Ingat, Sanksi Hukum Larangan Mudik Mulai Berlaku

:


Oleh Norvantry Bayu Akbar, Jumat, 8 Mei 2020 | 07:38 WIB - Redaktur: DT Waluyo - 652


Jakarta, InfoPublik - Pemerintah telah melarang mudik bagi siapa pun. Meski demikian, kenyataan di lapangan masih saja ada masyarakat yang nekat mudik dengan berbagai cara. Sebelumnya, mereka yang ketahuan mudik hanya diminta untuk putar balik dan kembali ke asal perjalanan. Kini, per Jumat (08/05/2020), siapa pun yang nekat mudik harus siap menerima sanksi hukum.

Sanksi hukum tersebut, khususnya untuk pengguna transportasi darat, diberlakukan sesuai amanat Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi Selama Masa Mudik Idulfitri Tahun 1441 Hijriah dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Covid-19.

"Kendaraan yang akan keluar dan/atau masuk wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 pada tanggal 8 Mei 2020 sampai dengan tanggal 31 Mei 2020 diarahkan untuk kembali ke asal perjalanan dan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan," demikian bunyi Pasal 6 huruf (b) Permenhub 25/2020.

Adapun peraturan perundang-undangan yang dimaksud adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, tepatnya Pasal 93. Ditegaskan dalam pasal tersebut, setiap orang yang melanggar ketentuan tentang karantina kesehatan terancam hukuman pidana penjara maksimal satu tahun dan/atau denda maksimal Rp100 juta.

Selain itu, Kepolisian RI (Polri) selaku pengawas pengaturan lalu lintas larangan mudik juga akan menerapkan Pasal 216 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), di mana setiap orang yang tidak menuruti perintah atau permintaan petugas terancam hukuman pidana penjara maksimal empat bulan dua minggu atau denda maksimal Rp900 ribu.

Sejak pemberlakuan Permenhub 25/2020 pada 24 April 2020 lalu, sebanyak 171 ribu personel gabungan Polri-TNI dan instansi terkait telah melaksanakan Operasi Ketupat 2020 dan akan berlangsung hingga 31 Mei 2020, dalam rangka mengawal larangan mudik Lebaran 2020 selama masa pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19).

Berdasarkan catatan Polri per 2 Mei 2020, sebanyak 23.405 kendaraan telah diminta putar balik karena terindikasi akan melaksanakan mudik. Kendaraan tersebut meliputi kendaraan pribadi, kendaraan umum, dan kendaraan roda dua.

Namun demikian, intitusi yang dipimpin Kapolri Jenderal Idham Azis itu menemukan fakta adanya modus baru yang dilakukan pemudik untuk dapat lolos dari pengawasan petugas.

Misalnya, pemudik mencoba melewati jalan arteri dan tikus saat saat petugas konsentrasi di jalan tol, menaiki truk yang dimodifikasi untuk mengangkut orang, hingga menggunakan jasa biro perjalanan ilegal yang sebenarnya tidak diperuntukkan untuk mengangkut orang.

Polda Metro Jaya sendiri telah mengamankan sebanyak 15 biro perjalanan ilegal dengan 15 pengemudi dan total penumpang 113 orang, di mana seluruhnya telah dilakukan pemeriksaan dan diminta untuk kembali ke rumahnya masing-masing. Terhadap pengemudi, mereka dikenakan Pasal 308 UU 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dengan ancaman hukuman penjara dua bulan dan denda Rp500 ribu.

Guna mencegah terjadinya pelanggaran, Polri pun telah melakukan sejumlah upaya preventif, seperti meningkatkan kehadiran petugas di lapangan dengan pos pengamanan yang berfungsi untuk penyekatan, serta penindakan berupa tilang karena adanya pelanggaran penggunaan kendaraan yang tidak sesuai peruntukannya.

Transportasi Umum Beroperasi Terbatas

Sebelumnya, Menhub Budi Karya Sumadi dalam rapat kerja secara vitual bersama Komisi V DPR, Rabu (6/5/2020), mengungkapkan bahwa pihaknya akan melakukan penjabaran Permenhub 25/2020 dengan membolehkan seluruh transportasi umum kembali beroperasi. Kebijakan tersebut sudah efektif berlaku sejak Kamis (7/8/2020).

Meski bisa beroperasi seperti biasa, pemerintah menegaskan bahwa mudik atau pulang kampung tetap dilarang. Seluruh transportasi umum beroperasi secara terbatas, yakni hanya bisa mengangkut penumpang yang memenuhi sejumlah kriteria dan syarat yang ketat, serta tujuan yang jelas.

Kriteria tersebut tertuang dalam Surat Edaran (SE) Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Nomor 4 Tahun 2020 tentang Kriteria Pembatasan Perjalanan Orang dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19.

Melalui SE yang diteken pada Rabu (6/5/2020) itu, pemerintah melalui Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 juga sekaligus menunjukkan ketegasan terkait upaya memutus rantai penyebaran virus corona dengan tidak ada kelonggaran terkait mudik atau pulang kampung.

"Beberapa waktu terakhir, kami mendapatkan kesan seolah-olah masyarakat boleh mudik dengan syarat tertentu atau adanya kelonggaran. Saya tegaskan tidak ada perubahan peraturan tentang mudik. Artinya, mudik dilarang, titik. Saya tegaskan sekali lagi mudik dilarang, titik,” tegas Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo.

Hal tersebut disampaikannya dalam konferensi pers di Media Center Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, Graha Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Jakarta, Rabu (6/5/2020).

Lebih lanjut Doni Monardo yang juga Kepala BNPB ini memaparkan sejumlah hal yang menjadi dasar penerbitan SE tersebut. Menurutnya, selama dua pekan pelaksanaan Permenhub 25/2020, ada beberapa persoalan yang tidak diinginkan terjadi, seperti terhambatnya pelayanan percepatan penanganan Covid-19 dan juga pelayanan kesehatan.

"Seperti halnya adanya pengiriman alat kesehatan yang sulit menjangkau seluruh wilayah, terbatasnya mobilitas tenaga medis, dan (terhambatnya) pengiriman spesimen dari pemeriksaan masyarakat melalui metode swab test Polymerase Chain Reaction (PCR)," imbuhnya.

Selain itu, juga adanya keterbatasan transportasi pengiriman personel untuk mendukung Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Daerah, persoalan pemulangan atau repatriasi Anak Buah Kapal (ABK) dan pekerja migran Indonesia (PMI) ke Indonesia, dan terhambatnya pelayanan pertahanan, keamanan, dan ketertiban umum.

“Seperti seorang pejabat TNI tidak diperkenankan istrinya ikut ke lokasi penugasan. Tentunya kehadiran istri penting karena menyangkut serah terima jabatan di lingkunan TNI, ini pun juga terganggu,” tambah Doni Monardo.

Kemudian beberapa pelayanan kebutuhan dasar juga mengalami hambatan, seperti rantai pasokan makanan, terutama hasil pertanian, peternakan, dan perikanan. Menurutnya, pemerintah tidak ingin mobilitas pekerja harian lepas seperti petani dan peternak ikut terhambat. Pasalnya, kebutuhan dasar harus dapat terpenuhi dengan mudah sehingga masyarakat juga terjamin dalam pemenuhan gizi untuk menjaga imunitas tubuh.

“Hal ini tentunya tidak kita harapkan. Kita ingin seluruh kebutuhan dasar masyarakat dapat terpenuhi dengan mudah. Demikian juga masyarakat harus dijamin kebutuhan untuk mendapatkan gizi yang berkualitas dalam rangka meningkatkan imunitas tubuh agar bisa lekas sembuh dari Covid-19, termasuk juga bisa menghindari supaya tidak terpapar Covid-19,” jelas Doni.

Terakhir, terjadi juga hambatan dalam mendatangkan kebutuhan dan alat-alat kesehatan dari luar negeri, seperti bahan dasar alat pelindung diri (APD), reagen untuk PCR Test, masker N95, dan alat-alat kesehatan lainnya seperti mesin PCR.

Kriteria Penumpang

Lalu siapa saja yang bisa menggunakan transportasi umum? Menurut SE ini, ada tiga kriteria yang diberikan pengecualian.

Kriteria pertama adalah orang yang bekerja pada lembaga pemerintah atau swasta yang menyelenggarakan pelayanan percepatan penanganan Covid-19; pertahanan, keamanan, dan ketertiban umum; kesehatan; kebutuhan dasar; pendukung layanan dasar; dan fungsi ekonomi penting.

Persyaratan yang harus dipenuhi adalah menunjukkan surat tugas dan hasil negatif Covid-19 berdasarkan PCR Test/Rapid Test atau surat keterangan sehat dari dinas kesehatan/rumah sakit/puskesmas/klinik kesehatan.

Kemudian membuat surat pernyataan yang ditandatangani di atas materai dan diketahui oleh lurah/kepala desa setempat (bagi yang tidak mewakili lembaga pemerintah atau swasta), menunjukkan identitas diri (KTP atau tanda pengenal lainnya yang sah), dan melaporkan rencana perjalanan (jadwal keberangkatan, jadwal pada saat berada di daerah penugasan, serta waktu kepulangan).

Kriteria kedua adalah perjalanan pasien yang membutuhkan pelayanan kesehatan darurat atau perjalanan orang yang anggota keluarga intinya (orang tua, suami/istri, anak, saudara kandung) sakit keras atau meninggal dunia.

Persyaratan yang harus dipenuhi adalah menunjukkan identitas diri, surat rujukan dari rumah sakit (untuk pasien yang akan melakukan pengobatan di tempat lain), surat keterangan kematian dari tempat almarhum/almarhumah (untuk kepentingan mengunjungi keluarga yang meninggal dunia), dan hasil negatif Covid-19 berdasarkan PCR Test/Rapid Test atau surat keterangan sehat dari dinas kesehatan/rumah sakit/puskesmas/klinik kesehatan.

Kriteria terakhir adalah repatriasi PMI, WNI, dan pelajar/mahasiswa yang berada di luar negeri, serta pemulangan orang dengan alasan khusus oleh pemerintah samapi ke daerah asal, sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Persyaratan yang harus dipenuhi adalah menunjukkan identitas diri, surat keterangan dari Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BPPMI) atau surat keterangan dari Perwakilan RI di luar negeri (untuk penumpang dari luar negeri), dan surat keterangan dari universitas atau sekolah (untuk mahasiswa/pelajar).

Selain itu juga menunjukkan hasil negatif Covid-19 berdasarkan PCR Test/Rapid Test atau surat keterangan sehat dari dinas kesehatan/rumah sakit/puskesmas/klinik kesehatan, serta proses pemulangan harus dilaksanakan secara terorganisir oleh lembaga pemerintah, pemerintah daerah, swasta, dan universitas.

"Kegiatan yang dilakukan harus tetap memperhatikan protokol kesehatan yang ketat, meliputi menjaga jarak, menggunakan masker, mencuci tangan, dan tidak menyentuh bagian wajah,” tegas Doni Monardo. (FOTO: ANTARA FOTO/Budi Candra Setya)