Tidak Ada Imunitas Absolut dalam Perppu 1/2020

:


Oleh Norvantry Bayu Akbar, Selasa, 5 Mei 2020 | 19:07 WIB - Redaktur: DT Waluyo - 742


Jakarta, InfoPublik - Pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) yang melanda dunia sejak akhir tahun lalu, masih terus berlangsung hingga hari ini. Dampaknya pun tidak hanya terjadi di sektor kesehatan dan sosial saja, tetapi juga merembet sampai mengganggu perekonomian seluruh negara, termasuk Indonesia.

Menyikapi ini, Presiden Joko Widodo telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan yang ditandatangani pada 31 Maret 2020.

Selang sebulan, tepatnya pada 4 Mei 2020, Badan Anggaran (Banggar) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pun menerima dan menyetujui Perppu tersebut ditetapkan menjadi Undang-Undang (UU). Ketuk palu persetujuan itu dilakukan oleh Ketua Banggar DPR, Said Abdullah, dalam rapat kerja secara virtual dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham).

Dalam rapat maraton yang diadakan sejak siang hari hingga malam pukul 22.30 WIB tersebut, seluruh fraksi di Banggar DPR menyampaikan pandangannya mengenai Rancangan Undang-Undang tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 menjadi UU.

Mayoritas fraksi yang menerima dan menyetujui Perppu ini antara lain PDI-P, Partai Golkar, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Demokrat, Partai Gerindra, Partai Nasdem, Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sementara fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi satu-satunya yang menolak.

Setelah diterima dan disetujui oleh Banggar DPR, rencananya hasil keputusan tersebut akan dibawa ke rapat paripurna untuk selanjutnya disahkan menjadi UU sebelum masa sidang berakhir pada 12 Mei 2020.

Sebelumnya, dalam konferensi video dari Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, 31 Maret 2020, Presiden menjelaskan bahwa Perppu 1/2020 memberikan fondasi bagi pemerintah, otoritas perbankan, dan otoritas keuangan untuk melakukan langkah-langkah luar biasa dalam menjamin kesehatan masyarakat, menyelamatkan perekonomian nasional, dan stabilitas sistem keuangan.

Langkah pertama, pemerintah memutuskan total tambahan belanja dan pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun 2020 untuk penanganan Covid-19 adalah sebesar Rp405,1 triliun.

Rinciannya, Rp75 triliun untuk belanja bidang kesehatan, Rp110 triliun untuk perlindungan sosial, Rp70,1 triliun untuk insentif perpajakan dan stimulus Kredit Usaha Rakyat (KUR), dan Rp150 triliun untuk pembiayaan program pemulihan ekonomi nasional, termasuk restrukturisasi kredit serta penjaminan dan pembiayaan dunia usaha, khususnya usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

Kedua, anggaran bidang kesehatan akan diprioritaskan untuk perlindungan tenaga kesehatan, terutama pembelian alat pelindung diri (APD); pembelian alat-alat kesehatan, seperti test kit, reagen, ventilator, dan lain-lainnya; meningkatkan kapasitas rumah sakit rujukan, termasuk Wisma Atlet; serta insentif dokter, perawat, dan tenaga rumah sakit, juga santunan kematian tenaga medis dan penanganan permasalahan kesehatan lainnya.

Ketiga, anggaran perlindungan sosial akan diprioritaskan untuk keluarga penerima manfaat Program Keluarga Harapan (PKH) yang naik dari 9,2 juta menjadi 10 juta keluarga penerima manfaat dan Kartu Sembako yang dinaikkan dari 15,2 juta menjadi 20 juta penerima.

Selain itu, untuk Kartu Prakerja yang dinaikkan anggarannya dari Rp10 triliun menjadi Rp20 triliun untuk bisa menjangkau sekitar 5,6 juta orang yang terkena PHK, pekerja informal, dan pelaku usaha mikro dan kecil; pembebasan biaya listrik 3 bulan bagi 24 juta pelanggan listrik 450 VA dan diskon 50 persen bagi 7 juta pelanggan 900 VA; dan dukungan logistik sembako dan kebutuhan pokok sebesar Rp25 triliun.

Keempat, untuk stimulus ekonomi bagi UMKM dan pelaku usaha, akan diprioritaskan pemberlakuan penggratisan PPh 21 bagi para pekerja sektor industri pengolahan penghasil maksimal Rp200 juta, pembebasan PPN impor bagi wajib pajak dan impor tujuan ekspor, dan pengurangan tarif PPh sebesar 25 persen bagi wajib pajak dan impor tujuan ekspor, terutama industri kecil menengah pada sektor tertentu.

Di samping itu, stimulus ekonomi juga diperuntukkan bagi percepatan restitusi PPN pada 19 sektor tertentu untuk menjaga likuiditas pelaku usaha, seperti penurunan tarif PPh Badan sebesar 3 persen dari 25 persen menjadi 22 persen dan penundaan pembayaran pokok dan bunga untuk semua skema KUR yang terdampak Covid-19 selama 6 bulan.

Terakhir, untuk bidang non-fiskal dalam menjamin ketersediaan barang yang saat ini dibutuhkan, termasuk bahan baku industri, pemerintah melakukan beberapa kebijakan, yaitu penyederhanaan larangan terbatas (lartas) ekspor, penyederhanaan lartas impor, serta percepatan layanan proses ekspor-impor melalui national logistic ecosystem.

Lahirnya Perppu 1/2020

Penyebaran Covid-19 sebagai pandemi pada sebagian besar negara-negara di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, sesuai data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang menunjukkan peningkatan dari waktu ke waktu telah menimbulkan korban jiwa dan kerugian material yang semakin besar.

Hal itu berimplikasi pada aspek sosial, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat sehingga terjadi perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional, penurunan penerimaan negara, dan peningkatan belanja negara dan pembiayaan, serta mengganggu stabilitas sistem keuangan.

Maka itu, pemerintah perlu segera mengambil kebijakan dan langkah-langkah luar biasa dalam rangka penyelamatan perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan melalui berbagai kebijakan relaksasi yang berkaitan dengan pelaksanaan APBN.

Fokus kebijakan itu terkait belanja untuk kesehatan, pengeluaran untuk jaring pengaman sosial, dan pemulihan perekonomian. Oleh karenanya, untuk memperkuat kewenangan berbagai lembaga dalam sektor keuangan, pemerintah harus memberikan landasan hukum yang kuat/memadai.

Kurang lebih itulah latar belakang terbitnya Perppu 1/2020, sebagaimana disampaikan Menkeu Sri Mulyani Indrawati. Dalam rapat kerja secara virtual bersama Banggar DPR dengan agenda Penyampaian Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2020, Menkeu menjelaskan; “Perppu ini adalah dibuat dengan pilar persis seperti yang merupakan ancaman Covid-19, yaitu ancaman di bidang kesehatan yang menular di bidang sosial dan kemudian juga menciptakan ancaman di bidang ekonomi dan ancaman di sektor keuangan".

Menurut Menkeu, Perppu dikeluarkan untuk bisa menciptakan bantalan agar ancaman-ancaman tersebut tidak terjadi atau paling tidak bisa dimitigasi atau diminimalkan dampaknya. Meski tidak 100 persen, namun jangan sampai seluruh bangsa dan negara porak-poranda dari aspek kesehatan, sosial, ekonomi, dan sistem keuangannya.

Selain itu, Perppu juga diperlukan sesegera mungkin agar pemerintah dan otoritas terkait dapat melaksanakan langkah-langkah luar biasa yang diperlukan, termasuk pelebaran defisit dan hal-hal lain dalam menjaga stabilitas sektor keuangan.

Imunitas Tidak Absolut

Dalam perjalanannya sejak diterbitkan hingga akhirnya disetujui untuk disahkan menjadi UU, Perppu 1/2020 sempat mendapatkan kritikan. Bahkan, ada pihak yang menggugat pasal yang dinilai kontroversial ke Mahkamah Konstitusi (MK), yakni Pasal 27 terkait imunitas atau kebal tuntutan hukum.

Dalam Ayat (1) tersebut disebutkan bahwa biaya yang telah dikeluarkan pemerintah dan/atau lembaga anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara, belanja negara, pembiayaan, stabilitas sistem keuangan, dan pemulihan ekonomi nasional merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan kerugian negara.

Kemudian Ayat (2) menyatakan bagi anggota KSSK, sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kemenkeu, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya yang berkaitan dengan pelaksanaan Perppu ini tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

Terakhir, Ayat (3), menyatakan segala tindakan, termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Perppu ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Merespons kritikan tersebut, Menkeu menegaskan bahwa peraturan perlindungan hukum dalam Perppu 1/2020 seperti yang disebutkan di atas bukanlah merupakan imunitas yang absolut bagi pejabat pelaksana.

"Karena dalam ketentuan tersebut tetap diberikan prasyarat, yaitu sepanjang dilakukan dengan itikad baik dan sesuai peraturan perundang-undangan," jelas Menkeu, masih dalam rapat kerja secara virtual bersama Banggar DPR RI.

Menurutnya, perlindungan hukum sesuai Pasal 27 dalam Perppu 1/2020 untuk memberikan kepastian hukum dan keadilan kepada pelaksana Perppu tersebut.

Perlindungan hukum ini dinilai sangat penting bagi efektivitas pelaksanaan Perppu 1/2020 oleh para pihak karena akan memperoleh kepercayaan terhadap hukum dan sistem hukum yang akan melindungi pihak-pihak yang telah melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya berdasarkan Perppu tersebut.

Di samping itu, ketentuan mengenai perlindungan hukum juga merupakan sebuah hal yang lazim diberikan bagi para pihak dalam menjalankan tugas dan kewenangannya.

Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu menambahkan, pelaksanaan Perppu ini akan dilakukan dengan tata kelola yang baik sesuai Pasal 12 Ayat (1) dan dilaporkan pemerintah dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat. Sehingga tetap akan dilakukan diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). (Foto: ANTARA FOTO/Raqilla)