:
Oleh MC Kab Aceh Tengah, Senin, 29 Juni 2020 | 18:59 WIB - Redaktur: Kusnadi - 4K
Oleh : Fathan Muhammad Taufiq *)
Sejak merebaknya virus corona disease (Cavid-19) di Indonesia pada pertengahan bulan Maret 2020 yang lalu, sebagian besar masyarakat ikut dibuat bingung dengan munculnya istilah-istilah baru yang sebelumnya mungkin tidak pernah mereka dengar. Ada istilah Pandemi, Orang Dalam Pemantauan (ODP), Pasien Dalam Pengawasan (PDP), Suspect, Droplet, Social Distancing, Physical Distancing, Karantina, Isolasi Mandiri, Rapid Test, Swab, PCR, Tracing, Tracking dan terakhir muncul istilah New Normal.
Semua istilah-istilah itu bagi sebagian besar masyarakat merupakan istilah yang masih relatif asing dan belum sepenuhnya dipahami oleh masyarakat. Itulah sebabnya, kemudian masyarakat mudah panik dan resah hanya karena ada informasi bahwa di daerahnya sudah ada ODP dan PDP, mereka berangggapan bahwa sudah ada kasus positif covid di daerah mereka. Ini sering kita dengar pada awal-awal dilakukannya penanganan covid oleh pemerintah maupun pemerintah daerah dengan pembentukan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 mulai dari tingkat pusat sampai ke tingkat kabupaten/kota bahkan sampai ke tingkat desa.
Begitu juga dengan istilah Droplet yang konon bisa menjadi penyebab menularnya covid, masyarakat dibuat bingung dengan seringnya mendengar istilah ini, padahal itu bisa disederhanakan menjadi ‘percikan cairan yang keluar melalui hidung atau mulut’ pasien positif covid. Kanta-kata Social Distancing dan Physical Distancing, juga menjadi istilah yang belakangan sering kita dengar, dan lagi-lagi masyarakat perlu diberi pemahaman tentang istilah yang sebenarnya bermakna hindari kerumunan dan jaga jarak di tempat keramaian atau fasilitas publik lainnya.
Istilah Rapid Test, Swab dan PCR juga sering menjadi kata-kata yang rancu, masyarakat juga sering dibuat panik jika ada ODP yang kemudian reaktif ketika di rapid test, mereka menganggap orang tersebut sudah positif covid. Padahal, untuk membuktikan seseorang positif covid atau negatif, harus berdasarkan hasil test swab dengan metide PCR (polymerase chain reaction) yang dilakukan di laboratorium kesehatan.
Belakangan juga muncul tracing (penelusuran), tracking (pelacakan) dan fencing (pengurungan atau pembatasan gerak) dalam penanganan covid. Istilah tracing dan tracking sebenarnya sudah lama dikenal dalam bidang distribusi dan pemasaran produk pertanian, namun hanya dipahami kalangan tertentu yang terkait dengan bidang tersebut. Namun dalam kondisi pandemi covid ini, istilah ini kemudian menjadi populer, namun tetap saja masih banyak kalangan masyarakat yang belum paham sepenuhnya akan istilah ini. Padahal Kementerian Kominfo bahkan sudah meluncurkan aplikasi tracing dan tracking ini untuk menelusuri dan melacak orang-orang yang ditengarai terkonfirmasi positif covid.
Dan yang terjadi saat ini adalah munculya salah interpretasi, salah penafsiran dan salah pemahaman terhadap istilah terkini yaitu New Normal. Banyak kalangan masyarakat yang memahami bahwa new normal adalah kondisi yang sudah normal kembali pasca pandemi, sehingga aktifitas masyarakat tidak lagi mematuhi batasan sosial dan protokol kesehatan. Jika pemahaman yang terjadi ditengah masyarakat adalah seperti ini, tentu sangat riskan dan berreesiko terjadinya lonjakan kasus positif covid, dan ini sudah terjadi di banyak daerah. New normal sendiri sejatinya adalah upaya pemerintah untuk menghidupkan roda perekonomian masyarakat dan agar masyarakat dapat kembali produktif namun tetap aman dari covid, sehingga pembatasan sosial dan protokol kesehatan justru semakin diperketat, bukanya dilonggarkan seperti asumsi sebagian besar masyarakat.
Perlunya diseminasi informasi publik
Menyikapi fenomena yang berkembang di tengah masyarakat tentang adanya salah persepsi, disinformasi, ditambah lagi dengan informasi-informasi hoax yang belakangan juga santer beredar, upaya sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat melalui diseminasi (penyebarluasan) informasi sangat dibutuhkan. Dan ini menjadi tugas bersama pemerintah dengan seluruh komponen yang ada, mulai dari aparatur, organisasi kemasayarakat, kelompok informasi, pegiat sosial dan tentu saja media. Upaya pencegahan penyebaran covid akan efektif, jika masyarakat mendapatkan informasi yang benar dan memperoleh edukasi secara proporsional.
Diseminasi informasi publik sejatinya merupakan kewajiban yang melekat pada pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah dengan seluruh unsurnya dengan melibatkan seluruh potensi yang ada ditengah masyarakat. Hal tersebut sudah diatur dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 17/PER/KOMINFO/03/2009 yang menyatakan bahwa diseminasi informasi bertujuan untuk mencerdaskan bangsa, memberdayakan masyarakat, meningkatkan kesejahteraan dan memperkokoh integritas (persatuan dan kesatuan) nasional. Adapun arah dari diseminasi informasi adalah untuk mewujudkan tata kelola pemerintah yang transparan dan meningkatnya partisipasi masyarakat dalam penyebarluasan informasi. Diseminasi informasi juga untuk memenuhi hak publik/masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, akurat, cepat dan mudah diakses.
Adapun sarana dan prasarana atau wahana diseminasi informasi sebagaimana tersebut dalam Peraturan Menteri Kominfo tersebut meliputi :
Dalam rangka menyempaikan informasi, memberikan pemahaman dan edukasi kepada masyarakat terkait dengan penangan covid, mulai dari upaya pencegahan penyebaran sampai dengan pemberlakukan tatatan kenormalan baru (new normal, semua sarana dan prasarana tersebut dapat dimanfaatkan sebagai wahana diseminasi informasi dengan beberapa penyesuaian.
Untuk media massa dan media digital serta media luar ruangan, dapat dilakukan seperti biasa, karena tidak menyebabkan terjadinya kontak fisik langsung dalam mengaksesnya. Namun untuk diseminasi informasi melalui media interpersonal dan media tradisional, perlu dilakukan penyesuain dan pembatasan-pembatasan. Cara yang paling aman tentunya dengan sistem daring atau virtual, karena dengan cara ini, pemberi dan penerima informasi tidak terlibat kontak fisik langsung. Cara virtual ini semakin populer belakangan ini melalui sarana video conference atai video call, dan sudah banyak penyedia layanan yang menyedeikan akses untuk menfasilitasi cara ini. Tapi untuk daerah-daerah dengan keterbatasan jaringan informasi, sistem sosialisasi langsung masih bisa dilakukan dengan pengaturan jarak dan penerapan protokol kesehatan, karena terkait kearifan lokal, sistem sosialisasi langsung ini masih cukup efektif.
Adalah menjadi tugas kita untuk mencerdaskan publik melalui diseminasi informasi yang benar, akurat dan mudah diakses oleh masyarakat, untuk mencegah terjadinya disinformasi, salah pemahaman dan kemungkinan timbulnya keresahan akibat informasi dan pemahamam yang tidak benar. Mencegah penyebaran dan penularan covid adalah tanggung jawab kita semua, dan keterlibatan seluruh elemen masyarakat dalam diseminasi informasi, merupakan bagian penting dari upaya pencegahan covid ini.
Dalam kaitan ini, upaya pemerintah (melalui institusi Kominfo) untuk merangkul media, para pakar/cendikiawan, tokoh masyarakat/tokoh adat, pemuka agama, organisasi kemasyarakatan, komunitas/pegiat sosial, kader pemuda, kader perempuan, kelompok informasi masyarakat, pelaku seni dan budaya, merupakan langkah tepat dalam melakukan sosialisasi dan edukasi covid kepada masyarakat melalui diseminasi informasi. Dan sebagai bagian dari masyarakat, tentu melekat tugas dan tanggung jawab bagi kita untuk ikut berperan dal;am upaya pencegahan penyebaran covid di daerah kita masing-masing.
*) Kasie Layanan Informasi dan Media Komunikasi Publik pada Diskominfo Kabupaten Aceh Tengah.