Digitalisasi Peradilan

:


Oleh Norvantry Bayu Akbar, Jumat, 28 Februari 2020 | 10:03 WIB - Redaktur: DT Waluyo - 933


Jakarta, InfoPublik - Momen Hari Ulang Tahun Ke-74 Mahkamah Agung (MA) bisa jadi merupakan penanda dimulainya era digitalisasi peradilan. Tepatnya pada 19 Agustus 2019, MA meluncurkan aplikasi e-Litigasi sebagai bagian dari upaya mewujudkan sistem peradilan secara elektronik.

Dengan kehadiran e-Litigasi, migrasi dari sistem manual ke sistem elektronik tidak hanya dilakukan pada tataran administrasi perkara saja, namun juga dalam praktek persidangan. Aplikasi ini merupakan kelanjutan dari aplikasi e-Court yang sudah diberlakukan untuk perkara perdata, perdata agama, tata usaha militer, dan tata usaha negara sejak 2018.

“Sistem elektronik tidak hanya diberlakukan dalam pendaftaran perkara, pembayaran panjar, dan panggilan para pihak, tetapi diberlakukan juga dalam pertukaran dokumen jawab-jinawab, pembuktian, dan penyampaian putusan secara elektronik,” jelas Ketua MA Hatta Ali saat peluncuran e-Litigasi yang berlangsung di Balairung MA, Jakarta.

Selain memperluas cakupan aplikasi sistem elektronik, kehadiran e-Litigasi juga membuka lebar praktik peradilan elektronik di Indonesia. Hal ini tergambar dengan setidak-tidaknya dua indikator.

Pertama, e-Litigasi memperluas cakupan subyek hukum yang dapat memanfaatkan sistem peradilan elektronik yang semula hanya untuk para advokat sebagai pengguna terdaftar.

Sekarang, mencakup juga pengguna lain yang meliputi Jaksa selaku Pengacara Negara, biro hukum Pemerintah, TNI, Polri, Kejaksaan RI, direksi/pengurus atau karyawan yang ditunjuk badan hukum, dan kuasa insidentil yang memenuhi syarat sebagai pengguna Sistem Informasi Peradilan.

Kedua, pemanfaatan e-Litigasi tidak hanya untuk persidangan di tingkat pertama, tetapi juga bisa dilakukan untuk upaya hukum banding, kasasi, dan peninjauan kembali terhadap perkara yang menggunakan e-Litigasi pada tingkat pertama.

Menurut Ketua MA Hatta Ali, banyak manfaat yang dinikmati masyarakat pencari keadilan jika menggunakan e-Litigasi.

Pertama, menjadikan sistem peradilan lebih sederhana dan lebih cepat. Para pihak berperkara tidak perlu berlama-lama antre menunggu persidangan yang selama ini sering dikeluhkan sehingga proses persidangan juga menjadi lebih cepat.

Kedua, sistem ini dapat menjembatani kendala geografis Indonesia yang sangat luas dan terdiri dari bentangan ribuan pulau.

Ketiga, menekan biaya perkara karena proses peradilan dilaksanakan secara elektronik, seperti biaya pemanggilan, kehadiran di persidangan untuk jawab menjawab, pembuktian, maupun mendengarkan pembacaan putusan.

Terakhir, sistem elektronik tentunya akan meningkatkan kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan.

Sementara dari sisi internal, sistem e-Litigasi mampu membatasi interaksi langsung antara pengguna layanan peradilan dengan hakim dan aparatur peradilan. Dengan mengurangi kedatangan pengguna layanan ke pengadilan serta mengkanalisasi cara berinteraksi, maka diharapkan dapat meminimalisir kemungkinan penyimpangan etik maupun pelanggaran hukum.

Melihat banyaknya manfaat yang telah disebutkan tersebut, Ketua MA Hatta Ali pun menyimpulkan bahwa kehadiran e-Litigasi akan meredesain praktik peradilan Indonesia sehingga setara dengan praktik peradilan di negara-negara maju.

Berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan secara Elektronik, maka pada tahun ini semua pengadilan di bawah MA wajib menerapkan e-Litigasi.

Rekor Baru

Presiden Joko Widodo memberikan apresiasi terhadap MA yang telah melakukan reformasi besar-besaran terhadap dunia peradilan di Indonesia untuk melayani masyarakat secara cepat, transparan, serta memberikan keadilan dan rasa adil kepada masyarakat.

Salah satunya adalah dengan menghadirkan peradilan modern berbasis elektronik.

"Kami sangat menghargai upaya MA untuk mewujudkan peradilan yang sederhana, cepat, dan yang berbiaya ringan. Ada e-Court, e-Summons, e-Filing, e-Payment, juga ada e-Litigation," tutur Kepala Negara dalam Sidang Pleno Istimewa Laporan Tahunan MA Tahun 2019 di Jakarta, Rabu (26/2/2020).

Menurutnya, kecepatan dan keterbukaan merupakan kunci penting bagi peradilan yang lebih baik. Dengan penerapan teknologi di bidang peradilan yang memungkinkan munculnya kecepatan dan keterbukaan tersebut menjadikan perkara yang dapat ditangani MA mengalami peningkatan.

"Hasilnya sudah terasa, dari 20.275 beban perkara di tahun 2019, hanya tersisa 217 perkara yang belum diputus. Ini adalah jumlah terendah sepanjang sejarah berdirinya Mahkamah Agung," sebut Presiden.

Sebelumnya, Ketua MA Hatta Ali melaporkan bahwa produktivitas dalam memutus perkara pada 2019 telah mencatatkan rekor baru di mana jumlah perkara yang diputus adalah sebanyak 20.058 perkara. Jumlah tersebut menjadi yang terbanyak dalam sejarah MA.

Selain itu, rekor tersebut juga diikuti rasio produktivitas memutus MA pada 2019 yang mencapai 98,93% dan menjadi yang terbesar pula sepanjang sejarah MA.

Selanjutnya, pada tahun 2019 juga terjadi peningkatan rerata waktu memutus perkara di bawah 3 bulan menjadi 19.373 perkara atau 96,58% dari seluruh perkara yang diputus pada tahun 2019.

Rekor tersebut, menurut Ketua MA, dicapai di tengah keterbatasan jumlah Hakim Agung dan Hakim Ad Hoc pada MA di mana pada 2019 hanya terdapat 3 Hakim Agung yang purnabakti dan 2 Hakim Agung yang meninggal dunia. Padahal, pada saat yang sama jumlah perkara yang diterima MA mencapai jumlah terbesar dalam satu dekade ini, yaitu sebanyak 19.369 perkara.

Lebih lanjut Presiden juga menyatakan akan terus mendukung upaya MA untuk meningkatkan kualitas putusan para hakim melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia, baik calon hakim maupun hakim yang sudah ada.

Pasalnya, kredibilitas lembaga peradilan sangat ditentukan oleh kredibilitas para hakimnya. Maka itu, sistem reward and punishment harus diterapkan secara konsisten

“Hakim-hakim yang bersih dan berkualitas harus diberikan apresiasi dan penghargaan sehingga tercipta peradilan yang bersih, peradilan yang berwibawa, seperti yang diharapkan oleh seluruh masyarakat,” tutur Kepala Negara.

Menurut Presiden, dirinya memahami tantangan yang dihadapi oleh MA dan jajarannya sangatlah berat dan tidaklah mudah. Untuk itu, semua warga negara, terutama dari keluarga kurang beruntung harus semakin berani memperjuangkan keadilan.

Sebab, tumbuhnya kepercayaan masyarakat pada dunia peradilan adalah bagian yang sangat mendasar dari tumbuhnya kepercayaan masyarakat pada hukum.

“Kita ingin dalam masyarakat Indonesia tumbuh budaya sadar dan taat hukum sehingga hukum tampil bukan hanya dalam wajah yang represif yang menuntut kerja para penegak hukum, tapi sadar hukum sudah hidup dalam budaya masyarakat sehingga kerja-kerja para penegak hukum menjadi lebih ringan,” pungkas Presiden. (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)