Perempuan Indonesia Dalam Misi Perdamaian

:


Oleh Norvantry Bayu Akbar, Kamis, 27 Februari 2020 | 12:39 WIB - Redaktur: DT Waluyo - 3K


Jakarta, InfoPublik - Dua tahun lalu, tepatnya 8 Juni 2018, Indonesia terpilih kembali menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan Persatuan Bangsa-Bangsa (DK PBB). Bersama Jerman, Afrik​a Selatan, Belgia, dan Republik Dominika, masa kerjanya untuk periode 2019-2020

Keanggotaan Indonesia di DK PBB tersebut merupakan yang keempat kalinya. Sebelumnya Indonesia pernah menjadi anggota tidak tetap DK PBB pada tahun 1974-1975, 1995-1996, dan 2007-2008. Indonesia pun telah memulai masa tugasnya sejak 1 Januari 2019 dan akan berakhir pada 31 Desember 2020.

Adapun salah satu isu prioritas yang akan didorong oleh Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri (Kemlu) selama menjadi anggota tidak tetap DK PBB adalah melanjutkan kontribusi dalam upaya mewujudkan perdamaian dunia dengan meningkatkan peranan perempuan dalam proses perdamaian.

Misi Pemeliharaan Perdamaian (MPP) yang dikerjakan PBB memang masih menjadi salah satu instrumen yang paling efektif dan memiliki legitimasi kuat dalam upaya diplomasi pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional.

Menlu Retno Marsudi menyampaikan, pasukan penjaga perdamaian PBB merupakan contoh nyata mengenai kemitraan global, kepemimpinan kolektif, dan tanggung jawab bersama untuk perdamaian.

“Korps Baret Biru adalah penjaga perdamaian yang melindungi ratusan juta manusia di seluruh dunia. Mereka adalah wajah Dewan Keamanan PBB, dan salah satu potret kerja sama multilateral yang terbaik," tuturnya dalam Debat Terbuka di markas PBB di New York, Amerika Serikat, Mei tahun lalu.

Setidaknya terdapat empat poin penting yang perlu menjadi perhatian bagi DK PBB untuk mewujudkan MPP yang berdayaguna, yakni memperhatikan kebutuhan spesifik misi, kemampuan berinteraksi dengan komunitas lokal, pemajuan peranan perempuan, dan penguatan pelatihan melalui kemitraan global.

"Pemajuan peranan perempuan dalam MPP menjadi poin yang krusial, hal ini karena perempuan memegang peranan penting dalam pencegahan konflik, manajemen konfik, dan bina damai pascakonflik," jelas Menlu Retno Marsudi.

Dalam hal pengiriman pasukan perdamaian, Indonesia sendiri telah memberikan kontribusi sejak tahun 1957. Berdasarkan data Kemlu per 2019, Indonesia menduduki posisi 8 dari 124 negara penyumbang personel pasukan perdamaian terbesar dengan 3.080 personel, di mana 106 di antaranya adalah perempuan yang bertugas di delapan MPP.

Di banyak negara di mana misi penjaga perdamaian dilakukan, kekerasan berbasis gender (Gender Based Violence/GBV) dan kekerasan seksual terkait konflik (Conflict Related Sexual Violence/CRSV) kerap kali terjadi. Baik sebagai warga sipil maupun pejuang, perempuan dan anak-anak adalah korban terbanyak dalam suatu konflik.

Misalnya, perempuan yang dianggap sebagai anggota keluarga kombatan sering menjadi sasaran kekerasan dan pelecehan dalam komunitas mereka. Hal ini tentu memengaruhi kemampuan mereka untuk bergerak bebas dan memenuhi kebutuhan keluarga mereka.

Di daerah-daerah di mana warga sipil yang terkena dampak konflik menerima bantuan kemanusiaan, perempuan dan anak perempuan dipaksa untuk memberikan imbalan seksual dan suap untuk menerima bagian dari bantuan kemanusiaan tersebut.

Melihat situasi tersebut, peran penjaga perdamaian perempuan pun menjadi sangat krusial dalam mengatasi masalah-masalah terkait GBV dan CRSV di daerah konflik.

Menurut Menlu Retno Marsudi, Indonesia percaya bahwa keberadaan perempuan sebagai personel penjaga perdamaian akan memberikan andil besar terhadap keberhasilan suatu misi, dikarenakan peran perempuan dalam konstruksi sosial di masyarakat serta aspek psiko-sosial yang membuat perempuan mempunyai keistimewaan dalam misi-misi kemanusiaan.

"Perempuan dinilai lebih peka terhadap situasi lingkungan dan budaya setempat sehingga meningkatkan penerimaan masyarakat terhadap keberadaan penjaga perdamaian perempuan," terangnya.

Selain itu, keberadaan penjaga perdamaian perempuan juga memberikan rasa aman dan nyaman, terutama bagi anak-anak dan perempuan yang seringkali menjadi korban kekerasan seksual dalam suatu konflik.

Kemudian, penjaga perdamaian perempuan juga memainkan peran yang mengawali proses perdamaian dan panutan bagi para perempuan warga lokal dalam mendorong aktivitas-aktivitas pembinaan perdamaian, termasuk yang berkaitan dengan aspek keamanan, seperti proses gencatan senjata, demobilisasi, reintegrasi, serta negosiasi.

Perempuan Indonesia dalam MPP

Mengutip laman Kemlu, Letnan Kolonel (Letkol) Ratih Pusporini adalah salah satu perempuan pertama Indonesia yang diterjunkan sebagai pasukan penjaga perdamaian di daerah konflik pada 2008. Perannya sebagai militer observer dalam kontingen Garuda yang bertugas di Kongo mengkonfirmasi peran perempuan dalam sebuah misi perdamaian.

“Kami (penjaga perdamaian perempuan) berhasil masuk ke sebuah desa dan mendapatkan informasi mengenai kekerasan seksual yang terjadi di sana. Regu sebelumnya gagal mendapatkan informasi yang dibutuhkan karena tidak ada perempuan di sana. Sementara kita tahu korbannya adalah perempuan," ungkap Letkol Ratih.

Namun demikian, pendekatan terhadap perempuan dan anak-anak di daerah konflik juga tidaklah mudah. Salah satu pendekatan Indonesia dalam MPP adalah melalui pendekatan komunitas.

Kegiatan pendekatan komunitas tersebut dilakukan dalam bentuk Civil-Military Cooperation (CIMIC) yang biasanya berupa bantuan kemanusiaan, seperti mengajar dan memberikan fasilitas pengobatan, maupun memfasilitasi gencatan senjata dan proses perdamaian.

Indonesia pun memiliki beberapa program berbasis CIMIC di berbagai MPP, antara lain melalui fasilitasi kesehatan bagi masyarakat setempat, menyediakan mobil pintar (perpustakaan keliling) untuk sekolah-sekolah setempat, dan berbagi seni budaya Indonesia kepada masyarakat setempat.

Disebutkan, pasukan perdamaian Indonesia yang tergabung dalam MPP di Republik Demokratik Kongo (The United Nations Organization Stabilization Mission in the Democratic Republic of the Congo/MONUSCO) berhasil memfasilitasi proses Disarmament, Demobilization, Repatriation, Reintegration, and Resettlement (DDRRR), khususnya proses penyerahan senjata oleh salah satu pihak yang bertikai.

Penyerahan senjata kepada Pasukan Indonesia tersebut membuktikan kepercayaan warga setempat kepada kemampuan kontingen Garuda untuk memastikan perdamaian dan keamanan di kawasan di mana mereka beroperasi.

“Saya terharu saat seorang anak di Kongo menghampiri saya dan berkata, 'Bu, saya ingin jadi seperti anda. Berkat Anda, kami bisa sekolah'," tutur Letkol Ratih mengenang keberhasilan salah satu misi di Kongo untuk mengamankan akses jalan sehingga anak-anak bisa pergi ke sekolah.

Meski peran perempuan dalam menjaga perdamaian sangat krusial seperti yang terjadi di Kongo, namun keterlibatan perempuan dalam proses perdamaian nyatanya masih sangat terbatas.

Berdasarkan analisa dari UN Women, sebanyak 1.187 perjanjian perdamaian selama 1990-2017, hanya terdapat 2% mediator perempuan, 5% negotiator perempuan, dan 5% saksi dan penandatangan perjanjian perdamaian perempuan.

Data per 31 Maret 2019 pun mencatat hanya terdapat 3.472 personel militer perempuan dan 1.423 personel polisi perempuan dari total 89.681 personel penjaga perdamaian atau hanya sekitar 5,46%.

Menurut Menlu Retno Marsudi, jumlah tersebut tentunya harus dapat ditambah dan Indonesia memiliki niatan yang kuat untuk itu. Pengiriman kontingen yang hanya terdiri dari pasukan perempuan, seperti yang pernah dilakukan India pada misi perdamaian di Liberia pada 2007, menjadi salah satu target Indonesia di masa mendatang.

Perlu Komitmen Bersama

Perempuan tidak dapat dipungkiri memainkan peran kunci dalam mempertahankan perdamaian melalui peran mereka di bidang ekonomi, sosial, dan budaya. Melihat itu, Indonesia akan terus memastikan adanya keterlibatan perempuan dalam hal keamanan dan perdamaian.

Sejumlah upaya yang akan dilakukan Indonesia selama menjadi anggota tidak tetap DK PBB antara lain menekankan pentingnya peranan perempuan sebagai agen perdamaian dan toleransi, menggandakan upaya untuk mengarusutamakan peran perempuan dalam agenda perdamaian di kawasan, serta membangun dan membina jaringan negosiator dan mediator perempuan di kawasan.

Dalam Debat Terbuka mengenai “Perempuan dalam Misi Penjaga Perdamaian" di DK PBB pada April tahun lalu, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres juga menyoroti bahwa peningkatan partisipasi perempuan dalam misi penjaga perdamaian jangan hanya sebatas statistik, tetapi juga tentang meningkatkan kapasitas penjaga perdamaian dan pihak lain yang terlibat untuk mencapai mandat yang lebih baik.

Dalam berbagai forum internasional, Indonesia sendiri terus menekankan pentingnya peran perempuan dalam perdamaian dunia. Salah satu batu loncatan dalam upaya tersebut adalah pertemuan menlu perempuan pertama yang diadakan di Montreal, Kanada, pada 21 September 2018, yang juga dihadiri oleh Menlu Retno Marsudi.

Topik mengenai mempromosikan perdamaian dan keamanan serta mengeliminasi kekerasan berbasis gender menjadi salah satu agenda penting.

"Untuk meningkatkan jumlah perempuan dalam misi penjaga perdamaian, kita membutuhkan komitmen politik yang kuat untuk berinvestasi pada hal-hal yang dapat meningkatkan peranan perempuan dalam pengambilan keputusan nasional dan setiap tahap proses perdamaian. Ini dapat diterapkan melalui pembuatan dan pelaksanaan kebijakan yang sesuai dengan hak-hak perempuan, reformasi budaya, dan sumber daya yang memadai," tegas Menlu Retno Marsudi.

Salah satunya adalah dengan menciptakan jaringan Global Gender Advisory, yang terdiri atas para penasehat ahli dalam hal pengarusutamaan gender. Jaringan ini nantinya berfungsi untuk memastikan perspektif pengarusutamaan gender berlangsung lintas divisi dan dalam berbagai lini operasi.

Keberadaan para penasehat ahli ini, kata Menlu Retno Marsudi, harus diperjuangkan oleh para pimpinan sehingga mereka dapat menyuarakan urgensi memiliki lebih banyak perempuan dalam MPP. Ia pun mencontohkan yang telah dilakukan oleh Angkatan Pertahanan Selandia Baru dengan membentuk Jaringan Penasehat Wanita Militer Pasifik pertama yang diadakan di Suva, Fiji.

Indonesia sendiri telah menyelenggarakan program pelatihan regional tentang "Women, Peace, and Security (WPS)" di Jakarta pada April 2019. Pelatihan tersebut dihadiri oleh 60 diplomat perempuan dari negara-negara anggota ASEAN, Timor Leste, dan Papua Nugini.

Pada kesempatan tersebut, Menlu Retno Marsudi menegaskan perlunya para pemimpin ASEAN untuk bergerak maju dengan mengimplementasikan agenda WPS di Asia Tenggara dan menekankan pentingnya melibatkan lebih banyak perempuan dalam operasi pemeliharaan perdamaian PBB.

Terlepas dari kontribusi penting perempuan dalam perdamaian dan keamanan, keterwakilan dan peran perempuan memaeng masih belum memadai dalam berbagai fase proses perdamaian.

Melihat hal ini, Indonesia menilai ada kebutuhan krusial untuk secara aktif mendukung partisipasi perempuan dan melaksanakan komitmen keterlibatan perempuan dalam proses perdamaian yang berkelanjutan, yakni sebelum, selama, dan setelah konflik.

Oleh karena itu, selama satu tahun kemarin, Indonesia banyak melakukan investasi pada isu perempuan, perdamaian, dan keamanan. Selama Keketuaan Indonesia di DK PBB pada bulan Mei 2019, pemberdayaan pasukan penjaga perdamaian perempuan menjadi salah satu topik utama pembahasan di DK PBB.

Selain itu, selama tahun 2019, Indonesia juga menyelenggarakan Regional Training for Women, Peace, and Security; ASEAN Women Interfaith Dialogue; dan pembahasan isu women, inclusivity, and the state of democracy dalam Bali Democracy Forum, di mana hadir sejumlah menlu perempuan lainnya.

Di sela-sela Sidang Umum PBB, Indonesia juga berpartisipasi aktif dalam peluncuran Global Alliance of Regional Women Mediator Networks.

Selanjutnya, Desember 2019, Indonesia juga menyelenggarakan dialog antara perempuan Indonesia dengan perempuan Afghanistan. Pada kesempatan tersebut, Indonesia mengharapkan perempuan Afghanistan akan dapat terus berkontribusi, baik dalam proses perdamaian maupun mengisi masa depan Afghanistan.

"Investing in women also means investing in peace. Perempuan merupakan aset. Perempuan dapat berkontribusi untuk perdamaian," tegas Menlu Retno Marsudi dalam Pernyataan Pers Tahunan Menlu awal tahun ini.

 

Sumber foto:

1. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A

2. Kemlu