Dua Opsi Paska MK Batalkan PT Taspen dan PT Asabri Melebur ke BPJS Ketenagakerjaan

:


Oleh Ahmed Kurnia, Kamis, 14 Oktober 2021 | 17:22 WIB - Redaktur: DT Waluyo - 1K


Jakarta, InfoPublik – Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk membatalkan ketentuan dalam UU No. 24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) terkait pengalihan program layanan PT Asabri (Persero) dan PT Taspen (Persero) ke BPJS Ketenagakerjaan.

Dalam sidang yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman, diputuskan untuk membatalkan pengalihan penyelenggaraan pengelolaan hak-hak pensiun ASN dari PT Taspen kepada BPJS Ketenagakerjaan dan pengelolaan hak-hak pensiun anggota TNI/Polri dari PT Asabri kepada BPJS Ketenagakerjaan sebagaimana diatur dalam Pasal 57 huruf f dan Pasal 65 ayat (2) UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS.

“Menyatakan pasal 57 huruf f dan pasal 65 ayat (2) UU nomor 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat,” ujar Anwar Usman saat membacakan putusan dipantau dari kanal Youtube Mahkamah Konstitusi, Kamis (30/9/2021).

MK menilai bahwa kedua pasal tersebut akan menimbulkan kerugian konstitusional di kemudian hari bilamana “Program Tabungan Hari Tua dan Program Pembayaran Pensiun” dialihkan kepada BPJS Ketenagakerjaan paling lambat 2029.

Konsep peralihan kelembagaan ke dalam BPJS Ketenagakerjaan, menurut MK, menyebabkan hilangnya entitas persero yang mengakibatkan munculnya ketidakpastian hukum dalam transformasi beberapa badan penyelenggara jaminan sosial yang telah ada sebelumnya yang masing-masing mempunyai karakter dan kekhususan yang berbeda-beda.

Keputusan MK itu kontan memembuat Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) mengambil ancang-ancang. DJSN menindaklanjuti pascaputusan MK tersebut dengan menyusun policy brief – yang isinya langkah strategis yang harus diambil pascaputusan MK.

DJSN adalah dewan yang berfungsi untuk membantu Presiden dalam perumusan kebijakan umum dan sinkronisasi penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional. Dewan beranggotakan 15 orang yang terdiri atas empat unsur, yaitu unsur pemerintah (mewakili bidang keuangan ketenagakerjaan, Kesehatan sosial, dan kesejahteraan rakyat dan/atau bidang pertahanan dan keamanan), unsur tokoh dan/atau ahli (di bidang asuransi, keuangan, investasi, dan aktuaria), unsur organisasi pemberi kerja/organisasi pemberi kerja/organisasi pengusaha, dan dari unsur organisasi pekerja/buruh.

Alhasil, dalam policy brief itu ada dua opsi yang ditawarkan oleh DJSN sebagai tindak lanjut putusan MK. Opsi pertama itu adalah skema fregmentasi/segmentasi. Jadi, jaminan sosialnya bergerak sendiri-sendiri, untuk swasta ada lembaganya sendiri, untuk TNI/Polri ada lembaganya sendiri, untuk ASN juga ada lembaga jaminan sosialnya sendiri.

Opsi kedua adalah multipilar, yaitu penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dengan manfaat dasar, diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Sedangkan untuk Program Kesejahteraan Pegawai/Manfaat Karyawan, diselenggarakan oleh PT. Taspen, PT. Asabri, DPPK/DPLK, dan perusahaan asuransi komersial.

Dari kajian terhadap dua opsi yang ditawarkan itu, salah seorang anggota DJSN dari unsur Tokoh dan/atau Ahli, Indra Budi Sumantoro angkat bicara. Menurut Indra, ia lebih memilih opsi dengan skema multipilar – mengingat setiap warga negara itu harus menerima hak dasar dalam bentuk jaminan sosial dari negara.

Menurut Indra, opsi skema multipilar itu sebenarnya tidak terpengaruh oleh putusan MK. Putusan MK hanya membatalkan pengalihan program yang sama. Skema multipilar tanpa adanya peleburan dan  pengalihan program tetap bisa berjalan. “Pada dasarnya yang satu sifatnya hak, yang memberikan jaminan sosial yang sifatnya dasar yang diberikan BPJS Ketenagakerjaan sebagai lembaga jaminan sosial ketenagakerjaan. Sedangkan, yang yang lainnya sifatnya penghargaan yaitu Taspen dan Asabri," bebernya, Selasa (12/10/21).

Lembaga seperti BPJS Ketenagakerjaan, PT Taspen, dan PT Asabri, menurut dia, tetap bisa berjalan dengan visi dan misinya masing-masing. Mengenai jaminan sosial tenaga kerja, dimanapun orang tersebut bekerja tetap mendapat hak Jaminan sosial tenaga kerja dari negara. "Dengan demikian, PT Taspen dan PT Asabri nantinya bukan sebagai penyelenggara jaminan sosial, tapi sebagai penyelenggara program kesejahteraan pegawai yang sifatnya penghargaan,’’ kata Indra lagi.

Lebih jauh Indra juga mengingatkan persoalan pegawai pemerintah non-ASN yang sering terlupakan perlindungan jaminan sosialnya. Hal ini, sambung dia, yang harus dilakukan adalah sinkronisasi. Ia merujuk Inpres No. 2/2021 tentang 'Optimalisasi Jaminan Sosial Ketenagakerjaan'. Isinya, presiden menginstruksikan kepada Mendagri, Gubernur, Bupati, dan Walikota untuk mendaftarkan pegawai pemerintah non ASN di lingkungannya ke BPJS Ketenagakerjaan.

"Ihwal ini yang sebenarnya harus dilakukan sinkronisasi. Mana yang jadi kewenangan daerah, mana yang jadi kewenangan pusat. Ini juga mencakup mana yang jadi kewenangan PT Taspen dan mana yang jadi kewenangan BPJS Ketenagakerjaan,’’ ujar Indra.

Untuk itulah DJSN kabarnya akan segera melakukan sinkronisasi bersama Kementerian Hukum dan HAM untuk menindaklanjuti Inpres No. 2/2021. “Supaya tidak terjadi benturan,” kata Indra lagi.

Keterangan Foto: Suasana persidangan saat Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (kiri) berbincang dengan anggota Majelis Hakim MK Saldi Isra dalam salah satu sidang di MK. ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/aww.