- Oleh MC KOTA PARIAMAN
- Jumat, 20 Desember 2024 | 15:03 WIB
: Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto hadiri acara bertajuk Jumpa Tokoh “Sinergi Bersama BNPB, Pemprov Jatim dan Gerakan Pramuka dalam Program Kemanusiaan dan Kebencanaan” di Kota Surabaya, Selasa (30/7/2024)/ dok. BNPB.
Jakarta, InfoPublik - Bencana tidak dapat dihindari, namun dampak risikonya bisa diminimalisir. Penanganan bencana tidak bisa ditangani oleh satu pihak saja. Hal itu harus didukung oleh unsur Pentaheliks mulai dari pemerintah, akademisi, masyarakat/komunitas, dunia usaha dan media, termasuk gerakan Pramuka.
Dua hal itu menjadi poin utama dalam mukadimah yang disampaikan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letjen TNI Suharyanto saat menjadi salah satu pembicara dalam bincang-bincang bertajuk Jumpa Tokoh “Sinergi Bersama BNPB, Pemprov Jatim dan Gerakan Pramuka dalam Program Kemanusiaan dan Kebencanaan” di Kota Surabaya, Selasa (30/7/2024).
Di hadapan ratusan anggota Pramuka Kwartir Daerah (Kwarda) Jawa Timur, Suharyanto menyampaikan fakta bahwa 13 jenis bencana yang sering terjadi di dunia ada di Indonesia.
Menurut dia, World Bank pada 2019 mencatat bahwa Indonesia menjadi satu dari 35 negara dengan tingkat potensi risiko bencana paling tinggi di dunia.
“Ada 13 jenis bencana yang sering muncul di dunia ada di Indonesia,” kata Suharyanto dalam keterangan yang diterima InfoPublik, Rabu (31/7/2024).
Di sisi lain, berdasarkan indeks kajian risiko bencana yang dihimpun BNPB per tahun 2023, tidak ada kabupaten/kota yang terbebas dari ancaman bencana, di mana lebih dari 204 juta penduduk tinggal di daerah rawan bencana.
Hal itu tentunya juga menjadi ancaman bagi lebih dari 670 ribu triliun aset di Tanah Air karena berada di wilayah yang berisiko bencana. Lebih dari 80 juta hektar kerusakan lingkungan dapat terjadi akibat bencana.
"Bencana tidak bisa dihindari. Bahkan setiap tahun angka kejadiannya meningkat. Pertumbuhan penduduk, urbanisasi, perubahan iklim, kerusakan lingkungan adalah beberapa faktor yang memicu terjadinya bencana. Setiap tahun BNPB mencatat kejadian bencana meningkat,” jelas Suharyanto.
Sebagai masyarakat yang tinggal di bumi Nusantara dengan segenap potensi kekayaan alam hingga potensi risiko bencana, Kepala BNPB mengajak kepada seluruh pihak agar hal itu dapat disyukuri dan disikapi dengan bijak.
Jika di awal tadi disebutkan bahwa manusia yang hidup di muka bumi ini tidak bisa mengelak dengan potensi bencana, namun Kepala BNPB optimis semua masih memiliki pilihan untuk berikhtiar mengurangi risikonya.
Menurut Kepala BNPB, kuncinya adalah bagaimana sinergitas antar unsur petaheliks dapat dimaksimalkan dalam tiga fase kebencanaan, mulai dari sebelum, saat terjadi bencana maupun pascabencana.
“Bahwa penanganan bencana itu tidak bisa ditangani hanya oleh satu pihak. BNPB selalu menyebut ada Pentaheliks. Ada lima unsur, pemerintah, dunia usaha, akademisi, media dan tentunya masyarakat yang di dalamnya ada Pramuka,” jelas Suharyanto.
Dalam fase pencegahan, peningkatan kesiapsiagaan masyarakat yang diimbangi dengan mitigasi bencana serta infrastruktur peringatan dini yang selalu dimutakhirkan menjadi hal yang mutlak. Jika ketiga elemen itu dilaksanakan dengan baik, maka tidak menutup kemungkinan bahwa dampak bencana dapat ditekan.
“Seperti yang disampaikan Bapak Presiden Joko Widodo bahwa dalam penanganan bencana upaya pencegahan adalah hal yang utama,” kata Suharyanto.
Kemudian pada fase tanggap darurat bencana atau saat terjadi suatu peristiwa bencana, maka sinergitas segenap unsur menjadi kekuatan utama.
Sinergi ini tentunya juga harus dilakukan dengan segera sesuai porsinya masing-masing. Misalnya, tidak semua orang harus terlibat dalam pencarian pertolongan, namun dapat melengkapi kegiatan lain seperti pendataan, pemenuhan kebutuhan dasar, pelayanan kesehatan masyarakat dan sebagainya.
Selanjutnya pada fase pascabencana, maka segala sesuatu yang menyangkut rehabilitasi dan rekonstruksi harus terus dikawal agar masyarakat dapat segera bangkit untuk menyongsong kehidupan yang lebih baik.