Rezeki Jumbo Sawit Bikin Neraca Buncit

:


Oleh DT Waluyo, Kamis, 10 Februari 2022 | 19:27 WIB - Redaktur: Untung S - 674


Jakarta, InfoPublik – Gonjang-ganjing harga minyak goreng (sawit) per Februari 2022 perlahan mulai mereda. Hal itu, seiring dengan berlakunya kebijakan domestic price obligation (DPO) untuk pasokan minyak sawit mentah (CPO) dan olein ke pasar dalam negeri.

Pemerintah pun, menetapkan harga eceran tertinggi (HET)  yang berlaku per 1 Februari 2022. Hal ini sejalan dengan

Menurut Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi beberapa waktu lalu, DPO untuk CPO ditetapkan sebesar Rp9.300 per kilogram (kg), sementara untuk minyak olein sebesar Rp10.300 per liter. Dengan ketentuan harga baru ini, maka harga jual minyak goreng curah di pasaran ditetapkan sebesar Rp11.500 per liter, minyak goreng kemasan sederhana Rp13.500 per liter, dan minyak goreng kemasan premium Rp14.000 per liter.

Di tengah meroketnya harga minyak goreng (sawit), industri kelapa sawit di tanah air telah menorehkan sejumlah catatan manis. Dalam neraca ekspor, kelapa sawit tercatat sebagai komoditas andalan. Sekalipun dalam perjalanannya hingga saat ini, masih diiringi pro dan kontra. Namun, faktanya, kedudukan sawit dalam perekonomian nasional semakin memikat.

Dalam laporan Badan Pusat Statistik (BPS), selama lima tahun terakhir, produksi perkebunan kelapa sawit Indonesia terus meningkat. Pada 2019, produksinya mencapai 48,42 juta ton atau meningkat 12,92 persen dari tahun sebelumnya yakni 42,88 juta ton. Perkembangan produksi kelapa sawit tercatat terus bertambah dari sebesar 31,07 juta ton pada 2015 menjadi 31,49 juta ton setahun setelahnya. Lonjakan tertinggi pada 2017-2018 yakni dari 34,94 juta ton menjadi 42,88 juta ton atau naik sekitar 22,72 persen.

Adapun kontribusi sawit dalam neraca perdagangan RI juga mengesankan. Dalam catatan Kementerian Perdagangan, dari  surplus Neraca Perdagangan di Tahun 2021 sebesar US$35,34 millar, disumbang lima komoditas; batu bara, CPO (minyak sawit) dan turunannya, besi dan baja, otomatif dan suku cadang (spare part) dan yang terakhir barang elektronik. Dari lima komoditas unggulan ekspor tersebut, kontribusi ekspor minyak sawit dan turunannya menjadi andalan pemasukkan  devisa negara bagi pemerintah saat ini.

Besaran kontribusi minyak kelapa sawit, sesuai catatan Kementerian Perdagangan, berkisar 35-40 persen dari total pasar minyak nabati dunia. Pada 2021, nilai ekspor minyak kelapa sawit diperkirakan mencapai lebih dari 20 miliar dollar AS meningkat  155 persen dibandingkan tahun lalu. Bagi Indonesia, minyak sawit adalah penyumbang devisa ekspor non migas terbesar senilai 27,3 miliar dollar AS selama periode Januari- Oktober 2021.

Patut pula dicatat, ekspor minyak kelapa sawit ke Eropa terus meningkat meskipun ada upaya beberapa negara produsen minyak nabati untuk mengeluarkan minyak kelapa sawit dari produk mereka. Minyak sawit (CPO) produk Indonesia merupakan komoditas andalan yang lagi naik daun.

Dari sisi penyerapan tenaga kerja, industri sawit Indonesia juga membukukan angka-angka menarik. Yakni, mampu menyerap tenaga kerja 16,2 juta orang. Sementara kontribusinya ada Produk Domestik Bruto (PDB), sebagaimana catatan  statistik perekonomian, komoditas sawit berkontribusi 3.5 persen. Sawit juga berperan menurunkan inflasi 1,75 persen dan jumlah belanja negara 1,74 persen.

Saat ini minyak sawit telahmenjadi produk ekspor terbesar non migas. Oleh karena itu, kata Menteri Perdagangan dalam beberapa kesempatan,  sektor kelapa sawit yang telah menjadi tulang punggung perekonomian nasional perlu dikawal.

Memainkan Dua Peran

Laman Palm Oil Indonesia menulis, peran industri sawit dalam perekonomian RI, dari waktu ke waktu terus meningkat. Laman khusus informasi tentang sawit itu mencatat dua peran utama sawit; menambah pundi-pundi/devisa ekspor produk sawit dan kebijakan mandatori bauran energi (B30).

Pertama, peran dalam devisa. Pada 2020, dari ekspor produk sawit (mencakup CPO dan RPO, Crude dan Refined PKO, serta oleokimia) sebesari US$22,9 miliar (atau sekitar Rp321,5 triliun). Devisa ekspor produk sawit tersebut telah berkontribusi sekitar 83 persen terhadap ekspor sektor nonmigas.

Hal ini menunjukkan bahwa devisa produk sawit membuat surplus neraca nonmigas makin besar hingga mencapai US$27,7 miliar (atau sekitar Rp389,2 triliun). Jika produk sawit tidak diperhitungkan dalam neraca sektor nonmigas, nilai surplusnya akan lebih rendah, yakni hanya sekitar US$4,7 miliar (atau setara dengan Rp66,1 triliun).

Peran kedua, peran sawit dalam bauran energi atau mandatori B30. Dalam catatan Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI), volume biodiesel yang terserap untuk program B30 sepanjang tahun 2020 mencapai 8,4 juta kiloliter. Volume tersebut setara dengan penghematan devisa impor solar fosil sebesar US$2,66 miliar (atau setara dengan Rp37,37 triliun) dengan menggunakan harga rata-rata MOPS solar sebesar US$50 per BBL dan kurs Rp14,400/US$.

Penghematan devisa impor sebagai implikasi dari B30 tersebut, sesuai catatan Aprobi (lembaga nirlaba yang didirikan 2016) membuat defisit neraca perdagangan sektor migas mengecil menjadi minus US$5,9 miliar (atau setara dengan minus Rp82,89 triliun). Jika tidak ada program B30, defisit sektor migas akan lebih tinggi, yakni sekitar US$8,6 miliar (atau setara dengan minus Rp120,8 triliun).

Sekali lagi, seperti yang dilansir laman Palm Oil Indonesia, industri sawit secara konsisten memberikan sumbangsihnya pada penyehatan neraca perdagangan Indonesia. Kita sebagai bangsa Indonesia patut berterima kasih kepada industri sawit karena tidak banyak sektor ekonomi nasional yang mampu berperan seperti industri sawit ini, terlebih di tengah situasi pandemi dan lesunya perekonomian global akibat COVID-19.(*)

Ilustrasi, seorang pekerja tengah memanen buah kelapa sawit (Dok. Gimni)