KSP: Natuna Pantas Jadi Pusat Pangkalan Militer dan Perikanan

:


Oleh Berry, Jumat, 17 Januari 2020 | 07:29 WIB - Redaktur: Admin - 349


JPP, JAKARTA - Kepulauan Natuna pantas dikembangkan menjadi pusat perikanan, pariwisata hingga pertahanan militer. Penegasan ini diungkapkan Plt Deputi V Kantor Staf Presiden (KSP) Jaleswari Pramodhawardhani saat memimpin Rapat Koordinasi Penanganan Polemik Batas Wilayah di Perairan Natuna, Senin (13/1/2020), di Gedung Bina Graha, Kompleks Istana, Jakarta.

“Natuna perlu dijadikan pusat perikanan, pariwisata, ekonomi kerakyatan, konservasi dan sekaligus pertahanan militer. Sesuai instruksi Presiden,” tegas Jaleswari.

Selain itu, secara menyeluruh pemerintah akan melakukan pendekatan keamanan dan kesejahteraan untuk membuktikan bahwa negara hadir di sana. "Kehadiran negara secara fisik adalah sebuah keniscayaan untuk atasi persoalan Natuna. Jangan sampai itu terus terulang,” ujar Jaleswari.

Dalam rapat koordinasi soal Natuna, Jaleswari juga mengajak seluruh pemangku kepentingan terkait untuk melakukan pengembangan Natuna secara berkelanjutan. Selain KSP, rakor juga mendengarkan perspektif dari sejumlah narasumber seperti pakar hukum internasional Hikmahanto Djuwana, mantan KSAL Laksamana TNI Purn Marsetio dan peneliti hubungan internasional dari CSIS Evan A Laksmana.

Turut hadir dalam rakor kali ini diantaranya perwakilan dari Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Kementerian Kelautan dan Perikanan serta Kementerian Pertanian.

Pakar hukum internasional UI Hikmahanto Djuwana, patroli yang kuat dan intensif mutlak diperlukan di perairan Natuna. "Kehadiran nelayan secara fisik untuk mengeksploitasi dan mengkonservasi sumber daya pada Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Natuna juga perlu dilakukan," ujarnya.

Namun, kehadiran nelayan layak disertai dengan pengawalan aparat sebagai jaminan keamanan dan menunjukan kedaulatan di perairan Natuna Utara.

Selain itu, juga perlu adanya pemahaman kepada masyarakat secara luas persoalan Natuna bukan tentang pelanggaran hak kedaulatan tapi hak berdaulat (sovereign rights). Hak berdaulat adalah hak mengelola sumber daya secara ekslusif di wilayah ZEE Natuna.

Menurut Hikmahanto, berdasarkan UNCLOS, hukum internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia menyatakan semua penyelesaian permasalahan di wilayah berdaulat tidak dapat menggunakan kekuatan militer.

Mantan KSAL Laksamana TNI (Purn) Prof. Dr. Marsetyo berpendapat Natuna perlu diantisipasi serius secara jangka panjang perlu antisipasi secara serius menghadapi sengketa perairan di Natuna.

"Masalahnya kompleks, China sering kali bersengketa dengan kita di Laut Natuna Utara bukan hanya persoalan ikan tetapi menyangkut upaya penguasaan cadangan minyak dan gas yang potensi jumlahnya cukup besar di Natuna," ujarnya.

Saat ini, pemerintah tengah mengupayakan penguatan industri perikanan di Natuna. Salah satunya dengan menghidupkan lagi program Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu (SKPT) Natuna. Selain itu, sejumlah 447 kapal nelayan siap diberangkatkan ke Natuna. (ksp/nbh)