Kesempatan Kedua Anak WNI Eks ISIS

:


Oleh Norvantry Bayu Akbar, Sabtu, 29 Februari 2020 | 09:07 WIB - Redaktur: DT Waluyo - 529


Jakarta, InfoPublik - Kesempatan kedua itu kini digenggaman anak-anak Warga Negara Indonesia (WNI) yang orangtuanya terlibat kelompok radikal Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). Ruang itu diberikan Pemerintah kepada mereka yang berstatus yatim piatu dan berusia di bawah 10 tahun.

Kebijakan resmi tersebut disampaikan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, Senin (24/2/2020) lalu. Menurutnya, saat ini Pemerintah tengah mengidentifikasi jumlah anak-anak WNI eks ISIS yang saat ini tengah berada di kamp-kamp pengungsian di Suriah.

"Sekarang itu kita baru pada tahap inventarisasi, apa betul ada yang berusia di bawah 10 tahun. Kalau ada, itu ada di kamp yang mana atau di negara mana. Itu semua masih dalam proses identifikasi yang dilakukan BNPT," tuturnya.

Sementara terkait teknis pemulanganya, dirinya mengaku masih berkoordinasi dengan sejumlah pemangku kepentingan, terutama Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Termasuk bagaimana pembinaannya nanti setelah pulang ke Tanah Air.

"Kalau teknis pemulangan itu gampang saja, kalau sudah ketemu dan sudah betul memenuhi syarat untuk dipulangkan, kalau itu mungkin biasa aja lewat dijemput, dibawa, dan sebagainya. Itu teknis," jelas Menko Polhukam Mahfud MD.

Dia pun meminta agar masyarakat memercayakan segala sesuatu yang berkaitan dengan proses pemulangan anak-anak eks ISIS ini kepada Pemerintah dan negara.

Sebab, setiap perkembangan memang tak bisa dibuka seluruhnya ke publik. Menko Polhukam Mahfud MD khawatir akan banyak pihak yang nantinya justru mendatangi anak-anak tersebut saat mereka telah berhasil kembali ke Indonesia.

"Percayakan saja ke negara, dirawat bagaimana dan sebagainya, negara itu sudah menyiapkan segalanya," katanya. "Nanti anak-anak kecil didatangi lagi ke rumahnya, tambah stres dia," sambung Menko Polhukam Mahfud MD.

Di samping itu, pada saat yang sama, Pemerintah juga tengah mengantisipasi segala bentuk ancaman yang bisa disebabkan WNI eks ISIS usia dewasa. Salah satunya adalah dengan memblokir paspor milik mereka sehingga tidak bisa masuk lagi ke Indonesia.

Pemblokiran tersebut dilakukan terus menerus, di mana setiap kali WNI teridentifikasi terlibat ISIS maka akan segera dilaporkan ke pihak Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) untuk dilakukan pemblokiran.

Sikap Negara Lain

Sebelumnya, pada awal Februari 2020, Pemerintah telah menegaskan tidak akan memulangkan WNI yang telah bergabung dengan ISIS dan menjadi teroris lintas batas atau Foreign Terrorist Fighters (FTF).

"Pemerintah memiliki tanggung jawab keamanan terhadap 260 juta penduduk Indonesia. Itu yang kita utamakan. Oleh sebab itu, pemerintah tidak memiliki rencana untuk memulangkan orang-orang (WNI eks ISIS) yang ada di sana," kata Presiden Joko Widodo dalam jumpa pers di Istana Negara, Jakarta, 12 Februari 2020.

Tidak hanya Pemerintah Indonesia, sikap yang sama tampaknya diambil pula oleh sejumlah negara yang warganya juga menjadi teroris lintas batas dan bergabung dengan ISIS.

Pemerintah Australia, misalnya, secara tegas menolak pemulangan mantan petarung ISIS ke negara mereka, di mana tercatat setidaknya ada tiga petarung ISIS asal Australia yang kini ditahan di Turki.

Perdana Menteri Australia Scott Morrison menegaskan tidak tertarik untuk membawa pulang warganya yang menjadi anggota ISIS karena menimbang faktor risiko pada masyarakat.

Namun demikian, serupa dengan Indonesia, Australia juga mempertimbangkan agar mereka yang masih anak-anak bisa pulang.

Selanjutnya adalah Prancis. Presiden Emmanuel Macron juga secara gamblang menyatakan tidak ingin memulangkan kembali prajuritnya yang menjadi anggota ISIS, kecuali anak-anak.

Tahun lalu, Prancis telah memulangkan 12 anak yatim piatu eks ISIS, meski sebagian masyarakatnya ada yang menolak langkah tersebut.

Inggris juga menjadi salah satu negara yang menolak kepulangan mantan petarung ISIS, meski surat kabar setempat, The Guardian, mencatat 45 persen atau sekitar 400 orang petarung ISIS asal Inggris sudah pulang.

Masih sama dengan Indonesia, Menteri Luar Negeri Inggris Dominic Raab juga mempertimbangkan untuk memulangkan mereka yang masih anak-anak.

Sementara, Uni Eropa tegas menolak pemulangan mantan petarung ISIS. Bahkan, Koordinator Antiterorisme Uni Eropa Gilles de Kerchove menegaskan juga tidak mau lengah terhadap anak-anak yang terlibat ISIS.

Menurutnya, anak-anak tersebut bisa menjadi generasi bom bunuh diri selanjutnya, di samping juga merupakan bom waktu.

Status Kewarganegaraan

Terkait status kewarganegaraan WNI yang terlibat ISIS, maka peraturan perundang-undangan yang dapat dijadikan acuan adalah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 (UU 12/2006) tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia

Untuk kasus anak-anak, maka dapat melihat pada Pasal 25 yang menyebutkan kehilangan kewarganegaraan bagi seorang ayah tidak dengan sendirinya berlaku terhadap anaknya yang mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya sampai dengan anak tersebut berusia 18 tahun atau sudah kawin.

Kemudian kehilangan kewarganegaraan bagi seorang ibu juga tidak dengan sendirinya berlaku terhadap anaknya yang tidak mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya sampai dengan anak tersebut berusia 18 tahun atau sudah kawin.

Selanjutnya, kehilangan kewarganegaraan karena memperoleh kewarganegaraan lain bagi seorang ibu yang putus perkawinannya, tidak dengan sendirinya juga berlaku terhadap anaknya sampai dengan anak tersebut berusia 18 tahun atau sudah kawin.

Sementara untuk kasus orang dewasa, sebagaimana tertuang dalam UU 12/2006 pada Bab IV Kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia, Pasal 23 dengan jelas menyebutkan sejumlah syarat seorang WNI dapat kehilangan status kewarganegaraannya.

Pertama, yang bersangkutan memperoleh kewarganegaraan lain atas kemauannya sendiri.

Kedua, tidak menolak atau tidak melepaskan kewarganegaraan lain, sedangkan orang yang bersangkutan mendapat kesempatan untuk itu.

Ketiga, dinyatakan hilang kewarganegaraannya oleh Presiden atas permohonannya sendiri, yang bersangkutan sudah berusia 18 tahun atau sudah kawin, bertempat tinggal di luar negeri, dan dengan dinyatakan hilang Kewarganegaraan Republik Indonesia tidak menjadi tanpa kewarganegaraan.

Keempat, masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari Presiden.

Kelima, secara sukarela masuk dalam dinas negara asing, yang jabatan dalam dinas semacam itu di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan hanya dapat dijabat oleh Warga Negara Indonesia.

Keenam, secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada negara asing atau bagian dari negara asing tersebut.

Ketujuh, tidak diwajibkan tetapi turut serta dalam pemilihan sesuatu yang bersifat ketatanegaraan untuk suatu negara asing.

Kedelapan, mempunyai paspor atau surat yang bersifat paspor dari negara asing atau surat yang dapat diartikan sebagai tanda kewarganegaraan yang masih berlaku dari negara lain atas namanya.

Terakhir, bertempat tinggal di luar wilayah negara Indonesia selama 5 tahun terus-menerus bukan dalam rangka dinas negara, serta tanpa alasan yang sah dan dengan sengaja tidak menyatakan keinginannya untuk tetap menjadi WNI sebelum jangka waktu 5 tahun itu berakhir

Selain itu setiap 5 tahun berikutnya yang bersangkutan tidak mengajukan pernyataan ingin tetap menjadi WNI kepada Perwakilan Indonesia yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal yang bersangkutan padahal Perwakilan tersebut telah memberitahukan secara tertulis kepada yang bersangkutan, sepanjang yang bersangkutan tidak menjadi tanpa kewarganegaraan.

Namun demikian, Menko Polhukam Mahfud MD menegaskan bahwa Pemerintah sampai saat ini belum mencabut status kewarganegaraan WNI terlibat ISIS.

Sebab, hal tersebut harus melalui proses hukum administrasi sesuai Pasal 32 dan 33 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2007 tentang Tata Cara Memperoleh, Kehilangan, Pembatalan, dan Memperoleh Kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia.

"Bukan pengadilan ya. Proses hukum administrasi, diteliti oleh menteri lalu ditetapkan oleh presiden. Nanti menteri memeriksa, sesudah oke diserahkan ke presiden. Presiden lalu mengeluarkan keputusan berupa Keputusan Presiden (Keppres)," jelasnya. (ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko)