- Oleh MC PROV GORONTALO
- Selasa, 12 November 2024 | 11:46 WIB
: Aktivitas para penambang dan tukang pikul material tambang emas di lokasi pertambangan Motomboto, Desa Tulabolo Timur, Kec. Suwawa Timur, Kab. Bone Bolango, beberapa waktu yang lalu sebelum terjadinya longsor. (Foto: dok. Adit)
Oleh MC KAB BONE BOLANGO, Sabtu, 13 Juli 2024 | 14:41 WIB - Redaktur: Bonny Dwifriansyah - 366
Suwawa Timur, InfoPublik - Musibah tanah longsor yang terjadi di wilayah pertambangan emas Motomboto, Desa Tulabolo Timur, Kecamatan Suwawa Timur, Kabupaten Bone Bolango, banyak menyita perhatian lapisan masyarakat, baik yang ada di Gorontalo bahkan luar daerah.
Sejak dibuka tahun 1992 silam, musibah longsor yang terjadi pada Minggu (7/7/2024) dini hari itu menjadi musibah longsor terbesar yang pernah menimpa kawasan pertambangan tersebut.
Tercatat, dari total korban sebanyak 325 orang, korban meninggal dunia mencapai 26 orang, masih dalam pencarian 19 orang, dan yang selamat sebanyak 280 orang.
Di sisi lain, pertambangan tersebut aktivitasnya masih berstatus ilegal tanpa izin. Karena itu, Pemerintah Kabupaten Bone Bolango mengambil langkah tegas untuk sementara waktu menutup aktivitas yang ada di sana agar tidak ada lagi korban jiwa yang berjatuhan, terlebih mengingat cuaca yang tidak menentu dan longsor kecil yang masih terus terjadi di sana.
Tapi apakah langkah tersebut sudah tepat? Seperti apa sebenarnya aktivitas yang terjadi di wilayah pertambangan?
Ihwan Husain, salah seorang yang telah menekuni pekerjaan sebagai penambang selama 35 tahun di wilayah Suwawa Timur, bercerita bahwa longsor sudah pernah terjadi pada tahun 1994, tapi dalam skala kecil dan belum sebesar seperti bencana sekarang.
Ihwan juga mengungkapkan bahwa sejak tahun 1992 sampai tahun 2010 ia menambang, tidak ada sama sekali perempuan dan anak-anak yang masuk ke sana.
“Pada tahun 2012 bencana ini terus-menerus terjadi sampai saat ini. Jika pemerintah ingin menutup sementara pertambangan di sana karena bencana ini, itu sudah benar dan kami masyarakat penambang berharap tetap akan dibuka akses ini dengan dibuatkan standar operasional prosedurnya (SOP) dan harus melalui kesepakatan bersama,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Ihwan pun menguraikan hal-hal yang harus disepakati oleh pemerintah daerah dan para penambang. Yang pertama, jangan menambang lagi di lokasi yang sudah tidak bisa ditambang. Kedua, tidak bisa lagi penambang membawa anak kecil atau balita. Dan yang ketiga, tidak bisa lagi ada perempuan yang masuk ke lokasi tambang.
“Harapan kami kepada pemerintah ketika ingin mengambil langkah untuk menutup agar diatur jika nanti aktivitas pertambangan ini dibuka kembali. Ini menjadi pintu bagi pemerintah daerah mengatur kami para penambang. Karena kami juga sebetulnya keberatan jika tambang ini akan ditutup, karena ini menjadi salah satu sumber mata pencarian masyarakat yang miskin,” tuturnya. (MC Bone Bolango/Indra/AKP)