Di Balik Layar KAA 65 Tahun Silam

:


Oleh Norvantry Bayu Akbar, Senin, 20 April 2020 | 16:26 WIB - Redaktur: DT Waluyo - 2K


Jakarta, InfoPublik - Persamaan nasib melahirkan persatuan tindakan dan rasa. Demikian pula dengan pergerakan kemerdekaan di antara negara-negara di benua Asia dan Afrika. Persamaan nasib itu kelak mewujudkan solidaritas rakyat dua benua. Hari ini 18 April, 65 tahun (tahun 1955) silam, Konferensi Asia Afrika (KAA) dibuka Presiden RI Soekarno. Acara digelar di Gedung Merdeka, Bandung, Jawa Barat.

“Saya berharap Konferensi ini akan menegaskan kenyataan, bahwa pemimpin-pemimpin Asia dan Afrika mengerti bahwa Asia dan Afrika hanya dapat menjadi sejahtera apabila mereka bersatu, dan bahkan keamanan seluruh dunia tanpa persatuan Asia-Afrika tidak akan terjamin," ucap Presiden Soekarno pada pidato pembukaan KAA.

KAA disponsori oleh lima negara, yakni Burma (kini Myanmar), India, Indonesia, Pakistan, dan Ceylon (kini Sri Lanka). Pertemuan yang melibatkan 24 negara lainnya dari Asia dan Afrika ini berlangsung selama sepekan dan menghasilkan kesepakatan berupa Komunike Akhir KAA yang di dalamnya memuat Dasasila Bandung. Prinsip-prinsip tersebut dikenal dunia sebagai Spirit Bandung.

Enam puluh lima tahun kemudian, Spirit Bandung pun tetap relevan. Prinsip-prinsip inklusivitas, kesetaraan, kerja sama, non-intervensi, perdamaian dunia, dan penghormatan terhadap tatanan hukum internasional yang diusung Spirit Bandung bukan saja hadir sebagai nafas dari diplomasi multilateral, tapi juga simbol Bhinneka Tunggal Ika bagi negara-negara berkembang.

"Marilah kita kenangkan bahwa tujuan manusia tertinggi ialah pembebasan manusia dari belenggu ketakutannya, dari belenggu yang menurunkan derajatnya, dari belenggu kemiskinannya," tandas Bung Karno, sapaan akrab Presiden, kala itu.

Dalam rangka mengenang peringatan 65 tahun KAA, berikut rangkuman sejumlah fakta dan peristiwa menarik yang terjadi sebelum dan selama KAA berlangsung yang telah dihimpun oleh Redaksi InfoPublik dari laman Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI dan Museum KAA.

Prakarsa Indonesia

“Ingat, Ali, kali ini adalah cita-cita bersama. Hampir tiga puluh tahun yang lalu kita dalam pergerakan nasional melawan penjajahan, kita sudah mendengungkan solidaritas Asia-Afrika,” demikian pesan Bung Karno kepada Perdana Menteri (PM) RI Ali Sastroamidjojo di Istana Merdeka pada pertengahan bulan April 1954. Kala itu, PM Ali akan berangkat ke Kolombo, Sri Lanka, guna memenuhi undangan PM Sir John Kotelawala dalam Konferensi Kolombo.

Sembilan bulan sebelumnya, Bung Karno melantik Ali menjadi PM RI, Rabu, 12 Agustus 1953. Tadinya Ali bertugas di Washington DC sebagai Duta Besar. Selama mengemban tugas itu, ia kerap bertukar pikiran dengan para kepala perwakilan negara-negara Asia dan Afrika. Melalui pendekatan itu, ia menangkap kesan cara untuk memperkuat upaya tercapainya perdamaian dunia di masa Perang Dingin adalah melalui kerja sama dengan negara-negara Asia dan Afrika.

Sebab, di matanya, negara-negara Asia dan Afrika pada umumnya memiliki persamaan pendirian isu internasional. Dengan begitu, mereka mempunyai dasar kuat untuk melakukan kerja sama yang baik. Sebab itu, ia mengakui dalam memoarnya "Tonggak-tonggak di Perjalananku", gagasan tentang kerja sama antara negara-negara Asia dan Afrika dalam bidang politik luar negeri sudah timbul sejak di Washington DC.

Lantaran, ia menjelaskan, utusan diplomatik dari negara Asia dan Afrika sudah merasakan betapa besarnya pengaruh Perang Dingin terhadap kehidupan negara-negara yang sedang berkembang. Alhasil, tak ada jalan lain kecuali Asia dan Afrika harus bekerja sama. Pentingnya kerja sama itu ia tulis, “Kami merasakan suatu usaha bersama pada suatu hari harus dilakukan untuk membebaskan Asia dan Afrika dari tekanan-tekanan yang disebabkan oleh Perang Dingin itu.”

Selanjutnya, ia mengungkapkan agar kerja sama itu perlu segera diwujudkan, “Tidak cukup usaha itu dijalankan hanya dengan pernyataan pendirian negara-negara terhadap Perang Dingin ialah bebas aktif, netralitas aktif. Hendaknya tindakan yang positif dan konkret itu belum ada jawabannya.”

Terakhir, ia mengakui gagasan itu tetap mengganggu pikirannya hingga dirinya dilantik sebagai PM RI.

Buku Sejarah Diplomasi Indonesia dari Masa ke Masa (1950-1960) memaparkan, gagasan Ali itu memang kemudian baru mendapat dukungan di masa ia menjabat PM. Pada Selasa, 25 Agustus 1953, di depan Parlemen Indonesia, Ali menyampaikan pidato pentingnya kerja sama Asia dan Afrika.

“Kerja sama dalam golongan negara-negara Asia dan Arab kami pandang penting benar karena kami yakin kerja sama antara negara-negara itu tentulah memperkuat usaha ke arah tercapainya perdamaian dunia yang kekal,” ucapnya.

Dalam pidato itu. ia pula mengatakan soal pentingnya pendirian negara Asia dan Afrika.

“Kerja sama antarnegara Asia dan Afrika adalah sesuai benar dengan aturan PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa) mengenai kerja sama kewilayahan. Selain dari itu, negara-negara itu pada umumnya memang mempunyai pendirian yang sama dalam beberapa soal di kalangan internasional. Jadi mempunyai dasar sama untuk mengadakan golongan yang khusus. Dari sebab itu, kerja sama itu akan kami lanjutkan dan pererat,” imbuhnya.

Menurut catatan Roeslan Abdulgani dalam The Bandung Connection, pernyataan ini kelak ia ulangi lagi kala menghadiri Konferensi Kolombo di Sri Lanka pada Jumat sore, 30 April 1954.

Di hadapan para PM peserta Konferensi Kolombo, ia berucap, “Suatu konferensi yang sama hakekatnya dengan Konferensi Kolombo sekarang, tapi lebih luas jangkauannya dengan tidak hanya memasukkan negara-negara Asia, tetapi juga negara-negara Afrika lainnya.”

Sejak itu, gagasan KAA terus bergulir hingga akhirnya terwujud di Kota Bandung pada 1955.

Serba-serbi Kuliner KAA

Presiden Sukarno meminta Sekretariat Bersama KAA supaya tak melulu menghidangkan menu Eropa. Padahal sebelumnya, sesuai rencana delegasi KAA hanya akan menerima sajian menu Eropa.

Dalam memoarnya, "The Bandung Connection", Roeslan Abdulgani, Ketua Sekretariat Bersama mengutarakan alasannya. Menurutnya, sajian menu itu bermula dari kebiasaan Istana Belanda di masa kolonial. Kemudian berlanjut menjadi kebiasaan waktu itu untuk menjamu tamu-tamu asing.

Lantaran perintah itu, Sekretariat Bersama KAA mengubah daftar sajian menu delegasi. Menu khas Nusantara, seperti soto, sate, dan gado-gado mulai diperkenalkan. Di luar itu, camilan klepon, pukis, lemper, kue lapis, bika Ambon, dan dawet tak lupa pula turut dihidangkan.

Kesaksian Roeslan soal kuliner Nusantara di KAA senada dengan penjelasan pendiri Museum Pustaka Peranakan Tionghoa, Azmi Abubakar. Melalui akun twitter @Azmiabubakar pada Jumat, 14 Februari 2020, ia mencuit soal cokelat yang pernah dipesan panitia KAA.

Menurutnya, pesanan itu datang dalam jumlah besar. Alhasil, pabriknya diputuskan pindah ke Bandung. Pabrik ini sendiri milik keluarga Chuang dari Garut, Jawa Barat. Dalam cuitannya itu, Azmi menduga Presiden Sukarno pernah mencicipi cokelat produksi keluarganya sehingga dipesan.

Sementara itu, Sulhan Syafii dan Ully Rangkuti dalam "Di Balik Layar KAA" mencatat kesaksian Murdi Putra dan H Padlie Badjurie soal kuliner Nusantara untuk delegasi KAA. Hajjah Sopiah, putri pemilik colenak tersohor di Bandung, Murdi Putra, mengisahkan pengalaman ayahnya soal colenak yang dipesan panitia KAA.

Kala itu, ia yang berusia 16 tahun mendengar kabar dari ayahnya bahwa panitia KAA memesan colenak. Ia mengenang ayahnya begitu senang saat itu. Semasa KAA berlangsung, setiap hari ada dua orang utusan panitia KAA yang mengambil pesanan colenak di warung Pak Murdi di Cicadas.

Gara-gara itu, kenang Sopiah, colenak Murdi Putra mendadak populer. Seketika banyak media massa yang menulis berita soal tape singkong yang naik daun jadi suguhan tamu negara.

Menurut temuan historis Sulhan Syafii dan Ully Rangkuti, colenak ini memang dipesan khusus utk melengkapi cemilan lainnya, seperti rangginang dan opak yang telah dipesan lebih dahulu bagi delegasi. Minuman khas Sunda, seperti bandrek dan bajigur juga termasuk dalam sajian camilan ini.

Pada malam resepsi delegasi KAA, Senin, 18 April 1955, di Gedung Pakuan dan malam perpisahan delegasi KAA, Minggu, 24 April 1955, colenak selalu tersaji di meja suguhan untuk delegasi.

Selain itu, sate dan gule setiap hari selama sepekan KAA tersaji bagi para delegasi KAA. Menurut kesaksian H Padlie Badjurie, sang pemilik Rumah Makan Madrawi, sate dan gule jadi suguhan delegasi KAA adalah karena pesanan Presiden Sukarno.

Setiap hari dua orang utusan panitia KAA mengambil pesanan di rumah makannya. Mereka datang sebelum jam makan siang dan sebelum jam makan malam. Pesanan sate dan gule mereka bawa ke Gedung Pakuan di Jalan Otto Iskandardinata.

Ketua KAA PM Ali Sastroamidjojo, menurut pengakuan H Padlie Badjurie, bahkan datang sendiri menemuinya di Rumah Makan Madrawi untuk memintanya melayani delegasi KAA dengan baik. “Saya yang akan bayar. Tolong dicatat dulu,” kata Ali seperti dituturkan ulang oleh H Padlie Badjurie.

Pinjaman Mobil Warga Bandung

Panitia memperkirakan setiap hari KAA akan memerlukan 30 ton bensin. Sebagai cadangan, panitia juga berencana menyediakan 175 ton bensin. Akan tetapi, beberapa hari menjelang perhelatan KAA, perusahaan minyak STANVAC mendadak tidak sanggup lantaran kesulitan teknis.

Demikian kenang Roeslan Abdulgani yang karib disapa Cak Roes, selaku Ketua Sekretariat Bersama KAA dalam penggalan kisah "Suka Duka Menjelang Konferensi" dalam memoarnya "The Bandung Connection".

Cak Roes mengakui, sulit rasanya menafikkan kesan ada upaya pihak tertentu untuk mempersulit transportasi KAA kala itu. Padahal, sebelumnya perusahaan minyak milik Amerika Serikat itu sudah menyatakan kesediaannya. Kala itu, Indonesia memang masih belum memiliki perusahaan minyak nasional.

Namun demikian, tulis Cak Roes, setelah Direksi STANVAC kena pleter terus, akhirnya semua kesulitan teknis itu diatasi tepat waktu. Alhasil, sebuah instalasi dengan kapasitas 800.000 liter bensin didirikan di Cirebon, Jawa Barat. Sedangkan empat buah pom bensin baru di Bandung sudah siap.

Bensin sebanyak itu sangat penting bagi KAA. Pasalnya, Sekretariat Bersama KAA telah menyediakan 143 mobil sedan, 30 taksi, dan 20 bus. Kendaraan sebanyak itu melayani delegasi dan wartawan selama KAA. Tak lupa, 230 supir yang siap sedia setiap saat di sekitar Jalan Braga.

Soewarma, juru transportasi KAA, dalam buku "Di Balik Layar KAA" karya Sulhan Syafii dan Ully Rangkuti mengatakan, panitia KAA juga telah menyiapkan sejumlah bus malam KAA yang menghubungkan Jakarta ke Bandung.

Selain bus, moda transportasi lainnya turut pula disiagakan, seperti kereta api dan pesawat terbang. Ia masih mengingat dari Gambir-Bandung tersedia kereta api khusus KAA. Kereta ini dibagi dua kelas, yakni kelas 2 & kelas 3. Di kursi kelas 2, ada 172 tempat duduk yang tidak dijual bebas.

Sedangkan untuk moda penerbangan, panitia KAA sejak 15 April 1955 sudah menyiapkan tujuh penerbangan. Setiap hari, pesawat Garuda Indonesia berangkat dari Bandara Kemayoran di Jakarta dan mendarat di Bandara Andir di Bandung.

Selama persiapan, Soewarma sendiri sudah sibuk sejak 14 April 1955 lantaran ada beberapa delegasi yang datang lebih awal. Sedangkan saat pembukaan KAA, ia di bagian samping Gedung Merdeka, tepatnya di Jalan Braga dan Jakan Naripan tempat kendaraan disiapkan. Dari sana, ia mengatur kendaraan KAA.

Selain Soewarma, Landung yang juga seorang guru turut terlibat dalam urusan kendaraan KAA. Kesaksian Landung cukup mengagetkan. Pasalnya, sebagai relawan ia bertugas sebagai pengumpul mobil milik warga Bandung. Lantas, ia mendatangi warga Bandung yang memiliki mobil.

Sambil menggunakan sepeda, ia bertamu ke beberapa rumah orang kaya di Bandung. Menurutnya jumlahnya tak banyak, sekitar puluhan mobil saja. Untungnya, semua keluarga yang ditemui Landung memberikan pinjaman mobil dengan sukarela. Sebab, mereka paham konferensi harus sukses.

“Mobil-mobil yang dipinjam itu menjadi tanggung jawab panitia. Bensinnya diisi panitia. Sopirnya adalah perwira kepolisian yang tengah pendidikan di Jakarta,” kenang Landung.

Nyaris digelar di tenda

Di tengah kesibukan persiapan KAA di awal tahun 1955, Muhammad Junus yang merupakan utusan khusus PM India Jawaharlal Nehru tiba di Jakarta. Kepada PM Ali Sastroamidjojo, ia mengusulkan agar KAA di Bandung kelak cukup digelar di bawah tenda di sebuah lapangan luas.

Menurut Junus, yang resmi mewakili pemerintah India di Sekretariat Bersama KAA, Partai Kongres di India sudah berpengalaman soal itu apabila menggelar kongres dengan ribuan peserta. Junus meyakinkan, dengan cara itu kesukaran yang tengah dihadapi Sekretariat Bersama KAA soal fasilitas konferensi dapat diatasi. Dengan mengadakan perkemahan besar-besaran di salah satu lapangan di Bandung semua peserta konferensi dapat ditampung di situ.

Tetapi, PM Ali Sastroamidjojo punya pandangan lain soal usul Junus. Pasalnya, di mata PM Indonesia ini usulan itu beresiko. Sebab, di antara delegasi terdapat ketua delegasi yang berpangkat PM atau Menlu. Akomodasi untuk mereka di tenda tentunya kurang memadai.

Belum sirna dari ingatan PM Ali Sastroamidjojo kritik TIMES. Majalah ini mengkritik akomodasi Konferensi Bogor yang dianggap tak layak. Media ini menyinggung buruknya akomodasi delegasi, seperti air yang tak mengalir, gantungan pakaian yang tak ada di kamar, dan listrik yang kedap-kedip.

Usulan Muhammad Junus itu kemudian hari diketahui rupanya tak lepas dari pengaruh PM India Jawaharlal Nehru. Kala itu kesukaran yang tengah dihadapi Sekretariat Bersama KAA dalam mencari gedung di Bandung terdengar sampai ke telinga PM Nehru melalui duta besar India di Jakarta.

Meski sedari semula PM Nehru memang meragukan kemampuan pemerintah Indonesia untuk menyelenggarakan konferensi internasional, tetapi di sisi lain PM India itu juga berhasrat melihat suksesnya KAA.

Pasca-Konferensi Bogor 1954, penetapan konferensi disepakati diserahkan kepada PM Indonesia. Lantas, PM Ali Sastroamidjojo memutuskan Bandung sebagai tempatnya. Sejak itu kesukaran mulai terasa, terutama soal gedung. Sementara, waktu yang tersisa cukup mepet lantaran KAA akan dihelat di pekan terakhir bulan April 1955. Mereka hanya punya waktu efektif lima belas minggu untuk mendapatkan gedung itu.

Dalam memoarnya bertajuk "Tonggak-tonggak di Perjalananku", PM Ali Sastroamidjojo mengungkapkan jumlah gedung-gedung besar di Bandung pada waktu itu masih terbatas sekali. Gedung yang ada sudah dipakai semua untuk kantor pemerintahan. Padahal, panitia KAA harus menyediakan gedung yang cukup besar untuk rapat konferensi. Soal ini, diakuinya dalam memoar itu, sungguh menimbulkan kesulitan.

Di tengah kekhawatiran itu, PM Ali Sastroamidjojo memuji peran Gubernur Jawa Barat Sanusi Hardjadinata yang karib disapa Mang Uci. Pasalnya, sebagai Ketua Panitia Lokal yang mempersiapan KAA di Bandung, Mang Uci menawarkan sebagai solusi dua gedung yang paling sesuai untuk KAA, yaitu Gedung Societeit Concordia di Jalan Raya Timur dan Gedung Dana Pensiun di Jalan Diponegoro.

Dua gedung ini kelak pada 7 April 1955 resmi diubah namanya oleh Presiden Sukarno untuk menyambut KAA. Gedung Societeit Concordia menjadi Gedung Merdeka. Sedangkan Gedung Dana Pensiun berganti Gedung Dwi Warna.

Atap Gedung Merdeka Bocor

Tak lama usai Presiden Sukarno resmi membuka KAA pada Senin, 18 April 1955, di Ruang Utama Gedung Merdeka, Kota Bandung kala itu diguyur hujan lebat. Akibatnya, sisi barat ruang utama bocor. Air menetes begitu deras.

Ruang utama basah kuyup, terutama di sisi barat. Sebab, yang paling hebat bocornya di sisi itu. Air terus menetes dari atas. Tempat duduk delegasi dan balkon bawah untuk para menteri dan pembesar-pembesar lain ikut basah. Lantai di bawahnya juga ikut tergenang air.

Untunglah ketika itu sidang pleno terbuka sedang beristirahat. Para delegasi rehat di Hotel Savoy Homann. Mereka sesuai jadwal berada di sana mulai pukul 13.00 WIB. Selanjutnya, pukul 15.00 WIB, delegasi akan kembali ke Gedung Merdeka untuk sesi pidato ketua delegasi.

Roeslan Abdulgani yang karib disapa Cak Roes itu dalam memoarnya berjudul "The Bandung Connection" mengingat peristiwa hujan lebat siang itu sangat menegangkan dan tak pernah ia lupakan.

Menurutnya, setelah para delegasi meninggalkan ruang sidang untuk beristirahat, ia pun ikut pulang ke penginapannya yang tak jauh dari Hotel Preanger untuk makan siang. Dalam perjalanan itu, ia melihat seluruh Kota Bandung kala itu tengah diliputi oleh awan mendung gelap.

Saat Cak Roes menikmati santap siangnya, sekonyong-konyong hujan turun amat derasnya disertai guntur dan halilintar. Sejurus kemudian pemimpin pasukan keamanan Gedung Merdeka datang menemuinya. Dengan suara gugup kepada Cak Roes, ia melaporkan keadaan Gedung Merdeka yang bocor.

Tanpa menyelesaikan makan siangnya, Cak Roes meloncat ke dalam mobil bersama dua stafnya. Senin siang itu, sejarah mencatat Cak Roes memang tak pernah kembali ke hotel untuk menyelesaikan makan siangnya.

Tiba di Gedung Merdeka, Cak Roes bertemu Kepala Dinas Pekerjaan Umum Jawa Barat Srigati Santoso dan timnya yang rupanya juga sudah menerima laporan. Saat itu diperkirakan ada genteng di atap Gedung Merdeka yang merosot. Akan tetapi, mengingat masih masih lebatnya hujan, usaha untuk naik ke atap belum memungkinkan.

Sekitar pukul 14.00 WIB, hujan mulai perlahan-lahan berhenti. Segera petugas Pekerjaan Umum sigap naik ke atap. Mereka meniti dinding tembok luar di sebelah barat Gedung Merdeka.

Sementara itu, di dalam gedung semua terus bekerja keras mengeringkan ruang dengan menggunakan lap, karung, dan ember air. Cak Roes sendiri sontak melepas celana, jas, kemeja, kaos kaki, dan sepatunya. Ia kemudian bergabung mengeringkan kursi dan meja dengan goni dan lap.

Cak Roes meminta supaya pintu Gedung Merdeka sementara ditutup rapat dulu sampai pukul 14.45 WIB. Keputusan itu penting supaya jangan sampai ada delegasi yang datang sebelum pukul 15.00 WIB.

Kerja gotong royong siang itu berbuah hasil. Akhirnya, semua dapat bernafas lega kembali. Sebab, dalam waktu 45 menit semua di ruang utama terlihat bersih dan kering kembali. Peristiwa hujan besar itu untung hanya terjadi di hari pertama KAA. Usai itu, panitia lokal KAA di Bandung giat mengerahkan segala macam cara untuk menolak hujan.

(Foto: http://asianafricanmuseum.org/en/gallery/kaa/)