Restrukturisasi ASN untuk Indonesia Maju

:


Oleh Norvantry Bayu Akbar, Rabu, 5 Februari 2020 | 13:10 WIB - Redaktur: DT Waluyo - 1K


Jakarta, InfoPublik - Indonesia Maju. Cita-cita mulia itu diusung  pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Maruf Amin, periode tahun 2019-2024. Visi besar itu bukan hanya untuk jangka pendek, tetapi juga untuk jangka panjang selama bangsa ini berdiri tegak. Untuk mewujudkannya, tentu diperlukan Sumber Daya Manusia (SDM) yang unggul.

Dalam upaya mewujudkan itu, Pemerintah mengambil langkah drastis. Salah satunya adalah membuat kebijakan restrukturisasi komposisi Aparatur Sipil Negara (ASN). Presiden Joko Widodo berkeyakinan, restrukturisasi ASN, akan melempangkan jalan terbentuknya SDM yang secara teknis punya keahlian mumpuni, berkompeten, profesional, dan berintegritas.

"Penyederhanaan birokrasi harus terus kita lakukan besar-besaran. Prosedur yang panjang harus dipotong. Birokrasi yang panjang harus kita pangkas. Eselonisasi harus disederhanakan. Eselon I, eselon II, eselon III, eselon IV, apa enggak kebanyakan? Saya akan minta untuk disederhanakan menjadi dua level saja, diganti dengan jabatan fungsional yang menghargai keahlian, yang menghargai kompetensi," tegas Presiden saat pelantikan di Gedung Nusantara MPR/DPR/DPD RI, Senayan, Jakarta, 20 Oktober 2019.

Tentu bukan pekerjaan mudah untuk mereformasi sebuah birokrasi yang sudah berjalan dalam waktu yang lama. Sebab, kebijakan ini menyangkut 4.286.918 ASN di seluruh Indonesia, di mana sekitar 70 persennya berada di bawah naungan pemerintah daerah (pemda).

Selain itu, harus diakui pula bahwa proporsi ASN saat ini belum berimbang. Berdasarkan data Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB), proporsi ASN masih didominasi oleh jabatan pelaksana yang bersifat administratif, yakni mencapai 1,6 juta orang.
Sementara untuk mendukung terwujudnya visi Indonesia Maju, seperti disebutkan Presiden saat pelantikan, diperlukan SDM berkeahlian. Sehingga, restrukturisasi komposisi ASN pun tidak bisa ditawar-tawar lagi dan merupakan sebuah keniscayaan.

Proyek Percontohan

Tiga bulan sejak Presiden Joko Widodo secara terbuka menyampaikan keinginan Pemerintah untuk menyederhanakan birokrasi menjadi dua level saja, sudah banyak langkah dan kebijakan yang telah dilakukan Kementerian PANRB sebagai leading sector dalam upaya restrukturisasi komposisi ASN.
Menurut Kementerian PANRB, kriteria pejabat struktural yang akan dialihkan menjadi pejabat fungsional adalah yang mempunyai tugas dan fungsi jabatan yang berkaitan dengan pelayanan teknis fungsional serta berbasis keahlian tertentu.

Misalnya, untuk eselon III atau administrator akan dialihkan ke jabatan fungsional ahli madya. Sementara untuk pejabat eselon IV atau pengawas dialihkan ke jabatan fungsional ahli muda. Sedangkan untuk eselon V dialihkan ke jabatan fungsional ahli pertama.

Kementerian yang dipimpin Tjahjo Kumolo ini menyebutkan penyederhanaan birokrasi akan dilakukan dalam lima tahap. Pertama, identifikasi jabatan administrasi pada unit kerja. Kedua, pemetaan jabatan dan pejabat administrasi yang terdampak penyederhanaan birokrasi. Ketiga, pemetaan jabatan fungsional yang dapat diduduki pejabat yang terdampak penyederhanaan birokrasi. Keempat, penyelarasan tunjangan jabatan fungsional dengan tunjangan administrasi dengan menghitung penghasilan dalam jabatan administrasi ke jabatan fungsional. Terakhir, penyelarasan kelas jabatan fungsional dengan kelas jabatan administrasi.

Sebagai kementerian yang menjadi proyek percontohan (pilot project) dalam program penyederhanaan birokrasi, Kementerian PANRB langsung bergerak cepat, di mana dalam waktu 45 hari telah menyelesaikan pengalihan eselon II dan III menjadi pejabat fungsional.

Total, pejabat yang telah dialihkan untuk mengisi jabatan fungsional sebanyak 141 pejabat dengan rincian dari 53 pejabat eselon yang ada, 52 pejabat telah dialihkan ke jabatan fungsional. Kemudian dari 91 pengawas atau pejabat eselon IV, yang telah dialihkan menjadi pejabat fungsional sebanyak 89 pejabat. Hanya tiga pejabat yang dipertahankan untuk mengisi posisi sebagai Bagian Tata Usaha dan Layanan Pengadaan, Subbagian Protokol, dan Subbagian Rumah Tangga.

Menteri Tjahjo Kumolo menjelaskan, penyederhanaan birokrasi ini menjawab kelemahan yang lahir dari struktur organisasi birokrasi yang ada, yakni lambatnya pengambilan kebijakan dan keputusan akibat struktur birokrasi yang gemuk dan adanya indikasi budaya birokrasi yang korup dengan memanfaatkan dan menyalahgunakan jabatan.

Sehingga, sasaran akhir dari penyederhanaan birokrasi itu sendiri adalah membangun birokrasi yang dinamis dan punya fleksibilitas tinggi, kapabel, berbudaya unggul, serta organisasi yang berbasis kinerja. Pada akhirnya, bisa melahirkan kebijakan yang adaptif yang terintegrasi ke setiap unit.

Restrukturisasi Tenaga Honorer

Sementara menyangkut penanganan tenaga honorer, Pemerintah memastikan sejak awal tidak pernah berpangku tangan, apalagi lepas tangan. Menteri Tjahjo Kumolo menegaskan Pemerintah tetap memperhatikan secara serius nasib para tenaga honorer di Tanah Air.

Faktanya, data Kementerian PANRB dari kurun waktu 2005 sampai dengan 2014 mencatat sebanyak 860.220 Tenaga Honorer Kategori I (THK-I) dan 209.872 Tenaga Honorer Kategori (THK-II) telah diangkat Pemerintah. Jadi, total tenaga honorer yang telah diangkat, baik itu THK-I dan THK-II, sebanyak 1.070.092 orang atau sepertiga dari jumlah total ASN secara nasional.

Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sendiri sudah menyepakati sejumlah langkah untuk menangani THK-II atau THK-I yang belum terangkat. Kesepakatan antara Pemerintah bersama komisi gabungan, yakni Komisi II, VIII, dan X tersebut adalah memberikan kesempatan bagi THK-II untuk bisa diangkat menjadi ASN dengan mengikuti seleksi di mana hanya diberi satu kesempatan ikut seleksi sebagaimana dituangkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2012.

Seleksi terhadap THK-II tersebut sudah dilakukan pada 2013. Tercatat, ada 648.462 THK-II yang ikut seleksi, di mana yang lulus seleksi sebanyak 209.872 orang. Sementara yang tidak lulus tercatat sebanyak 438.590 orang. Adapun sebanyak 108.109 orang atau 52 persen dari yang lulus merupakan para guru. Dengan demikian, secara de jure sebenarnya permasalahan tenaga honorer sudah selesai.
Sedangkan terhadap 438.590 orang eks atau mantan THK-II yang tidak lulus, Pemerintah juga tidak lepas tangan begitu saja. Pemerintah bersama dengan tujuh komisi di parlemen, yakni Komisi I, II, III, VIII, IX, X, dan XI pada 23 Juli 2018 telah menyepakati beberapa hal.

Pertama, bagi eks THK-II yang masih memenuhi persyaratan, antara lain berusia di bawah 35 tahun dan punya kualifikasi pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan (UU ASN, UU Guru dan Dosen, dan UU Tenaga Kesehatan) bisa mengikuti penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) Tahun 2018 melalui formasi khusus guru dan tenaga kesehatan yang disesuaikan dengan kebutuhan organisasi.

Hasilnya, sebanyak 13.347 orang eks THK-II masih memenuhi persyaratan. Kemudian setelah dilaksanakan proses seleksi CPNS pada tahun 2018, dari 8.765 pelamar yang terdaftar, sebanyak 6.638 orang yang lulus di antaranya adalah para guru dan 173 orang merupakan tenaga kesehatan
Sementara bagi eks THK-II yang berusia di atas 35 tahun dan telah memenuhi persyaratan, berdasarkan kesepakatan pemerintah dengan tujuh komisi gabungan, mereka dapat mengikuti seleksi sebagai Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) khusus untuk guru, tenaga kesehatan, dan penyuluh pertanian. Tentunya, seleksi disesuaikan dengan kebutuhan organisasi.

Sebagai tindak lanjut, pada akhir Januari 2019 telah dilakukan seleksi PPPK sesuai dengan PP Nomor 49 Tahun 2018 Tentang Manajemen PPPK. Hasilnya, tenaga guru yang lulus seleksi sebanyak 34.954 orang, tenaga kesehatan yang lulus sebanyak 1.792 orang, dan penyuluh pertanian yang lulus tercatat sebanyak 11.670 orang. Saat ini, mereka yang lulus dalam proses pengangkatan sebagai ASN dengan status PPPK

Adapun PP Nomor 49 Tahun 2018 Tentang Manajemen PPPK itu sendiri merupakan turunan dari UU Nomor 5 Tahun 2014 Tentang ASN. Maka, dengan berlakunya PP tersebut, status kepegawaian pada instansi pemerintahan hanya ada dua, yakni Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan PPPK. Bagi pegawai non-ASN yang berada di kantor pemerintah diberikan masa transisi selama 5 tahun sejak PP Nomor 49 Tahun 2018 diundangkan.

Menteri Tjahjo Kumolo pun menegaskan bahwa terkait penataan tenaga honorer, Pemerintah Pusat sama sekali tidak mengurusi perekrutan di daerah karena kewenangannya ada di tangan kepala daerah dengan menyesuaikan kemampuan keuangan daerah.

Ia memastikan restrukturisasi komposisi tenaga honorer yang dilakukan adalah bukan karena Pemerintah ingin menghapus tenaga honorer yang ada. Melainkan Pemerintah ingin mengatur proporsi komposisi ASN di Indonesia yang bisa dikatakan masih belum berimbang.