: Sekretaris Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA), Ir. Muhammad Syahril, saat menyampaikan sambutan pada kegiatan Sosialisasi Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) Rawan Bencana Gempa di Aceh tahun 2024, Senin (16/12/2024). FOTO MC ACEH/IMA
Oleh MC PROV ACEH, Selasa, 17 Desember 2024 | 01:58 WIB - Redaktur: Juli - 124
Banda Aceh, InfoPublik – Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) menekankan pentingnya sosialisasi mitigasi bencana dalam menghadapi risiko bencana alam di Aceh.
Pernyataan itu disampaikan Sekretaris BPBA, Muhammad Syahril, saat mewakili Kepala BPBA pada pembukaan kegiatan Sosialisasi Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) Rawan Bencana Gempa di Aceh tahun 2024, Senin (16/12/2024).
Muhammad Syahril mengingatkan bahwa Provinsi Aceh terletak di wilayah yang sangat rawan bencana alam. Berdasarkan data Pusdalops BPBA, selama 10 tahun terakhir (2012–2023), jumlah kejadian bencana di Aceh menunjukkan tren peningkatan, meskipun ada sedikit penurunan pada periode 2020–2023.
Lebih dari 1,5 juta jiwa terdampak bencana, dengan estimasi kerugian mencapai Rp1,6 triliun. Angka ini setara dengan 10 persen dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) tahun ini.
“Bencana paling sering terjadi adalah banjir, longsor, kebakaran, serta kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Selain itu, ancaman gempa megathrust di Samudra Hindia juga menjadi perhatian serius karena berpotensi menimbulkan dampak signifikan, termasuk tsunami,” ungkapnya kepada Media Center Aceh.
Muhammad Syahril menjelaskan bahwa sosialisasi KIE rawan bencana memiliki peran penting dalam meningkatkan kesadaran masyarakat tentang potensi bencana di Aceh.
Edukasi mitigasi kebencanaan perlu dilakukan secara berkelanjutan agar masyarakat memiliki pengetahuan tentang langkah-langkah yang harus dilakukan sebelum, saat, dan setelah bencana.
“Kampanye penyuluhan melalui media massa seperti televisi, radio, surat kabar, dan media sosial sangat efektif. Selain itu, aplikasi ponsel yang memberikan informasi terkini tentang bencana juga dapat dimanfaatkan,” tambahnya.
Sosialisasi ini juga melibatkan berbagai pihak, seperti pemerintah daerah, lembaga swadaya masyarakat (LSM), lembaga pendidikan, dan relawan bencana. Pemerintah daerah harus aktif menyosialisasikan informasi rawan bencana kepada masyarakat, sementara LSM dan lembaga pendidikan dapat mengedukasi siswa dan komunitas lokal. Relawan bencana juga memiliki peran penting dalam memberikan edukasi langsung di lapangan.
BPBA juga menekankan perlunya langkah-langkah strategis untuk memperkuat kapasitas mitigasi bencana di Aceh, di antaranya, peningkatan Kapasitas Masyarakat: Edukasi dan pelatihan kebencanaan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan masyarakat.
Penguatan Infrastruktur Mitigasi: Memastikan jalur evakuasi, tempat perlindungan sementara, dan alat deteksi dini berfungsi optimal. Kolaborasi Semua Pihak: Sinergi antara pemerintah, akademisi, media, LSM, dan komunitas lokal dalam penanganan bencana.
Pemanfaatan Teknologi Informasi: Penyebaran informasi kebencanaan yang cepat melalui teknologi. Pelestarian Lingkungan: Menjaga kelestarian lingkungan, termasuk kawasan mangrove, sebagai benteng alami terhadap tsunami.
Muhammad Syahril berharap kegiatan sosialisasi ini dapat diikuti secara serius oleh seluruh peserta. Menurutnya, pemahaman tentang potensi bencana dan mitigasi harus diserap hingga ke lapisan masyarakat terendah untuk mengurangi risiko kerugian dan korban jiwa.
“Kegiatan ini menjadi langkah penting dalam memperkuat kesiapsiagaan masyarakat Aceh menghadapi berbagai potensi bencana. Dengan kolaborasi semua pihak, diharapkan kita dapat meminimalisir dampak bencana di masa depan,” tutupnya. (MC ACEH/01)