Evaluasi PSBB: Pengetatan atau Pelonggaran

:


Oleh Norvantry Bayu Akbar, Rabu, 13 Mei 2020 | 11:44 WIB - Redaktur: DT Waluyo - 1K


Jakarta, InfoPublik - Sebulan sudah sejak kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) mulai berlaku di Indonesia. Adalah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang pertama kali menerapkan PSBB yang dimulai pada 10 April 2020. Baru menyusul kemudian sejumlah pemerintah daerah lainnya, termasuk wilayah penyangga DKI Jakarta, yakni Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Bodetabek).

PSBB merupakan upaya yang ditempuh pemerintah dalam rangka memutus rantai penyebaran penyakit Coronavirus Disease 2019 (Covid-19). Pemberlakuan PSBB diusulkan oleh pemerintah daerah kepada pemerintah pusat untuk kemudian disetujui atau tidak berdasarkan sejumlah persyaratan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2020 tentang PSBB dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19.

Hingga 12 Mei 2020, tercatat sebanyak empat pemerintah provinsi dan 72 pemerintah kabupaten/kota telah menerapkan PSBB di wilayahnya masing-masing atas persetujuan Menteri Kesehatan. Lalu, bagaimana efeknya terhadap upaya memutus rantai penyebaran Covid-19?

Berdasarkan data yang ada, pelaksanaan PSBB di sejumlah daerah memang memberikan hasil dan efektivitas yang bervariasi.

Ada daerah yang mengalami penurunan kasus positif Covid-19 secara gradual, konsisten, namun tidak drastis. Ada juga daerah yang mengalami penurunan kasus namun masih mengalami fluktuasi dan belum konsisten. Ada pula daerah yang menerapkan PSBB namun berdasarkan jumlah kasus positif yang ada tidak terpaut jauh dari sebelum pelaksanaan PSBB.

"Hal-hal seperti ini perlu digarisbawahi. Ada apa? mengapa?" tanya Presiden Joko Widodo dalam rapat terbatas melalui telekonferensi dari Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (12/5/2020) bersama jajaran terkait untuk mengevaluasi pelaksanaan PSBB dan penerapan physical distancing (jaga jarak) beserta protokol kesehatan di sejumlah daerah.

Selain itu, data di lapangan juga mengungkapkan bahwa dari 10 provinsi dengan kasus positif Covid-19 terbanyak, hanya tiga provinsi yang melaksanakan PSBB, yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Sumatera Barat. Sedangkan sisanya tidak menerapkan PSBB.

Maka itu, Presiden mengatakan diperlukan adanya evaluasi terhadap provinsi, kabupaten, dan kota yang tidak melakukan PSBB dan menjalankan kebijakan jaga jarak serta menerapkan protokol kesehatan secara ketat.

"Ini harus dibandingkan yang PSBB maupun yang non-PSBB karena memang ada inovasi-inovasi di lapangan dengan menerapkan model kebijakan pembatasan kegiatan di masyarakat yang disesuaikan dengan konteks di daerah masing-masing," jelas Presiden.

Dalam hal penerapan PSBB, Presiden menekankan agar dalam implementasi dan pelaksanaannya, masing-masing daerah tidak terjebak pada batas-batas administrasi kepemerintahan. Menurutnya, pelaksanaan PSBB menuntut penanganan sebuah kawasan besar yang saling terhubung sehingga manajemen antardaerah dalam wilayah besar tersebut menjadi terpadu dalam konteks PSBB.

"Misalnya diterapkan oleh wilayah Jabodetabek yang saling berkaitan sehingga pengaturan mobilitas sosial dari masyarakat dapat dilakukan secara terpadu dan lebih baik," katanya.

Di samping itu, Presiden juga meminta Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 untuk benar-benar memastikan upaya pengendalian Covid-19 di lima provinsi (selain DKI Jakarta) di Pulau Jawa berjalan dengan efektif. Pasalnya, sebanyak 70 persen kasus positif Covid-19 dan 82 persen angka kematian tertinggi terdapat di Pulau Jawa.

Sementara terkait rencana pelonggaran PSBB yang saat ini sedang dikaji, Presiden mengingatkan jajarannya bahwa kajian-kajian tersebut harus didasari dengan perhitungan cermat dan data-data di lapangan yang mendukung pengambilan keputusan tersebut.

"Terakhir, mengenai pelonggaran untuk PSBB agar dilakukan secara hati-hati dan tidak tergesa-gesa. Semuanya didasarkan pada data-data dan pelaksanaan di lapangan sehingga keputusan itu betul-betul sebuah keputusan yang benar. Hati-hati mengenai pelonggaran PSBB," tegas Presiden.

Syarat Pelonggaran

Sementara itu, dalam konferensi pers di hari yang sama, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo yang juga Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 menyampaikan bahwa rencana pelonggaran PSBB pada Juli mendatang harus dipikirkan secara hati-hati dan tidak terburu-buru.

Untuk sektor mana saja yang akan dilonggarkan, menurut Doni, Presiden telah memberikan instruksi kepada Gugus Tugas untuk menyiapkan suatu simulasi agar apabila mengambil langkah-langkah untuk pelonggaran, maka tahapan-tahapannya harus jelas. Disebutkan, ada empat hal yang akan menjadi pertimbangan Gugus Tugas dalam menyusun simulasi tersebut.

Pertama, sebelum menerapkan pelonggaran PSBB, pemerintah daerah harus melakukan sebuah prakondisi. Prakondisi di sini adalah mengadakan rangkaian kajian akademis yang melibatkan pakar di bidang epidemiologi, kesehatan masyarakat, sosiologi, komunikasi publik, dan ekonomi kerakyatan, serta para tokoh masyarakat, ulama, dan budayawan.

Sehingga, perhitungan-perhitungan yang para pakar tersebut sampaikan bisa ditangkap nantinya oleh pemerintah, termasuk juga upaya dari Gugus Tugas untuk bekerja sama dengan beberapa lembaga survei untuk mendapatkan data yang akurat, terutama pada delapan provinsi.

Kedua adalah timing (waktu), yakni kapan pelonggaran dapat dilakukan. Doni menjelaskan apabila daerah itu belum menunjukkan tren kurva penularan Covid-19 menurun, apalagi melandai, maka tidak mungkin daerah tersebut diberikan kesempatan untuk melakukan pelonggaran PSBB.

Selain itu, timing ini juga berhubungan dengan kesiapan dan kepatuhan masyarakat. Kalau tingkat kesiapan dan kepatuhan masyarakat masih rendah, tentunya pelonggaran PSBB juga tidak mungkin dilakukan.

Ketiga adalah prioritas pelonggaran. Menurut Doni, yang menjadi prioritas pelonggaran adalah di bidang pangan, khususnya pasar dan restoran, serta memungkinkan juga yang berhubungan dengan kegiatan untuk menghindari masyarakat dari Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Terakhir adalah koordinasi pemerintah pusat dan daerah. Terkait ini, Doni pun berpesan jangan sampai nanti diberikan pelonggaran PSBB tetapi ternyata ada penolakan. “Demikian juga mungkin dari daerah memutuskan minta pelonggaran atas inisiatif sendiri, ternyata pusat melihat belum waktunya. Jadi koordinasi pusat dan daerah ini menjadi prioritas kami,” sambungnya.

Doni berharap semua pihak harus betul-betul mematuhi ketentuan karena pandemi Covid-19 ini belum akan berakhir atau juga belum diketahui kapan akan berakhir, mengingat sampai hari ini belum ditemukan vaksin dan obat untuk menyembuhkan Covid-19.

Saling Belajar

Terkait pelaksanaan evaluasi PSBB yang diminta Presiden, Doni menjelaskan bahwa hal tersebut dimaksudkan agar setiap daerah bisa saling belajar, termasuk juga bagi daerah yang tidak atau belum menerapkan PSBB, untuk melihat kelebihan maupun kekurangan dalam rangka perbaikan.

Doni mengungkapkan, sejumlah gubernur telah melaporkan kepada Presiden tentang keberhasilan dan juga kendala-kendala yang ditemui. Jawa Timur, misalnya, melaporkan agar pemerintah pusat membantu menambah ruang isolasi, terutama dalam mengantisipasi sejumlah kasus pertambahan terkonfirmasi positif Covid-19, dan dukungan sejumlah mesin Polymerase Chain Reaction (PCR).

Kemudian Jawa Tengah juga melaporkan tentang penataan pasar dan upaya pelacakan, khususnya klaster jemaah tablig dari Gowa, Sulawesi Selatan, yang jumlahnya mencapai 1.118 orang. Selain itu juga dilaporkan tentang 142 pelajar asal Jawa Tengah di Sudan yang meminta bantuan dari pemerintah agar mereka bisa tetap bertahan di tengah pandemi.

Sementara Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) melaporkan tentang masalah larangan mudik. "Bagi mereka yang kembali ke Yogyakarta, yaitu perantau yang mudik dan setelah ada putusan pemerintah untuk larangan mudik, maka Gubernur DIY akan mengembalikan para pemudik dari wilayah DIY,” terang Doni.

Menurut Doni, Presiden menegaskan bahwa pemerintah pusat tidak memaksa daerah untuk menerapkan PSBB. Daerah boleh memilih pendekatan yang sesuai dengan kondisi masing-masing, termasuk memanfaatkan kearifan lokal dalam rangka meningkatkan kepatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan.

Namun demikian, meski tidak ada pemaksaan, daerah tetap diharapkan secara optimal bisa meningkatkan kemampuan dalam rangka memastikan kepatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan.

Lebih lanjut disebutkan bahwa di hampir semua provinsi yang memberlakukan PSBB telah mengalami penurunan pasien rawat inap Covid-19 secara signifikan. Di DKI Jakarta, contohnya, sudah di bawah 60%. Artinya, jumlah pasien yang dirawat di rumah sakit rujukan dari Kementerian Kesehatan maupun pemerintah provinsi mengalami penurunan yang sangat signifikan.

Contoh lainnya, di Sumatra Barat. Pasien rawat inap Covid-19 di RSUP M Djamil Padang berjumlah 46 orang dari jumlah bed yang tersedia sebanyak 112 buah. Kemudian di Jawa Barat, pasien rawat inap Covid-19 yang dirawat di Rumah Sakit Hasan Sadikin berjumlah 30 orang dari jumlah bed yang tersedia sebanyak 135 buah.

"Ini menunjukkan kabar yang gembira karena pada minggu pertama, kedua, dan ketiga sejak pemerintah memutuskan status darurat kesehatan, hampir semua rumah sakit di kota-kota besar, terutama di Pulau Jawa mengalami peningkatan (jumlah pasien rawat inap)," tandas Doni. (FOTO: ANTARA FOTO/M Ibnu Chazar)