Babak Baru Indonesia Jadi Negara Maju

:


Oleh Endang Kamajaya Saputra, Rabu, 4 Maret 2020 | 11:11 WIB - Redaktur: DT Waluyo - 2K


Jakarta, InpoPublik - Selamat tinggal status negara berkembang! Ungkapan itu layak untuk disampaikan Indonesia. Setidaknya, status baru itu merujuk pada keputusan Amerika Serikat (AS), per Senin (10/02/2020).

Lewat Kantor Perwakilan Perdagangan atau Office of the US Trade Representative (USTR) di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), AS tidak lagi memasukkan Indonesia sebagai negara berkembang. Artinya, Indonesia yang menurut AS kini berstatus negara maju, tak lagi mendapatkan perlakuan istimewa dalam perdagangan. Selama ini, negara-negara yang menyandang status negara berkembang mendapatkan keistimewaan bea masuk dan bantuan lainnya dalam aktivitas ekspor-impor.

Lalu, sebenarnya apa saja indikator WTO sebuah negara masuk sebagai kategori negara berkembang dan negara maju? Dikutip dari laman resmi WTO, Sabtu (22/2/2020), organisasi perdagangan di bawah PBB itu tidak memiliki definisi resmi untuk mengkategorikan sebuah negara dikatakan sebagai negara maju atau sebaliknya sebagai negara berkembang. Di dalam aturan WTO, penentuan sebagai negara maju atau berkembang ditentukan sendiri oleh negara bersangkutan.

Namun begitu, tak serta merta sebuah negara yang mengumumkan diri sebagai negara berkembang lalu disetujui oleh semua negara-negara anggota WTO. Anggota WTO lain dapat menentang keputusan negara yang mengklaim sebagai negara berkembang, dan menyatakan tidak terikat untuk memberikan keistimewaan perdagangan pada negara yang tidak disetujuinya masuk sebagai negara berkembang.

Ketika suatu negara menyatakan diri sebagai negara berkembang, tak secara otomatis bisa mendapatkan manfaat dari skema preferensi khusus dari anggota WTO dari negara maju seperti perlakuan Generalized System of Preferences (GSP).Dalam praktiknya, negara pemberi preferensilah yang bisa memutuskan apakah negara berkembang akan mendapatkan manfaat dari preferensi tersebut.

Ini artinya, pemberian perlakuan khusus dalam perdagangan kepada setiap negara berkembang ditentukan sendiri oleh masing-masing negara maju yang menjadi anggota WTO. Menyandang status sebagai negara berkembang memang menguntungkan dari sisi perdagangan.

Karena barang impor dari negara berkembang yang masuk ke negara maju mendapatkan bea masuk yang lebih rendah. Aturan yang memberikan perlakukan istimewa dalam perdagangan bagi negara-negara berkembang ditujukan untuk membantu negara-negara tersebut keluar dari kemiskinan.

Masih menurut WTO, negara-negara berkembang memiliki hak-hak tertentu. Misalnya ketentuan dalam beberapa perjanjian dagang di WTO yang memberikan kelonggaran lebih lama bagi negara-negara berkembang untuk melakukan transisi lebih lama sebelum sepenuhnya mengimplementasikan perjanjian. Selain itu, dalam beberapa perjanjian dagang, negara-negara berkembang juga sering mendapatkan bantuan teknis dari negara-negara maju.

Dampak Fasilitas Perdagangan

Sebelumnya, Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartanto mengatakan kebijakan AS ini akan berdampak terhadap fasilitas-fasilitas perdagangan negara berkembang. “Dampaknya tentu fasilitas, Indonesia yang sebelumnya menjadi negara berkembang akan dikurangi, ya kita tidak khawatir itu,” kata Airlangga di kantornya, Jumat (21/2/2020) lalu.

Setali tiga uang, ekspor barang-barang Indonesia bakal kena tarif tinggi daripada negara berkembang lainnya. Sebagai contoh, pajak-pajak impor yang diatur AS atas barang Indonesia bakal lebih tinggi, termasuk bea masuk.

“Tapi belum tentu, kami tidak khawatir,” ujar Airlangga. Dalam kebijakan baru AS yang telah berlaku sejak 10 Februari 2020 tersebut, Indonesia dikeluarkan dari daftar Developing and Least-Developed Countriessehingga Special Differential Treatment (SDT) yang tersedia dalam WTO Agreement on Subsidies and Countervailing Measurestidak lagi berlaku bagi Indonesia.

Sebagai akibatnya, de minimis thresholds untuk marjin subsidi agar suatu penyelidikan anti-subsidi dapat dihentikan berkurang menjadi kurang dari 1 persen dan bukan kurang dari 2 persen. Selain itu, kriteria negligible import volumes yang tersedia bagi negara berkembang tidak lagi berlaku bagi Indonesia. Dampaknya memang kebijakan ini cenderung buat perdagangan Indonesia buntung.

Padahal selama ini Indonesia surplus dari AS. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) surplus perdagangan Indonesia dengan AS pada Januari 2020 sebesar 1,01 miliar dollar AS, angka ini tumbuh bila dibanding surplus periode sama tahun lalu yakni 804 juta dollar AS. Data tersebut juga menyebutkan AS menjadi negara terbesar kedua pangsa ekspor non-migas Indonesia sebesar 1,62 miliar dollar AS pada Januari 2020.

Batasan Minimum Marjin Subsidi

Dampak kebijakan tersebut akan berpengaruh bagi perlakuan berbeda dan spesial dalam hal perdagangan. Pencoretan tersebut akan berpengaruh pada batasan minimum (de minimis thresholds) untuk marjin subsidi agar penyelidikan bea masuk anti subsidi (BMAS) selesai. Batasan minimum tersebut semakin kecil.

"Marjin subsidi agar suatu penyelidikan anti-subsidi dapat dihentikan berkurang menjadi sama dengan 1 persen dan bukan sama dengan 2 persen," ujar Direktur Pengamanan Perdagangan, Kementerian Perdagangan, Pradnyawati, Jumat (21/2/2020). Meski begitu Indonesia perlu untuk berhati-hati terkait hal tersebut. Pasalnya AS merupakan negara yang paling sering menggunakan instrumen anti-subsidi di dunia.

Berdasarkan data statistik WTO periode 1995 hingga Juni 2019, AS merupakan pengguna instrumen anti-subsidi terbesar di dunia dengan total 254 inisiasi. Dalam kurun waktu tersebut di mana 11 di antaranya ditujukan terhadap produk ekspor Indonesia. "Dengan total 11 inisiasi tersebut, AS menjadi negara yang paling sering menginisiasi penyelidikan anti-subsidi terhadap produk asal Indonesia," terang Pradnyawati.

Pengklasifikasian Indonesia sebagai negara maju sampai saat ini hanya diperuntukkan bagi penyelidikan anti-subsidi. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa hal tersebut juga akan diaplikasikan dalam cakupan yang lebih luas seperti penyelidikan anti-dumping dan safeguard. Indonesia menyampaikan tanggapan terkait pencabutan tersebut.

Keputusan USTR dinilai tidak berdasar. Pasalnya standar anggota G20 tidak bisa diklasifikasikan sebagai negara maju mengingat organisasi itu terdiri atas negara maju dan negara berkembang. Pendapatan per kapita Indonesia juga masih di bawah 12.375 dollar AS. berdasarkan angka tersebut Indonesia masih dikategorikan sebagai lower-middle income economy.

Menambahkan hal tersebut, Direktur Perundingan Bilateral Kemdag Ni Made Ayu Marthini bilang pencoretan Indonesia dari negara berkembang tidak akan berpengaruh pada peninjauan Generalized System of Preferences (GSP).

"Tidak (pengaruh), ini beda yang ini untuk kategori trade remedybukan GSP," jelas Ni Made. Sebagai informasi, saat ini perundingan terkait keberlanjutan fasilitas GSP sudah masuk tahap akhir.

 

Kemampuan Ekonomi Indonesia Semakin Baik

Wakil Menteri Perdagangan Jerry Sambuaga menargetkan peninjauan akan rampung bulan ini.Ia bilang perubahan status Indonesia tidak mempengaruhi fasilitas GSP. Proses evaluasi fasilitas GSP oleh AS hampir final, yakni 90 persen. "Tidak ada hubungannya (dengan GSP). Jadi, suatu hal yang berbeda. USTR sudah komunikasi dengan kami dan tidak ada pencabutan," ujarnya.

Justru, ia menilai kenaikan kelas ini menjadi hal yang patut disyukuri oleh masyarakat Indonesia. Sebab, ini menunjukkan kemampuan ekonomi Indonesia dinilai secara positif oleh AS. "Saya pikir malah semakin meningkat karena dari negara berkembang ke negara maju. Intinya, kami sambut baik dan tidak ada hubungannya dengan GSP," imbuhnya.

Indonesia naik kelas bersama belasan negara lainnya, antara lain Brasil, India, Argentina, Afrika Selatan, Hong Kong, Korea Selatan, Bulgaria, Romania, Kolombia, Kosta Rika, Albania, Armenia, Georgia, Kazakhstan, Republik Kyrgyzstan, Moldova, Montenegro, Makedonia Utara, dan Ukraina. AS juga memberikan predikat negara maju bagi negara tetangga, yakni Malaysia, Thailand, dan Vietnam.

Foto: ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/wsj