Stimulus Ekonomi Rakyat

:


Oleh Endang Kamajaya Saputra, Jumat, 10 April 2020 | 10:47 WIB - Redaktur: DT Waluyo - 462


Jakarta, InfoPublik –Pandemi Covid-19 yang berkepanjangan telah menghantam sendi-sendi perekonomian negara hingga dampak buruknya terasa pada kehidupan ekonomi rakyat sehari-hari. Untuk mengatasi dampak  buruk tersebut, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah memutuskan dalam Rapat Kabinet bahwa opsi status darurat yang dipilih adalah pembatasan sosial berskala besar atau PSBB. Juga menyiapkan anggaran sebesar Rp405 trilyun sebagai kebijakan stimulus ekonomi.

Sesuai undang-undang (UU), PSBB ini ditetapkan oleh Menteri Kesehatan yang berkoordinasi dengan Kepala Gugus Tugas Covid-19 dan kepala daerah. Dasar hukumnya adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Pemerintah juga sudah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dan Keppres (Keputusan Presiden) Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat untuk melaksanakan amanat undang-undang tersebut. Dengan terbitnya PP ini, semuanya menjadi jelas.

Para kepala daerah diminta tidak membuat kebijakan sendiri-sendiri yang tidak terkoordinasi. Semua kebijakan di daerah harus sesuai dengan peraturan, berada dalam koridor undang-undang dan PP serta Keppres tersebut.

Polri juga dapat mengambil langkah-langkah penegakan hukum yang terukur dan sesuai undang-undang agar PSBB dapat berlaku secara efektif dan mencapai tujuan mencegah meluasnya wabah.

“Kita harus belajar dari pengalaman dari negara lain tetapi kita tidak bisa menirunya begitu saja. Sebab, semua negara memiliki ciri khas masing-masing, mempunyai ciri khas masing-masing, baik itu luas wilayah, jumlah penduduk, kedisiplinan, kondisi geografis karakter dan budaya, perekonomian masyarakatnya, kemampuan fiskalnya, dan lain-lain. Oleh karena itu, kita tidak boleh gegabah dalam merumuskan strategi, semuanya harus dihitung, semuanya harus dikalkulasi dengan cermat, dan inti kebijakan kita sangat jelas dan tegas,” papar Jokowi, Selasa (31 Maret 2020).

Selain itu pemerintah mengusulkan tambahan belanja negara sebesar Rp 405,1 triliun. Perinciannya adalah sebagai berikut:

Pertama, Program Keluarga Harapan (PKH) untuk 10 juta Keluarga Penerima Manfaat (KPM). Penyaluran PKH yang sebelumnya per 3 bulan akan dilakukan menjadi per bulan mulai April. Untuk Bulan April - Juni, KPM akan menerima PKH sebanyak 2 kali. Durasi penyaluran ini akan berlangsung selama 1 tahun, dengan peningkatan anggaran dari sebelumnya Rp29,13 triliun menjadi Rp37,4 triliun.

Kedua, Program Kartu Sembako untuk 20 Juta penerima. Sebelumnya, program ini untuk 15,2 juta penerima eksisting dengan besaran Rp150 ribu/bulan (Januari-Februari). Saat ini, ada penambahan 4,8 juta penerima tambahan dengan besaran Rp200 ribu/bulan (mulai Maret-Desember). Dengan penambahan ini, total anggaran sebesar Rp43,6 triliun dari sebelumnya Rp28,08 triliun.

Ketiga adalah Program Kartu Prakerja untuk 5,6 juta peserta dengan total anggaran Rp20 triliun. Dari program ini, setiap peserta akan menerima biaya pelatihan, insentif bulanan dan survei dengan total batuan sebesar Rp3,55 juta. Saat ini, pemerintah juga sedang melakukan pendataan pekerja terdampak Covid-19 (ter-PHK, dirumahkan dengan unpaid leave, maupun yang mengalami penurunan income), yang kemudian akan diprioritaskan menjadi penerima kartu prakerja.

Keempat, pemerintah memberikan diskon tarif bagi Pelanggan 450 VA dan 900 VA Subsidi. Dari data, Rumah Tangga daya 450 VA adalah sebanyak 24 Juta Pelanggan, dan akan diberikan pembebasan biaya listrik. Sedangkan untuk Rumah Tangga daya 900 VA subsidi sebanyak 7 Juta Pelanggan akan diberikan keringanan biaya listrik sebesar 50%. Masa berlaku keringanan ini adalah untuk Bulan April-Juni 2020.

Terakhir, stimulus Kredit Usaha Rakyat (KUR), yang tujuannya adalah untuk meringankan beban UMKM. Skema Kebijakan adalah melakui relaksasi kebijakan penyaluran KUR, melalui penundaan angsuran dan pembebasan bunga selama 6 bulan.

Salah satu kriteria debitur KUR yang dapat memperoleh kebijakan restrukturisasi kredit, yaitu debitur mengalami penurunan usaha dikarenakan minimal salah satu kondisi sebagai berikut, seperti lokasi usaha berada di lokasi terdampak Covid-19, yang diumumkan Pemerintah setempat (Pemda TK-I Provinsi atau TK-II Kabupaten/Kota); atau terjadi penurunan pendapatan/omzet karena mengalami gangguan terkait COVID-19; atau terjadi gangguan terhadap proses produksi karena dampak Covid-19.

Kebijakan Stimulus Lebih Fokus

Pengamat ekonomi, M. Chatib Basri pada Rabu (1 April 2020), memberikan apresiasi tinggi atas kebijakan stimulus yang baru dikeluarkan pemerintah. Mengapa? Menurutnya, kebijakan stimulus  ini jauh lebih fokus. Stimulusnya fokus kepada tiga hal: pertama, anggaran untuk bidang kesehatan; kedua, alokasi anggaran untuk perlindungan sosial dan ketiga alokasi anggaran untuk dunia usaha dalam rangka pemulihan ekonomi.

“Bahwa dalam situasi di mana wabah berjangkit, pembatasan sosial diberlakukan, maka perekonomian akan mengalami perlambatan baik akibat berkurangnya permintaan (demand shock) karena menurunnya pendapatan, maupun berkurangnya produksi (supply shock), karena terganggunya aktfitas produksi. Dalam kondisi ini maka stimulus fiskal harus disesuaikan dengan kondisi, prioritas dan urutan kebijakan,” jelasnya.

Menurutnya, dengan prioritas fiskal yang baik seperti ini, maka pemerintah akan bisa lebih fokus menangani persoalan yang dihadapi. Persoalan ekonomi tidak akan selesai sebelum masalah Covid-19 bisa di jawab. Karena itu langkah stimulus ini adalah langkah yang tepat dan perlu diapresiasi.

“Saya menyinggung soal perlunya realokasi anggaran dan juga menaikkan defisit anggaran mengingat kebutuhan yang amat besar. Dan pemerintah telah mengambil langkah dengan menaikkan batas defisit anggaran menjadi diatas 3% selama 3 tahun. Saya kira ini juga langkah yang tepat mengingat kebutuhan dana begitu besar. Tentu kita tidak bisa membandingkan diri kita dengan AS, Singapura, Australia yang memberikan stimulus untuk mengatasi Corona sebesar 10% dari PDB.  Tetapi saya kira angka Rp 405 trilun (2.5% dari GDP) adalah angka yang signifikan. Kita lebih besar dibandingkan Perancis, Italia, Spanyol, Malaysia dan beberapa negara lain termasuk India,” jelas mantan Menteri Keuangan ini.

Ia menambahkan bahwa besarnya stimulus fiskal untuk Covid-19 tentu terkait erat dengan besarnya defisit yang bisa kita biayai. Defisit yang terlalu besar tentu akan menyulitkan pembiayaan. Bagaimana kita membiayai defisit anggaran ini? Jika kita mengantungkan diri kepada pasar obligasi domestik, maka akan terjadi crowding out, dimana dana perbankan akan diserap oleh obligasi pemerintah sehingga perbankan akan mengalami kesulitan likudiitas.

Jika pemerintah mengeluarkan obligasi internasional, maka bunga obligasi akan sangat tinggi. Oleh karena itu untuk pembiayaan pemerintah harus melakukan kombinasi dari berbagai hal. “Saya mengusulkan kombinasi pembiayaan dari pasar domestik , internasional  dan juga multilateral. Enam tahun lalu pemerintah Indonesia pernah memiliki fasilitas yang namanya Deferred Draw Down Option (DDO), dimana jika bunga obligasi di pasar sangat mahal, pemerintah Indonesia dapat meminjam dari World Bank, ADB, Australia, Jepang dengan bunga yang sangat rendah,” tambahnya.

Skema ini perlu dihidupkan kembali, karena kita akan punya akses pembiayaan dengan harga murah. Selain itu kemungkinan untuk dukungan dari misalnya bilateral support dari berbagai negara perlu di buka. Termasuk misalnya bantuan medis, obat, alat dari negara-negara lain.

Dalam hal pembiayaan, pemerintah membuka opsi untuk Bank Indonesia membeli obligasi pemerintah dari pasar perdana. Karena itu pemerintah mengeluarkan Perppu. bisa memahami keputusan ini, mengingat pembiayaan memang sulit. Namun saya ingin mengingatkan bahwa pembelian obligasi oleh Bank Indonesia, memiliki resiko meningkatkan inflasi. Tetapi ini adalah resiko dari keadaan yang ada.

Karena itu, ia mengusulkan pemerintah dan Bank Indonesia perlu duduk bersama untuk menentukan berapa inflasi yang memang "bisa diterima" sebagai biaya. Sebesar itulah obligasi bisa dibeli oleh Bank Indonesia. Sebab bila ukurannya amat besar maka inflasi akan naik tajam dan juga akan memukul ekonomi kita. Dalam kaitan ini fine tunning mengenai besaran obligasi yang akan dibeli Bank Indonesia akan menjadi amat penting.

Bila tidak, eksekusi  akan menjadi sulit,  dan menimbulkan persoalan. Karena itu aturan, rule based yang jelas menjadi penting. Diskresi yang terlalu banyak akan menimbulkan problem dalam governance. Dalam hal ini penekanan kepada isu tata kelola pemerintahan yang bersih menjadi amat penting.

“Selain itu yang paling penting saya kira, ia harus relevan dengan kondisi yang ada. Dan kebijakan yang dilkeluarkan kemarin memang relevan dengan situasi. Dalam jangka pendek kita memangh harus fokus kepada kesehatan dan perlindungan. Baru setelah itu kita bicara soal pertumbuhan ekonomi,” pungkasnya.

Sumber Foto: Biro Sekretariat Presiden dan FMB9.id