:
Oleh MC Kabupaten Banyuasin, Senin, 13 Juni 2016 | 09:51 WIB - Redaktur: Kusnadi - 1K
Banyuasin, InfoPublik – Suku Anak Dalam, sudah terbiasa menetap dan tinggal berpindah-pindah di kawasan hutan Jambi atau perbatasan Sumsel. Kini kondisinya miris karena kian tersisihkan, akibat hutan mereka habis oleh pembalakan liar dan perkebunan kelapa sawit serta karet. Tak pelak keadaan memaksa mereka untuk pindah-pidah.
Pada minggu (12/06) satu rombongan Suku Anak Dalam, tampak berjalan terseok-seok di pinggir Jalan Lintas Timur, Palembang-Betung, kawasan Musi Pahit Banyuasin. Ada sekitar 31 orang lebih, mulai dari anak-anak, wanita, pria dewasa, yang merupakan beberapa keluarga besar.
Bila diperhatikan seksama, penampilan mereka tidak jauh berbeda dengan masyarakat moderen saat ini, tapi yang paling mencolok utuk yang lelaki usia anak-anak sampai tua, tidak ada yang mengenakan pakaian, dan bersandal plastik saja, rambut kumal dengan kulit legam terbakar yang rata-rata pundaknya penuh barang bawaan.
Bedanya dengaan yang perempuan bila tidak berjalan terpisah terlihat menggendong anak kecil.
Dikatakan Endan (30), hutan mereka memang telah dirampas, asal diperhatikan pihak perkebunan dan pemerintah Jambi atau Pusat. "Sudah satu bulan kami jalan, mulai dari Lubuk Linggau, terus ke Muara Enim, Prabumulih, Palembang dan di Banyuasin, lalu ke Muba, jadi pulang ke Jambi sekitar 2 bulan," ungkapnya.
Mengenai hutan atau rumah mereka yang hilang, Endan mengutarakan yang melakukannya adalah PT SAL 1 dan PT Sinar Mas. "Kami sudah demo ke perusahaan, kami minta ganti rugi tanah nenek moyang kami justru kami dijawab dengan kekerasan," ujarnya.
Keadaan bertambah pahit, setelah kehilangan hutan membuat mereka yang banyak buta huruf otomatis tidak bisa bekerja di perusahaan telah merampas tanah mereka. "Kami buta huruf, tidak bisa baca tulis, jadi kami tidak bisa diterima bekerja. Itu kata orang perusahaan," ujarnya.
Kini hutan mereka yang habis tinggal hutan lindung bukit 12 atau bukit barisan, anak-anak ada sekitar 12 mereka belum bisa masuk ke gunung. “Makanya kami memilih untuk keluar,” katanya.
"Pernah kami mengambil berondolan atau buah kelapa sawit malah karung kami dirobek pihak PT," ujarnya.
Sedangkan dikatakan Muhammad (60) kenapa tidak malu mengemis karena mereka lapar dan susah. "Lailahailaqloh, kami susah kami lapar, habis hutan kami karena PT. Dari pada kami merampok ya makanya kami mintak-mintak," katanya.
Saat ini perjalanan mereka dalam rangka Melangun atau buang sial, "karena ada yang mati makanya kami membangun.”
Kalau tidak jalan akan ada yang mati. Saat di Palembang dapat bantuan dari dinas sosial seperti makanan pakaian dan peralatan masak, kalau uang tidak," timpalnya.
Meski tubuh Suku Anak Dalam ini kuat dan sehat, sayang fisik mereka tidak mereka manfaatkan untuk bekerja keras, tetapi setelah sampai di kampung mereka katanya akan pulang ke Bukit 12. Terlihat tanpa rasa malu, mereka yang fasih bahasa Indonesia itu melanjutkan perjalan sambil menengadahkan tangan ke para pengemudi dan orang mereka jumpai.
Kepala Dinas Sosial Banyuasin Roni Utama Ap MSi mengatakan pihaknya telah berkoordinasi dengan Dinas Propinsi Sumsel menangani eksodus Suku Anak Dalam tersebut.
"Petugas kita langsung turun kesana, suku anak dalam yang melintas di Jalan Musi Pahit. Kita akan berikan bantuan makanan dan pakaian ke mereka. Soal kenapa kita antar mereka saja ke hutan Bukit Sulap, itu karena mereka menolak," jelasnya.
Roni juga menegaskan, pihaknya sudah semampu mungkin membentuk Suku Anak Dalam ini. "Jadi karena adat menolak untuk kita antar ke Bukit Sulap. Kalau mereka tidak jalan akan didenda 20 potong kain, itu kenapa mereka tidak mau,"timpalnya. (mcbanyuasin-312wn/Kus)