:
Oleh Taofiq Rauf, Rabu, 7 September 2022 | 17:29 WIB - Redaktur: Taofiq Rauf - 662
Siaran Pers
Rabu, 7 September 2022
Tentang
Keunggulan RUU KUHP, Ada Alternatif Sanksi
Akademisi Universitas Indonesia, Dr Surastini Fitriasih SH MH menganggap jika Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) adalah beleid yang tidak hanya memberikan ketegasan, namun juga keadilan hukum di Indonesia.
Salah satunya adalah adanya alternatif sanksi bagi pelaku pelanggaran tindak pidana.
"Keunggulan dari RUU KUHP itu adanya alternatif-alternatif sanksi. Pidana penjara bisa diganti pidana denda, pidana denda bisa diganti dengan pengawasan atau kerja sosial," kata Surastini saat acara Dialog Publik RUU KUHP yang di selenggarakan di Bandung, Rabu (7/9/2022).
Ia pun memberi contoh dalam salah satu pasal terkait dengan Penggelandangan yang dianggap sebagai tindak pidana. Pada pasal tersebut dijelaskan bahwa pelarangan mengelandang merupakan batasan untuk menjaga ketertiban umum. Sanksinya bukan perampasan hak kemerdekaan namun hanya pidana denda atau lainnya.
"Rumusan perbuatan menggelandang apabila mengganggu ketertiban umum bisa dijerat pasal ini. Sanksinya bukan perampasan hak kemerdekaan melainkan pidana denda. Pidana denda bisa dialternatifkan menjadi pengawasan atau kerja sosial," jelasnya.
Pemerintah pun menurutnya juga serius dalam menyempurnakan beleid ini, yang terlihat dari upaya pelibatan seluruh komponen bangsa dalam berbagai diskusi. Langkah ini diyakini bukan hanya memberikan kepastian hukum yang konkret, namun juga membawa Indonesia menghasilkan hukum modern dan mencerminkan nilai luhur bangsa.
Meski demikian, katanya, masih ada sejumlah pasal yang menjadi isu krusial dan perlu pembahasan agar menjadi lebih jelas.
Isu tersebut di antaranya terkait hukum yang hidup dalam masyarakat (the living law), pidana mati, penyerangan terhadap harkat dan martabat presiden dan wakil presiden, tindak pidana karena memiliki kekuatan gaib, dokter atau dokter gigi yang melaksanakan pekerjaannya tanpa izin.
Kemudian terkait unggas dan ternak yang merusak kebun yang ditaburi benih, contempt of court berkaitan dengan dipublikasikan secara langsung tidak diperkenankan, advokat curang dapat berpotensi bias terhadap salah satu profesi penegak hukum saja yang diatur (diusulkan untuk dihapus), penodaan agama, penganiayaan hewan, penggelandangan, pengguguran kehamilan atau aborsi, perzinahan, kohabitasi dan pemerkosaan.
Senada dengan Surastini, Juru Bicara Tim Sosialisasi Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang (RUU KUHP) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), Albert Aries, pun meminta seluruh elemen bangsa termasuk masyarakat untuk terus terlibat memberikan masukan terhadap penyempurnaan beleid tersebut, sebelum disahkan menjadi Undang-Undang.
"Sosialiasi dan dialog publik sesuai arahan Presiden Joko Widodo pada 2 Agustus 2022. Ini tentu agar RUU KUHP mendapat masukan dari masyarakat," kata Albert.
Pihaknya pun optimistis, dengan dibukanya komunikasi dan dialog publik, tidak hanya menguatkan, tapi yang paling penting masyarakat paham pasal perpasal dari RUU KUHP sebelum disahkan menjadi Undang-Undang.
“Termasuk 14 pasal krusial seperti penghinaan terhadap harkat dan martabat presiden dan wakil presiden di pasal 218, dan 219. Masyarakat akan memahami 14 isu krusial RKUHP serta keunggulannya sebagai hukum pidana dan sistem pemidanaan yang modern, yang mengusung keadilan restoratif, keadilan korektif dan keadilan rehabilitatif,” katanya.
14 Pasal Krusial RKUHP
Berikut daftar 14 pasal krusial merujuk naskah RKUHP hasil perbaikan terakhir dalam rapat pemerintah dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 7 Juli 2022.
1. Living law atau pidana adat
Pasal 2 dan Pasal 96 mengakui hukum yang hidup di tengah masyarakat sebagai acuan untuk mempidanakan seseorang, sekalipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam KUHP.
Living law atau pidana adat dalam RKUHP berlaku selama sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, UUD 1945, hak asasi manusia, dan asas hukum umum yang diakui masyarakat. Pasal ini juga berlaku hanya dalam kondisi tertentu dan tempat hukum adat tersebut hidup.
"Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang ini," demikian bunyi Pasal.
2. Pidana mati
Pemerintah sebelumnya mengusulkan agar pidana mati menjadi opsi terakhir yang dijatuhkan. Pidana mati menjadi ancaman alternatif dengan pidana penjara waktu tertentu, yaitu paling lama 20 tahun dan pidana penjara seumur hidup.
Pidana mati juga dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama 10 tahun apabila memenuhi persyaratan. Jika terpidana selama masa percobaan menunjukkan perbuatan terpuji, pidana mati dapat diubah menjadi hukuman penjara seumur hidup dengan Keputusan Presiden.
"Pidana mati diancamkan secara alternatif sebagai upaya terakhir untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dan mengayomi masyarakat".
3. Penyerangan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden
Ketentuan soal penyerangan atau menghina presiden dan wakil presiden diatur dalam Pasal, 218, 219, 220. Pasal itu menyebut, setiap warga negara yang menghina presiden dapat dipidana 3,5 tahun.
Pasal tersebut merupakan delik aduan. Artinya, penuntutan bisa dilakukan hanya jika dilaporkan oleh presiden atau wakil presiden.
"Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 dan Pasal 219 hanya dapat dituntut berdasarkan aduan; Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara tertulis oleh Presiden atau Wakil Presiden".
4. Memiliki kekuatan gaib
Pidana ini masuk dalam delik materiil. Artinya, seseorang dapat dipidana karena perbuatannya menimbulkan penyakit, kematian, penderitaan mental atau fisik seseorang.
Pemerintah mengakui tindak pidana ini merupakan tindak pidana baru khas Indonesia yang perlu dikriminalisasi karena sifatnya yang sangat kriminogen, atau dapat menyebabkan tindak pidana lain.
"Setiap Orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, atau penderitaan mental atau fisik seseorang dipidana dengan pidana penjara paling lama 1,5 tahun".
5. Unggas dan ternak yang rusak kebun
Pemerintah dan DPR menambahkan frasa "yang menimbulkan kerugian" pada Pasal 278 yang mengatur, bahwa setiap orang yang membiarkan unggas atau ternaknya berjalan di kebun atau tanah yang telah ditaburi benih atau tanaman milik orang lain.
Perubahan ini membuatnya menjadi delik materiil. Pasal ini dibuat untuk melindungi para petani dan penyempurnaan dari KUHP sebelumnya.
"Setiap Orang yang membiarkan ternaknya berjalan di kebun, tanah perumputan, tanah yang ditaburi benih atau penanaman, atau tanah yang disiapkan untuk ditaburi benih atau ditanami dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori II".
6. Contempt of court
Contempt of court atau mengatur soal penghinaan terhadap proses peradilan. Pemerintah mengubah ketentuan dalam Pasal 281, terutama huruf c yang menyatakan setiap orang yang tanpa izin merekam, mempublikasikan secara langsung, atau memperbolehkan untuk mempublikasikan proses persidangan yang sedang berlangsung.
Ketentuan itu dibuat untuk mencegah live streaming saat sidang berlangsung. Tujuannya demi ketertiban umum, dan menghindari opini publik yang dapat mempengaruhi putusan hakim.
"Setiap Orang yang membuat gaduh dalam sidang pengadilan dan tidak pergi sesudah diperintahkan sampai 3 kali oleh atau atas nama hakim dipidana dengan pidana penjara paling lama bulan atau pidana denda paling banyak kategori II".
Beberapa pasal yang mengatur soal contempt of court yakni Pasal 280 dan 281.
7. Penodaan agama
Pasal 302 mengatur, setiap orang yang menyatakan perasaan atau melakukan perbuatan bersifat permusuhan atau penodaan terhadap agama di Indonesia dipidana maksimal lima tahun.
Begitu pula jika tindakan tersebut dilakukan dengan maksud agar diketahui orang banyak, dapat diancam pidana lima tahun. Pasal penodaan atau penghinaan agama diatur dalam beberapa pasal yakni, pasal 302, 303, dan 304.
"Setiap orang di muka umum yang menghasut untuk melakukan permusuhan, Kekerasan, atau diskriminasi, terhadap agama, kepercayaan, orang lain, golongan, atau kelompok atas dasar agama atau kepercayaan di Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak kategori V," demikian bunyi Pasal 302.
8. Penganiayaan hewan
Terancam pidana penjara hingga satu tahun bagi setiap orang memanfaatkan hewan di luar kemampuan kodratnya yang dapat merusak kesehatan hingga menyebabkan kematian hewan tersebut.
Pada Pasal 340 ayat 1 huruf (a) menyangkut penganiayaan hewan, pemerintah mengusulkan untuk mengganti frasa "berpengaruh" menjadi merusak. Pada penjelasan, ditambahkan keterangan yang dimaksud dengan "kemampuan kodrat" adalah kemampuan hewan yang alamiah. Penganiayaan hewan diatur dalam beberapa pasal yakni 338, 339, dan 340.
9. Mencegah kehamilan dan menggugurkan kandungan Ketentuan soal alat kontrasepsi diatur dalam tiga pasal. Masing-masing Pasal 412, 413, dan 414.
Pasal 412 menyebutkan, setiap Orang yang secara terang-terangan menawarkan atau menunjukkan alat pencegah kehamilan kepada anak, dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori satu.
Namun, pidana tidak dapat dijatuhkan jika yang melakukan hal tersebut merupakan seorang kompeten, atau dilakukan untuk tujuan pendidikan dan ilmu pengetahuan.
10. Aborsi
Aborsi atau pengguguran kandungan diatur dalam sejumlah pasal khusus dalam RKUHP. Merujuk naskah terakhir hasil rapat pemerintah dan DPR, Pasal aborsi di antaranya diatur dalam Pasal 467, 468, dan Pasal 469.
Pasal 467 ayat 1 menyebutkan, "Setiap perempuan yang melakukan aborsi dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun".
Namun, pidana tidak berlaku jika aborsi dilakukan kepada korban kekerasan seksual dengan masa kehamilan tidak lebih dari 12 minggu atau ada indikasi darurat medis.
Kemudian, ancaman pidana berlaku bagi pihak yang yang melakukan aborsi terhadap perempuan, baik dengan atau tanpa persetujuan. Ancaman penjara lima tahun jika aborsi dilakukan dengan persetujuan perempuan.
Sedangkan, pidana penjara 12 tahun jika tanpa persetujuan.
11. Gelandangan
Gelandangan diatur dalam pasal 429. Di dalamnya menyebutkan, "Setiap Orang yang bergelandangan di jalan atau di tempat umum yang mengganggu ketertiban umum dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori I (atau sekitar Rp1,5 juta)".
12. Perzinaan
Pasal perzinaan merupakan delik aduan. Artinya, penuntutan hanya bisa dilakukan terhadap pelaku jika hanya dilaporkan dua pihak. Pertama, suami atau istri. Kedua, orang tua atau anak.
"Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya dipidana karena perzinaan, dengan pidana penjara paling lama 1 tahun atau pidana denda paling banyak kategori II (Rp7,5 juta)," demikian bunyi Pasal 415.
13. Kohabitasi atau kumpul kebo
Kohabitasi adalah dua orang lawan jenis yang tinggal satu atap di luar ikatan pernikahan. RKUHP mengancam pidana bagi seseorang yang melakukan kohabitasi.
Pasal kohabitasi diatur dalam Pasal 416. Ayat 1 menyebutkan, "Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori II".
Namun, sama halnya dengan perzinaan, kohabitasi juga hanya bisa dilakukan penuntutan jika dilaporkan dua pihak, suami atau istri; anak atau orang tua.
14. Perkosaan
Ketentuan soal perkosaan berubah dari semula diatur dalam Pasal 479 menjadi Pasal 477. Di dalamnya menambahkan aturan mengenai persetubuhan dengan penyandang disabilitas mental pada ayat (2) huruf d.
***
Untuk Informasi lebih lanjut, silakan menghubungi kontak di bawah ini.
Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Kominfo – Usman Kansong (0816785320).
Dapatkan informasi lainnya di http://infopublik.id