Peran Keluarga Kunci Cegah Kekerasan terhadap Anak

:


Oleh MC KAB KEP TANIMBAR, Sabtu, 12 Mei 2018 | 19:22 WIB - Redaktur: Elvira Inda Sari - 493


Saumlaki, InfoPublik - Kasus kekerasan dan kejahatan seksual pada anak dibawah umur di Kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB) Provinsi Maluku kebanyakan bukan dilakukan orang lain tetapi pelaku mempunyai hubungan dekat dengan keluarga korban. Keluarga dan lingkungan merupakan kunci dari pencegahan terjadinya kekerasan terhadap anak.

Hal ini dikatakan Kasat Intel Polres Maluku Tenggara Barat Iptu. Pieter Matahelumgual, SH.,MH di ruang rapat Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten MTB, Kamis (3/5/2018).

“Kalau kita berbicara tentang pencegahan, kita berbicara dari keluarga, kita berbicara peran, jadi peran dari masyarakat, peran keluarga, peran guru, dan peran dari lingkungan, itu pencegahan yang paling utama," ujar Pieter.

Ditambahkannya, bagaimana bapak dan ibu bisa membina hubungan yang baik di dalam keluarga, kalaupun kemudian di dalam keluarga itu sendiri terjadi perpecahan, sering cekcok antara bapak dan ibu, saling melempar kata kotor di depan anak, maka ini  akan mengganggu psikis terhadap anak.

"Ketidakpedulian orang tua terhadap anak, misalnya jam-jam belajar mereka, dimana orang tua lebih menyibukan diri dengan aktifitas di kantor, celah ini merupakan salah satu cara yang digunakan anak-anak broken home. Mereka menganggap, tidak mendapat kasih sayang secara menyeluruh dari orang tua,” katanya.sudah berada pada ambang batas lampu merah.

Dijelaskan Pieter, berdasarkan data Polres MTB, kasus kejahatan seksualitas terhadap anak dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) diprediksi pada 2018 meningkat persentasenya dibanding 2017.

“Kekerasaan seksual terhadap anak cukup signifikan, sesuai data, dari Januari - Desember 2017 terdapat 29 kasus, seperti perkosaan, cabul, persetubuhan anak dibawah umur, dan KDRT. Tetapi ditahun 2018, sampai bulan April saja sudah 15 kasus, kalau kita bandingkan dengan tahun 2017, itu artinya kasus kekerasan seksualitas terhadap anak akan meningkat,” katanya.

Terhadap tingginya jumlah kasus kekerasan terhadap anak dan KDRT di MTB, sudah saatnya pemerintah memperhatiankan dengan serius, dengan melibatkan semua pihak untuk menunjukan perannya sebagai langka pencegahan, karena belum ada kata terlambat.

Menjawab pertanyaan tentang penyelesaian kasus kekerasan seksual terhadap anak yang sering diminta untuk ditarik kembali oleh keluarga dengan alasan sudah diselesaikan secara hukum Adat, Pieter mengakuinya.

“Kita Polres MTB sudah berkomitmen, terhadap kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak tidak ada kata kompromi, tetap kami proses sesuai hukum yang berlaku secara normatif. Memang kita akui bahwa ada aturan adat yang berlaku di Bumi Duan Lolat ini, yaitu Keputusan Latupati yang mengakomodir terkait dengan beberapa tindakan-tindakan yang bisa dilakukan penyelesaian secara adat dengan sanksi-sanksi atau denda yang berlaku, namun perlu kami tegaskan bahwa yang berlaku di bumi duan lolat ini adalah hukum positif," katanya.

Pihak Polres MTB, kata Pieter, mengakui adanya hukum adat tetapi bukan berarti hukum adat itu mengesampingkan hukum positif. "Tidak, hukum positif tetap kami dahulukan, hukum adat kami akomodir. Dalam pengertian bahwa, ketika ada permasalahan pidana maka penyelesaian secara adat itu kami lampirkan dalam berkas perkara untuk meringkan si pelaku tetapi tidak untuk menyelesaikan masalah,” Tegasnya.

Menurutnya, jika kasus kekerasan seksual itu diselasasikan secara adat maka diibaratkan anak itu diperdagangkan dan harga diri serta masa depan anak itu menjadi suram, sementara untuk pelaku tidak ada efek jera. (MCMTB/Vira)