Pemerintah Bahas Penanganan WNI Eks Simpatisan ISIS

:


Oleh Norvan Akbar, Rabu, 29 Januari 2020 | 11:08 WIB - Redaktur: Admin - 423


JPP, JAKARTA - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyebutkan banyak sekali tantangan yang akan dihadapi di masa yang mendatang dengan adanya perkembangan terbaru terkait kejahatan terorisme maupun konflik yang terjadi baik di dalam maupun di luar negeri.

Salah satunya adalah begitu banyak Foreign Terrorist Fighters (FTF) atau teroris pelintas batas antar negara. Indonesia sendiri kira-kira mempunyai 660 orang teroris pelintas batas yang ada di beberapa negara, seperti di Filipina, Suriah, dan sebagainya. Di samping itu juga ada orang Afghanistan yang menjadi teroris di Poso, Sulawesi Tengah.

Hal tersebut disampaikan Menko Polhukam dalam Acara Penandatanganan Perjanjian Kinerja Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Tahun 2020 di Jakarta, Selasa (28/1/2020).

“Ini (FTF) mau diapain? Kalau dia ingin pulang, kan dia punya hak secara konstitusi karena tidak boleh seorang pun kehilangan hak kewarganegaraannya, setiap orang punya hak untuk tinggal sesuai dengan pilihannya, kecuali ada putusan dan ini belum ada putusan hukum apa-apa. Tapi kalau dipulangkan ini bisa jadi masalah, bisa menolak, bagaimana orang sudah dianggap radikal, ikut ISIS di Suriah dipulangkan ke sini,” jelasnya.

“Di sini serba tidak nyaman jadinya, mau jalan kemana orang menuduhnya teroris, mau masuk kerja juga susah, sehingga bisa jadi dia jadi teroris lagi di sini dan mengajak orang-orang lain untuk jadi teroris. Sekarang ini kita sedang memikirkan bagaimana 660 orang di luar negeri itu. Dan kerja sama internasional menjadi sangat penting untuk menghadapi terorisme,” sambung Menko Polhukam.

Tantangan lainnya adalah serangan terhadap aparat penegak hukum juga perlu diantisipasi mengingat mereka masih dianggap sebagai musuh utama oleh para pelaku teror, seperti BNPT, Densus 88, Polisi, termasuk TNI yang meskipun dalam konsep konstitusi Indonesia militer tidak dianggap sebagai penegak hukum tetapi juga menjadi sasaran. Bahkan, pelaku teroris kini akan semakin canggih dalam memanfaatkan teknologi.

“Dengan semakin terdesaknya ISIS pada saat ini, potensi tantangan yang dihadapi adalah kembalinya para returnis dari Suriah ke Indonesia yang bisa menimbulkan permasalahan baru dalam penanggulangan terorisme di Tanah Air. Oleh karena itu, BNPT harus meningkatkan kualitas penanggulangan terorisme melalui pemenuhan SDM yang unggul, kemampuan teknologi informasi yang memadai, serta bersinergi dengan kementerian/lembaga, pemerintah daerah, dan unsur masyarakat,” ujar Menko Polhukam.

Lebih lanjut Menko Polhukam menegaskan bahwa penanganan terorisme tidak hanya menitikberatkan pada penindakan, akan tetapi lebih diutamakan pada kegiatan atau program pencegahan sehingga dapat meredam munculnya bibit-bibit kejahatan tindakan terorisme.

Oleh karena itu, dengan telah ditetapkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 serta Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2019, maka indikator kinerja utama BNPT haruslah disusun secara terukur dan selaras dengan indikator kinerja sesuai payung hukum yang ada.

“Saya sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan berharap kegiatan penandatanganan perjanjian kinerja pada hari ini dapat memotivasi seluruh pegawai BNPT untuk dapat mewujudkan BNPT sebagai lembaga pemerintah yang berkinerja tinggi,” tandas Menko Polhukam. (pol)