Pemekaran Wilayah Administrasi di Papua Merupakan Keniscayaan

:


Oleh Ahmed Kurnia, Senin, 19 April 2021 | 04:41 WIB - Redaktur: Untung S - 2K


Jakarta, InfoPublik – Tak lama lagi pemekaran wilayah administrasi di kawasan Papua tampaknya akan segera terwujud. Meski isu pemekaran administrasi di wilayah Papua sempat berlarut-larut, tanpa ujung, dan berhenti menjadi sekadar wacana publik.

Padahal, seperti kata Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, pemekaran wilayah administrasi di kawasan Papua merupakan keniscayaan. Hal ini mengingat kondisi geografis Papua yang sangat luas dan penduduknya tersebar di sana-sini dalam jumlah relatif kecil di berbagai wilayah. Dampaknya terlihat pada upaya percepatan pembangunan yang konsekwensinya menjadi berbiaya mahal karena akses yang sulit, serta birokrasi yang sangat panjang – dan tentunya menghambat pelayanan publik.

Menteri Tito punya langkah terobosan untuk melaksanakan pemekaran wilayah administrasi di Provinsi Papua yang berpenduduk 4,30 juta jiwa – sementara penduduk di Provinsi Papua Barat berjumlah 1,13 juta jiwa (sumber: Sensus BPS, 2020). Ia punya usul pemekaran wilayah di Bumi Cenderawasih itu tidak lagi harus melalui persetujuan Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) – tetapi dapat dilakukan atas inisiatif atau usulan Pemerintah Pusat.

Kenapa? Karena menurut Menteri Tito, pemekaran wilayah administrasi di Papua sangat rawan deadlock dalam pembahasan di forum MRP dan DPRP. “Pembahasan pemekaran wilayah menjadi terkunci. Sedangkan aspirasi masyarakat terhadap pemekaran itu sudah mendesak,” ujarnya.

Memang dalam UU No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua, di pasal 76 menyatakan bahwa “Pemekaran Provinsi Papua menjadi provinsi-provinsi dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumberdaya manusia dan kemampuan ekonomi dan perkembangan di masa datang.” Artinya, peran MRP dan DPRP memiliki peran sentral dalam kebijakan dan keputusan pemekaran wilayah di Papua.

Melihat itu, pemerintah dan DPR RI berencana merevisi Pasal 76 dalam UU Otonomi Khusus (Otsus) Papua itu, dengan mekanisme pemekaran wilayah Papua yaitu secara top down. Artinya, “Dalam usulan pemerintah, kami mengharapkan ada opsi lain, yaitu pemekaran dapat dilakukan oleh Pemerintah Pusat,” kata Menteri Tito dalam rapat dengan Panitia Khusus Revisi UU No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua beberapa waktu lalu pada 8 April 2021.

Dengan usulan tersebut, kalau rancangan revisi UU ini kemudian diketuk palu oleh DPR nantinya maka pemekaran wilayah di Papua tidak lagi harus dengan persetujuan MRP dan DPRP – tetapi langsung dapat diinisiasi oleh Pemerintah Pusat. Dalih revisi tersebut untuk bertujuan mempercepat pembangunan, meningkatkan layanan publik, dan kesejahteraan masyarakat.

Kendati demikian, Menteri Tito menuturkan, bahwa pemekaran wilayah Papua yang merupakan inisiatif Pemerintah Pusat nantinya tetap harus memperhatikan aspek sosial budaya, kesiapan sumber daya manusia, kemampuan ekonomi, perkembangan di masa mendatang, serta aspirasi masyarakat Papua melalui MRP, DPRP. Artinya, peran MRP dan DPRP tetap masih memainkan peran strategis sebagai pendamping dalam mengambil keputusan.

Rencana Pemekaran Wilayah di Papua

Pembahasan mengenai draf RUU Otonomi Khusus ini sudah dimulai sejak awal tahun 2021 ini secara tripartit – DPR, Pemerintah, dan DPD. Panitia Khusus pembahasan Rancangan UU Otsus (yang baru) sudah dibentuk. Rencananya RUU ini harus disahkan sebelum APBN 2022 diketok. Boleh jadi sekitar Agustus atau September 2021, sudah ada UU Otonomi Khusus Papua yang baru.

Mengingat waktu yang sangat dekat itu, Panitia Khusus yang dibentuk DPR kini sibuk menyempurnakan draf dengan melibatkan dan mendengarkan aspirasi dari berbagai pihak.

Dalam draf RUU Otsus Papu yang baru itu, Menteri Tito menginginkan ada opsi Pemerintah Pusat bisa memutuskan pemekaran wilayah Papua. Menteri Tito menjelaskan maksud dari opsi itu adalah untuk memenuhi misi pemerintah pusat dalam rangka percepatan pembangunan dan meningkatkan layanan publik untuk kesejahteraan masyarakat Papua.

Menteri Tito merujuk pemekaran Provinsi Papua Barat yang  telah membuahkan hasil. Meskipun pemekaran tersebut awalnya menimbulkan pro dan kontra. “Kami akan mereplikasi terjadinya percepatan (pembangunan) di Papua Barat, mereplikasinya di Papua yang beberapa daerah masih cukup tertinggal melalui menyerap aspirasi pemekaran tersebut," katanya.

Adapun dalam paparannya, Tito menyampaikan usulan pemekaran provinsi di Papua bakal menjadi enam wilayah administrasi terdiri dari provinsi Papua Barat Daya, provinsi Papua Barat, provinsi Papua Tengah, provinsi Pegunungan Tengah, provinsi Papua Selatan, dan provinsi Papua Tabi Saireri

Menteri Tito Karnavian mengatakan rencana pemekaran ini belum final karena masih terdapat perdebatan terkait pemekaran. "Ini semua tergantung kemampuan keuangan pemerintah dan juga hasil dari revisi RUU Otsus Papua ini," kata Tito dalam rapat dengan Panitia Khusus Revisi UU Otsus Papua di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (8/4/2021).

Rencana Pemekaran Wilayah Administrasi di Papua

1

Provinsi Papua Barat Daya

Kabupaten Raja Ampat, Kabupaten Sorong, Kabupaten Sorong Selatan, Kabupaten Maybrat, Kabupaten Tambrauw, dan Kota Sorong

2

Provinsi Papua Barat

Kabupaten Manokwari, Kabupaten Pegunungan Arfak, Kabupaten Mankowari Barat, Kabupaten Teluk Bintuni, Kabupaten Teluk Wondama, Kabupaten Fak Fak, dan Kabupaten Kaimana.

3

Provinsi Papua Tengah

Kabupaten Paniyai, Kabupaten Degiyai, Kabupaten Dogiyai, Kabupaten Intan Jaya, Kabupaten Mimika, dan Kabupaten Nabire.

4

Provinsi Papua Selatan

Kabupaten Merauke, Kabupaten Asmat, Kabupaten Mappi, Kabupaten Bovendigoel, dan Kabupaten Pegunungan Bintang

5

Provinsi Pegunungan Tengah

Kabupaten Jayawijaya, Kabupaten Yahukimo, Kabupaten Yalimo, Kabupaten Tolikara, Kabupaten Lanny Jaya, Kabupaten Membramo Tengah, Kabupaten Nduga, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kabupaten Puncak.

6

Provinsi Papua Tabi Saireri

Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura, Kabupaten Keerom, Kabpuaten Sarmi, Kabupaten Membramo Raya, Kabupaten Waropen, Kabupaten Kepulauan Yapen, Kabupaten Biak Numfor, dan Kabupaten Supiori

 

Masa Depan Pengelolaan Dana Otsus

Dalam rancangan RUU Otsus Papua yang baru itu, Pemerintah berencana meningkatkan anggaran untuk Otsus Papua dari semula 2 persen platform dana alokasi umum menjadi 2,25 persen. Draf itu juga menyertakan pengaturan mekanisme pembinaan dan pengawasan anggaran Otsus.

Soal pengawasan ini memang tampaknya menjadi pasal penting mengingat penyalahgunaan Dana Otsus di masa lalu sudah terjadi. Seperti temuan dari Badan Intelijen Keamanan (Baintelkam) Polri, adanya dugaan penyelewengan pengunaaan anggaran Otsus. Menurut Kepala Biro Analis Baintelkam Polri Brigjen Achmad Kartiko, dugaan penyimpangan penggunaan anggaran tersebut juga ditemukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI. Achmad mengatakan penyimpangan dana Otsus Papua itu berupa penggelembungan harga dalam pengadaan barang. Total kerugian negara dalam dugaan penyelewengan Dana Otsus Papua ditaksir mencapai Rp 1,8 triliun, ungkap Achmad dalam forum Rapim Polri beberapa waktu lalu di Jakarta (17/2/21).

Padahal menurut Achmad, Dana Otsus Papua tersebut sejatinya digunakan untuk penyelesaian konflik di Tanah Papua dan diperuntukkan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Pendanaan untuk Papua dan Papua Barat cukup besar selama 20 tahun terakhir. Total alokasi Dana Otsus dan Dana Transfer infrastruktur sejak 2002-2021 mencapai Rp138,65. Ini belum termasuk Transfer Keuangan dan Dana Desa (TKDD) dari 2005-2021 mencapai Rp702,3 triliun dan belanja kementerian/lembaga mencapai Rp251,29 triliun selama 2005-2021.

Selain diselewengkan, Dana Otsus juga ternyata masih banyak yang tersisa. “Pemakaiannya tidak maksimal dilihat dari sisa anggarannya,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani beberapa waktu lalu dalam Rapat Kerja dengan Komite I DPD RI di Jakarta, pada Selasa (26/1/2021). Dana yang tersisa itu, kata Menteri Sri Mulayani, merupakan cerminan adanya kelemahan tata Kelola, termasuk perencanaan yang belum optimal dari pemerintah daerah.

Menteri Sri Mulyani menyampaikan rata-rata Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) Dana Otsus di Provinsi Papua maupun Provinsi Papua Barat terbilang tinggi. Rata-rata Silpa Dana Otsus di Provinsi Papua mencapai Rp528,6 miliar per tahun dan dana transfer infrastruktur (DTI) sebesar Rp389,2 miliar dalam tujuh tahun terakhir. Bahkan, kata Sri Mulyani, pada 2019 terdapat sisa Dana Otsus sebesar Rp1,7 triliun.  Sedangkan di Papua Barat, rata-rata sisa Dana Otsus dalam tujuh tahun terakhir mencapai Rp257,2 miliar per tahun dan DTI sebesar Rp109,1 miliar. Sedangkan pada 2019, terdapat sisa Dana Otsus mencapai Rp370,7 miliar.

Lebih jauh, Menteri Sri Mulyani juga mengungkapkan bahwa belanja di sektor kesehatan dan pendidikan masih rendah. Padahal, keduanya merupakan sektor strategis yang harus dikerjakan untuk mengejar ketertinggalam Papua dari wilayah lainnya di Indonesia. Di Papua, belanja pendidikan hanya terserap 13,8 persen, dan kesehatan 8,7 persen. Sedangkan di Papua Barat belanja pendidikan yang terserap mencapai 14,3 persen dan kesehatan hanya 7,6 persen. “Dari sisi perencanaan belum memadai dan belum ada desain mengenai output dengan dana dan belanja yang ditingkatkan. Untuk infrastruktur, perlu usulan yang sudah direncanakan dan dirancang dengan baik sehingga pada waktu anggaran diberikan, anggaran tersebut bisa dieksekusi dan tidak menjadi sisa,” ucapnya.

Melihat itu maka Gubernur Papua Lukas Enembe mengingatkan generasi muda di Papua untuk berkaca dengan situasi terkait Otsus Papua yang dipastikan berakhir pada 2021 ini – dan akan diteruskan dengan payung hukum UU Otsus Papua yang baru.  Menurut dia, generasi berikutnya diminta bersiap-siap dengan berupaya meningkatkan daya saing serta profesional untuk menyokong pelaksanaan pembangunan di provinsi ini. “Artinya, apa yang sudah gagal jangan diulang lagi. Tetapi perbaiki secara baik sehingga bisa membawa masyarakat Papua ke masa depan lebih baik”.

 

Keterangan Foto: Mendagri Tito Karnavian saat kunjungan ke Jayapura, Papua, hanya selang tiga hari setelah dilantik (25/10/2019)/Puspen Kemendagri