:
Oleh DT Waluyo, Rabu, 2 Februari 2022 | 07:42 WIB - Redaktur: Taofiq Rauf - 1K
Jakarta, InfoPublik – Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), dikenal sebagai daerah kering. Berdasar klasifikasi iklim, wilayah tersebut beriklim sabana tropis, dimana sepanjang tahun jumlah hari hujan jauh lebih sedikit dibanding hari tanpa hujan.
Dalam catatan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), pada 2019, sepanjang tahun jumlah hari hujan hanya 78 hari dengan curah hujan sebanyak 2.984,6 mm. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Januari, yaitu tercatat 412,3 mm, sedangkan hari hujan tertinggi terjadi pada bulan Januari dengan 23 hari hujan.
Kota Kupang dikenal pula sebagai Kota Karang karena gugusan karangnya. Suhu rata-rata di sana berkisar antara 21,5 °C sampai dengan 33,6 °C. Tempat-tempat yang letaknya dekat dengan pantai memiliki suhu udara yang rata-rata relatif lebih tinggi. Kelembaban udara rata-rata berkisar antara 68 persen sampai dengan 88(2019) persen.
Dengan kondisi seperti itu, urusan air baku di Kupang (juga hampir di semua wilayah NTT) merupakan masalah besar. Pada musim kemarau (±April–Nopember) mengalami krisis air bersih. Kota Kupang hanya dilalui oleh beberapa aliran sungai yang pada musim hujan baru tampak aliran airnya,
Mengatasi hal itu, Pemerintah pun mengusahakan sejumlah tempat tampungan air. Salah satunya adalah membangun bendungan. Selain untuk menyediakan air bersih, bendungan yang dibangun Kementerian Pekerjaaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) itu juga untuk mendukung program ketahanan pangan.
Ketersediaan air, demikian kata Menteri PUPR Basuki Hadimuljono, merupakan kunci pembangunan di NTT yang memiliki curah hujan lebih rendah dibanding daerah lain.
“Pembangunan bendungan juga harus diikuti oleh pembangunan jaringan irigasinya. Dengan demikian bendungan yang dibangun dengan biaya besar dapat bermanfaat karena air-nya dipastikan mengalir sampai ke sawah-sawah milik petani. Selain pemanfaatan layanan irigasi, bendungan juga diharapkan melayani kebutuhan air domestik masyarakat melalui pembangunan jaringan air baku dan IPA,” kata Menteri Basuki dalam keterangan tertulis akhir Januari 2022.
Sejalan dengan itu, pada tahun anggaran (TA) 2022, Kementerian PUPR merancang pembangunan Bendungan Kolhua. Studi kelayakan tampungan air di Kota Kupang ini pun dinyatakan sudah selesai. Saat ini, masuk dalam proses pelaksanaan study Amdal & sertifikasi desain dengan rencana pelaksanaan konstruksi akan dilaksanakan pada TA. 2022.
Bendungan Kolhua terletak di Kelurahan Kolhua, Kecamatan Maulafa, dengan kebutuhan lahan seluas 118.86 hektare. Sumber air bendungan berasal dari Sungai Liliba dengan luas Daerah Aliran Sungai (DAS) 22,83 kilometer.
Bendungan Kolhua didesain dengan tipe urugan zonal inti tegak dengan tinggi 44 meter dan lebar puncak 10 meter. Bendungan ini memiliki kapasitas tampung 6,646 juta m3 dengan luas genangan 69,76 hektare untuk mendukung kebutuhan air baku di Kota Kupang sebesar 150,55 liter/detik.
Bendungan ini juga diproyeksikan untuk beberapa manfaat lainnya. Pertama sebagai infrastruktur pengendali banjir untuk wilayah hilir Kota Kupang. Bendungan diproyeksikan mampu mereduksi banjir sebesar 304,53 m3/detik. Kedua sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH), serta ketiga sebagai destinasi pariwisata perkotaan.
Bendungan Kolhua merupakan bendungan ke 7 yang dibangun Kementerian PUPR di Provinsi NTT sejak periode 2015. Sebelumnya yang telah diselesaikan dan diresmikan oleh Presiden Joko Widodo yakni Bendungan Raknamo di Kabupaten Kupang pada 2018, Bendungan Rotiklot di Kabupaten Belu pada 2019, dan Bendungan Napun Gete di Kabupaten Sikka pada 2021.
Saat ini, Pemerintah juga tengah menggenjot penyelesaian Bendungan Manikin di Kabupaten Kupang dengan progres 33,54%, Bendungan Temef di Kabupaten Timor Tengah Selatan 49,08 %, dan Bendungan Mbay di Kabupaten Nagekeo 1,42%%. (*)
Ilustrasi, peta rencana Bendungan Kolhua di NTT (Dok. Kementerian PUPR)