Sekda Ternate: Butuh Penguatan Literasi Lawan Hoaks

:


Oleh MC KOTA TIDORE, Selasa, 11 Juli 2023 | 17:32 WIB - Redaktur: Yudi Rahmat - 72


Ternate, InfoPublik - Sekretaris Daerah Kota Ternate Jusuf Sunya mengatakan pada tahun 2024 Indonesia akan memasuki tahun politik. Riuh dan ramainya kontestasi politik dan proses demokratisasi ini salah satunya disebabkan kehadiran informasi-informasi melalui media mainstream maupun media sosial.

"Apalagi dalam setiap kehidupan kita selama 24 jam selalu didampingi oleh gagdet atau perangkat pipih ini yang menjadi salah satu sumber informasi kita, sumber pengetahuan sekaligus media transaksional – yang menggantikan peran uang giral. Semua serba taping dan memudahkan. Kita marfum bahwa gagdet sebagai alat komunikasi dan sarana,"kata Jusuf saat membuka seminar dan workshop bertajuk Melawan Misinformasi untuk Pemilu Sehat di Kota Ternate, seminar dipusatkan di kantor wali kota, Selasa (11/7/2023).

Menurutnya, informasi ini berperan menjadi literasi baru untuk kita mengakses informasi dan berita-berita terkini melalui beragam media mainstream maupun online. 

"Semakin banyak media itu tandanya bahwa demokrasi kita dinamis, tumbuh dan berkembang dan ini menjadi salah satu indikator atau tolok ukur, bahwa demokrasi itu hadir karena adalah banyaknya atau peran media," tuturnya.

Jusuf memaparkan, media memiliki tanggung jawab berat turut mendorong penyampaian informasi yang akuntabel dan jauh dari misinformasi atau hoaks. Apalagi saat ini merupakan era disrupsi, yaitu terjadi perubahan secara masif dalam setiap kehidupan akibat pengaruh globalisasi dan kecepatan informasi.

Dia menyebutkan di Era disrupsi memiliki ciri mudah dijelaskan melalui VUCA yaitu, perubahan yang masif, cepat, dengan pola yang sulit tertebak (Volatility), perubahan yang cepat menyebabkan ketidakpastian (Uncertainty), terjadinya kompleksitas hubungan antar faktor penyebab perubahan (Complexity), serta kekurangjelasan arah perubahan yang menyebabkan ambiguitas (Ambiguity).

"Pada Era ini, teknologi informasi telah menjadi basis dalam kehidupan manusia yang sedang kita alami saat ini," papar mantan Kepala Dinas Tenaga Kerja Ternate ini. 

Kondisi tersebut, kata Jusuf, mengarah pada post truth era, yaitu suatu kondisi di mana fakta tidak terlalu berpengaruh dalam opini atau pandangan masyarakat dibandingkan dengan emosi, keyakinan atau keberpihakan personal terhadap sebuah informasi. Di mana masyarakat begitu mudah menemukan informasi yang cenderung hoaks dan tidak jelas kebenarannya.

"Kita sulit menemukan mana benar dan mana salah. Kadang publik lebih tertarik pada informasi yang tidak jelas sumbernya. Sudah tahu itu hoaks tapi selalu digoreng-goreng. Jadi post truth ini lebih banyak dominasi pencitraan dan kebohongan. Keduanya itu beda tipis dan itu justru dilakoni oleh para elite dan itu yang mereka suka," ujarnya.

"Apalagi menjelang momen-momen politik. Di satu sisi kita diperhadapkan pada ambigusitas medai, terutama media online yang begitu cepat bergerak walaupun kadang tingkat keakuratannya minim. Kadang-kadang lebih banyak menyajikan opini ketimbang fakta. Inilah realitas yang kita hadapi sekarang," imbuh Jusuf.

Ia pun menyentil fenomena click bait headline yang menyajikan berita dengan judul bombastis, tetapi isi berita lebih banyak opini media atau wartawan.

"Kemudian kita disajikan informasi yang tidak utuh dan akurat. Ketika publik membaca justru tidak ada hal yang baru dan penting. Dan ini yang sering saya rasakan, mereka menulis saya tapi tidak pernah konfirmasi," tukas mantan Kepala Bagian Humas Setda Ternate ini.

Jusuf menyebutkan, kecanggihan teknologi Artificial Intelengence juga begitu mudah merekayasa foto, mengumpulkan informasi dan menyusun menjadi berita palsu. Dilansir dari laman Katadata Insight Centre, di Indonesia sendiri setidaknya terdapat 30–60 %, orang terpapar hoaks saat mengakses dan berkomunikasi melalui dunia maya.

Sementara itu, hanya terdapat 21 sampai 36 % saja jumlah masyarakat yang mampu mengenali dan memilah informasi yang didapatkan. Hal ini tentu menjadi sebuah masalah, karena pada post truth ini para pelaku memiliki tujuan lebih dari sekadar menyebarkan berita bohong, tetapi membuat seseorang mempercayai suatu data terlepas ada atau tidaknya bukti.

"Lebih dari itu, post truth juga mencakup penyalahgunaan informasi fakta. Seperti penggunaan gambar tertentu untuk menjelaskan situasi yang bukan sebenarnya. Post truth ini sudah menjadi ideologi baru, di mana terjadi pertarungan global atau istilah proxy war, perang tanpa bentuk dan tanpa senjata dan tentara," jabarnya.

Ia menegaskan, dibutuhkan kecerdasan literasi dan kemantapan hati agar mampu memfilter berita-berita media sosial dan online agar lebih selektif, dan tidak terjebak pada jejaring hoaks yang menyesatkan. Apalagi, sebagian besar hoaks mengarah pada pelumpuhan nalar dan akal sehat.

"Dan hebatnya lagi, hoaks diproduksi sekelompok orang terlatih dan mahir menggunakan media, dan secara berjamaah berkumpul dan berjejaring melemparkan berita bohong guna kepentingan pribadi dan golongan. Kalau ini terus menerus terjadi maka kita akan menjadi bangsa yang saling berkelahi karena hoaks," tegasnya.

Data dari Kementerian Kominfo, imbuhnya, menjelang pesta demokrasi kuantitas penyebaran hoaks semakin bertambah. Sebanyak 40 % dari hoaks yang sudah tersebar berkaitan dengan politik dan mayoritas berkaitan dengan Pemilu Serentak.

Ia menyebutkan tahun 2018, sebanyak 1.440 laporan yang berkaitan dengan konten negatif. Terbanyak kategori laporan adalah konten yang meresahkan atau hoaks yaitu sebanyak 733 laporan.

"Kita berharap mudah-mudahan dalam momen politik yang sementara tahapan sedang berjalan, tentunya dibutuhkan kearifan dan kesadaran diri kita untuk lebih mencerna dan menyaring. Karena itu sudahnya kita lebih mendorong penguatan literasi, sehingga informasi yang disajikan dan dibaca benar-benar sebuah kebenaran dan fakta tanpa terjebak pada kesimpangsiuran dan hoaks," tandas Jusuf.

Kegiatan seminar digelar oleh  ICT Watch bekerjasama dengan WhatsApp Indonesia dan didukung Bawaslu dan GNLD Siberkreasi ini digelar di 8 kota, di mana Ternate, Provinsi Maluku Utara, adalah salah satunya.(ts/MC Tidore)