Momentum Perbaikan Tata Kelola PMI

:


Oleh Norvantry Bayu Akbar, Minggu, 10 Mei 2020 | 17:23 WIB - Redaktur: DT Waluyo - 888


Jakarta, InfoPublik - Lega dan senang. Mungkin dua hal itu yang dirasakan oleh 14 warga negara Indonesia (WNI) yang semula bekerja sebagai anak buah kapal (ABK) di kapal berbendera Republik Rakyat Tiongkok (RRT), saat tiba di Tanah Air pada Jumat (08/05/2020) sore dengan menggunakan pesawat maskapai Garuda Indonesia dari Incheon, Korea Selatan.

Para ABK itu pulang ke Indonesia setelah menjalani masa karantina wajib terkait Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) di sebuah hotel di Busan, Korea Selatan. Dalam rekaman video yang dibagikan KBRI Seoul, para ABK sempat berbicara melalui sambungan telepon dengan Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi saat sedang menanti keberangkatan di Bandara Incheon.

Keempat belas ABK tersebut merupakan sebagian dari total 46 WNI yang sebelumnya bekerja di empat kapal ikan asal RRT, di mana saat ini pemerintah Indonesia sedang mengupayakan perlindungan terhadap mereka atas perlakuan yang dianggap tidak patut yang dilakukan oleh perusahaan pengelola kapal.

Sebelumnya, kasus ini mencuat setelah diberitakan oleh salah satu media televisi di Korea Selatan. Menlu Retno Marsudi melalui pernyataan pers secara daring pada Kamis (07/05/2020) pun memaparkan kronologi kasus tersebut dan menyampaikan sejumlah upaya yang telah dilakukan terkait perlindungan terhadap 46 ABK serta kasus tiga ABK meninggal dunia yang jasadnya dilarung ke laut.

Disebutkan, 46 ABK itu tersebar di empat kapal ikan milik perusahaan asal RRT, yakni 15 orang di kapal Long Xing 629, delapan orang di kapal Long Xing 605, tiga orang di kapal Tian Yu 8, dan 20 orang di kapal Long Xing 606.

"Sejak 14-16 April 2020, KBRI Seoul menerima informasi adanya kapal Long Xing 605 dan Tian Yu 8 berbendera Tiongkok yang akan berlabuh di Busan (Korea Selatan) membawa ABK WNI, serta informasi adanya WNI yang meninggal dunia di kapal tersebut," kata Menlu Retno Marsudi.

Long Xing 605 dan Tian Yu 8 adalah dua kapal yang membawa seluruh 46 ABK Indonesia melalui perairan Korea Selatan dan sempat berlabuh di Busan. Namun, kedua kapal itu saat ini sudah berlayar ke RRT.

Kedua kapal tersebut sempat tertahan karena 35 ABK WNI yang dialihkan dari Long Xing 629 dan Long Xing 606 tidak terdaftar sebagai ABK di kedua kapal yang berlabuh di Busan, sehingga mereka dianggap sebagai penumpang oleh otoritas pelabuhan.

Sebagian besar dari 46 ABK tersebut kini telah pulang ke tanah air, yakni total 11 orang ABK Long Xing 605 dan Tianyu 8 sudah kembali sejak 24 April 2020, 18 orang ABK Long Xing 606 sudah kembali pada 3 Mei 2020, serta 14 ABK Long Xing 629 sudah kembali pada 8 Mei 2020.

Sementara dua sisa ABK Long Xing 606 masih berada di perairan Korea untuk menyelesaikan proses keimigrasian sebelum dipulangkan kemudian, dan satu ABK Long Xing 629 meninggal dunia akibat pneumonia pada 27 April 2020 usai dirawat sehari sebelumnya di Busan Medical Center.

Di samping kasus 46 ABK tersebut, terdapat pula kasus tiga ABK meninggal dunia ketika masih di atas kapal yang kemudian jenazahnya dilarung di laut lepas atau diperlakukan dengan cara burial at sea.

Atas kasus ini, pemerintah Indonesia meminta sejumlah hal kepada pemerintah RRT. Pertama, Indonesia meminta otoritas RRT melakukan penyelidikan lebih lanjut terhadap kapal-kapal yang terlibat dalam kasus ini, termasuk kondisi, situasi kerja, dan perlakuan kerja di kapal.

Kedua, Indonesia juga terus berusaha mendapatkan klarifikasi apakah penguburan di laut (burial at sea) tersebut sudah sesuai standar dan ketentuan Organisasi Buruh Internasional (ILO). Jika dari penyelidikan terbukti terjadi pelanggaran, maka Indonesia akan meminta otoritas RRT untuk melakukan penegakan hukum secara adil.

Menurut Kementerian Perhubungan (Kemenhub), aturan terkait penanganan ABK yang meninggal saat kapal berlayar bisa dilihat dalam ILO Seafarer’s Service Regulation, Circular letter International Maritime Organization (IMO) No.2976, di mana salah satu caranya adalah dengan dilarungkan ke laut.

Disebutkan pula cara penanganan lainnya, yakni jika memang jenazah tersebut diduga berpotensi menyebarkan penyakit berbahaya bagi ABK lain, maka dapat disimpan di dalam freezer sampai tiba di pelabuhan berikutnya, atau jenazah dapat dikremasi dan abunya diberikan kepada pihak keluarga.

Selain itu, Indonesia juga menginginkan perusahaan pemilik dan pengelola kapal ikan tersebut untuk bertanggung jawab dalam memenuhi hak-hak atas Pekerja Migran Indonesia (PMI), baik yang dipulangkan ke tanah air maupun yang telah meninggal dunia.

"Kami meminta pemerintah Tiongkok membantu meminta pertanggungjawaban perusahaan agar hak para awak kapal asal Indonesia dipenuhi, termasuk gaji yang belum dibayarkan dan peningkatan kondisi kerja agar aman," kata Menlu Retno Marsudi.

Atas tiga permintaan tersebut, Duta Besar (Dubes) RRT untuk Indonesia Xiao Qian menyebut akan menyampaikannya kepada pemerintah RRT dan menyampaikan dukacita serta simpati mendalam atas kasus ini. Di samping itu, pihaknya juga akan memastikan bahwa perusahaan kapal mematuhi hukum yang berlaku dan kontrak kerja yang telah disepakati.

Pendampingan LPSK

Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Hasto Atmojo menyatakan siap melindungi para ABK yang diduga mengalami pelanggaran HAM dan perbudakan tersebut secara proaktif bersama Kemlu dan Polri, mulai dari pemulangan ke Tanah Air hingga pendampingan proses hukum.

Dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis (7/5/2020), Hasto mengungkapkan pihaknya telah beberapa kali menerima permohonan perlindungan untuk korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO), seperti kasus perbudakan di Benjina, Maluku, pada 2015 lalu yang juga ditangani oleh LPSK.

Menurutnya, peristiwa yang dialami oleh para ABK di kapal berbendera RRT tersebut menunjukkan adanya indikasi TPPO. Untuk itu, dia berharap agar Polri dapat menelusuri pihak atau perusahaan yang melakukan perekrutan dan menyalurkan para ABK tersebut, serta mengambil tindakan tegas bila terbukti adanya pelanggaran pidana.

Sementara itu, Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu menyatakan kasus TPPO yang menyasar ABK bukan kali pertama terjadi. Selain kasus di Benjina, LPSK juga pernah menangani beberapa kasus TPPO yang peristiwanya mirip dengan apa yang terjadi dengan ABK di kapal Long Xing, di antaranya kasus di Jepang, Somalia, Korea Selatan, dan Belanda.

Menurut catatan akhir tahun LPSK 2019, permohonan perlindungan untuk kasus TPPO menempati posisi empat besar setelah kasus kekerasan seksual anak, terorisme, dan pelanggaran HAM berat. Pada 2018, permohonan perlindungan untuk TPPO berjumlah 109 kasus, sedangkan pada 2019 naik menjadi 162 kasus.

Dia mengatakan, berdasarkan pengalaman LPSK melakukan investigasi kasus TPPO, khususnya pada sektor kelautan dan perikanan, ditemukan fakta banyaknya perlakuan tidak manusiawi yang dialami oleh para korban. Umumnya, mereka mengalami tindak penipuan dalam proses rekrutmen, pemalsuan identitas, jam kerja yang melebihi aturan, tindakan kekerasan dan penganiayaan, penyekapan, gaji yang tidak layak, hingga ancaman pembunuhan.

"Kami pernah mendengarkan pengakuan korban yang tidak mendapatkan air minum yang layak. Mereka terpaksa minum air laut yang disaring, bahkan ada yang meminum air AC," ungkap Edwin.

Perbaikan Tata Kelola

Dengan terkuaknya kasus ini, khususnya terkait pelarungan jenazah ABK, Kepala Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Benny Rhamdani melihatnya sebagai momentum bagi pemerintah untuk memperbaiki tata kelola PMI.

"Pemerintah harus memastikan keselamatan ABK yang berada di atas kapal dan yang telah kembali, serta memastikan pemenuhan hak-hak ABK yang masih hidup atau yang telah meninggal dunia, seperti gaji, asuransi, dan santunan," katanya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Sabtu (09/05/2020).

Ia mengakui selama ini memang belum ada ketegasan dalam pengaturan pembagian kewenangan tata kelola penempatan dan perlindungan ABK perikanan, serta pihak-pihak yang berhak untuk melakukan penempatan.

Terkait video pelarungan jenazah ABK asal Indonesia ke laut tersebut, BP2MI telah melakukan beberapa langkah, di antaranya membentuk tim investigasi untuk menyelidiki proses penempatan ABK yang bekerja di kapal berbendera RRT itu.

Selain itu, BP2MI juga menindaklanjutinya dengan melayangkan surat ke Mabes Polri untuk mendukung proses penyelidikan kasus-kasus pengaduan ABK yang telah diterima oleh instansi tersebut, dan mendorong percepatan penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Penempatan dan Perlindungan ABK Pelaut Niaga dan Perikanan sebagai instrumen hukum turunan Undang-Undang Nomor 18 tahun 2017 tentang Pelindungan PMI.

Selama periode 2018 hingga 6 Mei 2020, BP2MI mencatat 389 pengaduan terkait ABK. Lima jenis pengaduan terbesar ialah gaji yang tidak dibayar sebanyak 164 kasus, meninggal dunia di negara tujuan sebanyak 47 kasus, kecelakaan sebanyak 46 kasus, ingin dipulangkan sebanyak 23 kasus, dan penahanan paspor atau dokumen lainnya oleh Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) sebanyak 18 kasus.

Sementara itu, pengaduan ABK terbanyak dibuat oleh para ABK Indonesia dengan negara penempatan, yaitu Taiwan sebanyak 120 kasus, Korea Selatan sebanyak 42 kasus, Peru sebanyak 30 kasus, RRT sebanyak 23 kasus, dan Afrika Selatan sebanyak 16 kasus.

Dari total 389 kasus yang masuk ke BP2MI, 213 kasus atau 54,8 persen telah selesai ditangani dan 176 kasus sisanya masih dalam proses penyelesaian. Adapun kendala yang dihadapi untuk kasus ABK adalah belum adanya aturan turunan yang mengatur perlindungan secara khusus bagi PMI ABK.

"Selain itu, data ABK sering tidak terdaftar di BP2MI, khususnya ABK yang memiliki risiko permasalahan yang tinggi," ungkap Benny.

Perketat Aturan

Komitmen untuk memperketat aturan mengenai awak kapal asal Indonesia yang bekerja di kapal asing pun tercetus dalam rapat koordinasi melalui konferensi video, Jumat (08/05/2020), yang dilakukan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan.

Turut hadir dalam rapat koordinasi tersebut, antara lain Menlu Retno Marsudi, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah, Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo, Wakapolri Komjen Gatot Eddy Pramono, Kepala BP2MI Benny Ramdhani, serta Duta Besar RI di Beijing dan Seoul.

Dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (08/05/2020), Juru Bicara Menko Marves Jodi Mahardi menyampaikan pemerintah sepakat akan melakukan harmonisasi dan memperketat aturan antarkementerian/lembaga yang terkait untuk mengatur bukan hanya mengenai awak kapal, namun juga PMI secara umum, terutama yang bekerja secara mandiri.

Hal tersebut dilakukan lantaran selama ini aturan yang ada memperbolehkan pekerja mandiri untuk langsung terhubung dengan perusahaan. Namun hal ini, terutama di sektor informal, terkadang mempersulit upaya perlindungan oleh pemerintah karena rawannya potensi eksploitasi.

"Pak Menko menyampaikan bahwa hal tersebut tidak bisa terus dibiarkan dan harus diperbaiki aturannya. Karena meskipun ada tenaga kerja berangkat sendiri, namun jika terjadi apa-apa pemerintah harus tanggung jawab dan pemerintah wajib menjaga keselamatan warganya. Jadi ke depan ini memang harus dilakukan harmonisasi peraturannya," katanya.

Pemerintah menekankan, lanjut Jodi, ke depan perlindungan terhadap ABK yang bekerja pada kapal ikan harus diatur mulai dari sisi hulu. Berikutnya, proses bisnis pengiriman ABK yang akan bekerja di kapal ikan juga harus diperbaiki dengan memperkuat mengenai hak dan perlindungannya.

"Pemerintah akan terus dorong penegakan hukum terhadap pihak-pihak yang memberangkatkan awak kapal tanpa melalui prosedur yang berlaku, juga mendorong pengawasan yang lebih ketat terhadap penyusunan perjanjian kerja laut antara awak kapal dengan pemilik kapal sehingga tidak ada klausul yang merugikan," tambah Jodi.

Sementara terkait dugaan pelanggaran ketenagakerjaan yang terjadi di kapal asing, pemerintah sudah berkoordinasi dengan Polri agar dilakukan penyelidikan lebih lanjut. Prosesnya saat ini sudah mulai berjalan dengan menyelidiki beberapa perusahaan penyedia jasa tenaga kerja yang tidak berizin.

Dalam rapat koordinasi ini juga disepakati soal percepatan proses harmonisasi Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Perlindungan Awak Kapal Niaga dan Awak Kapal Perikanan. RPP tersebut akan menyinergikan tugas dan kewenangan pada masing-masing kementerian/lembaga terkait, serta mengatur mengenai penempatan dan perlindungan awak kapal niaga dan awak kapal perikanan yang bekerja di kapal berbendera asing. (FOTO: ANTARA FOTO/Seno)