi korban kerja paksa, hanya masalahnya tidak semua PMI dapat melaporkan ke kedutaan dengan berbagai alasan, seperti tidak diizinkan berkomunikasi dan ancaman ditangkap aparat karena tidak memiliki visa kerja yang sah.
"Praktik kerja paksa sudah berlangsung bertahun-tahun," katanya.
Foto: ANTARA
Anda dapat menyiarkan ulang, menulis ulang, dan atau menyalin konten ini dengan mencantumkan sumber infopublik.id