RUU Tembakau Dinilai Untungkan Industri

:


Oleh MC PP Muhammadiyah, Rabu, 1 Juni 2016 | 13:41 WIB - Redaktur: Tobari - 519


Jakarta, InfoPublik - Rancangan Undang-Undang (RUU) terkait dengan pertembakauan saat ini sedang digagas oleh DPR (Dewan Perwakilan Rakyat). Beberapa pengamat melihat RUU Pertembakauan hanya menguntungkan industri. Hal tersebut jika dilihat dari isi dan pengusul RUU tersebut.

Bahkan RUU Pertembakauan dirasa tidaklah urgent, dan bahkan hanya akan melemahkan upaya pengendalian konsumsi rokok yang telah ada selama ini. Padahal  jika dilihat sebelumnya telah ada Undang-Undang P3 (Perlindungan dan Pemberdayaan Petani) tahun 2014. Sementara terkait dengan regulasi petani tembakau telah diatur di UU tersebut.

Hal tersebut sebagaimana disampaikan oleh Deni Wahyudi Kurniawan, selaku Anggota Divisi Kesehatan MPKU (Majelis Pembina Kesehatan Umum) PP Muhammadiyah,  Selasa (31/5).

"Jika DPR ingin merancang UU khusus, bukanlah soal pertembakauan yang diperlukan. Karena tembakau itu bukan komoditas pokok dan juga pangan. Sehingga tidak semua masyarakat butuh tembakau, melalui hal itu sudah dapat dilihat bahwa di balik RUU tersebut terdapat kepentingan industri," ungkap Deni.

Ia mengatakahn, berbau kepentingan karena pengusul dari RUU tersebut adalah AMTI (Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia) dan APTI (Asosiasi Petani Tembakau Indonesia) yang selama ini dekat dengan industri.

Permasalahan petani tembakau saat ini justru relasi dan tata niaga yang tidak memberi mereka bargaining position. Sehingga harga tembakau tidak pernah ada kepastian dan ditentukan oleh pabrik dan para makelar.

"Petani tidak bisa menjual harga langsung ke pabrik. Selain itu tidak pernah ada standar mutu yang jelas untuk memutuskan bagaimana kualitas tembakau ditentukam dan berapa hargnya," tambah Deni.

Ia menambahkan permasalahan lain terkait dengan pertembakuan yaitu kebutuhan tembakau dalam negeri tidak mencukupi, hingga akhirnya industri lebih memilih untuk mengimpor tembakau.

"Alasan industri impor tembakau dikarenakan stok tembakau di Indonesia yang kurang dan kualitas tembakau dianggap lebih baik. Hingga saat ini 60% tembakau tersebut sudah impor dari negara lain," katanya.

Efeknya petani tembakau di Indonesia semakin terpuruk, karena jika petani tembakau menjual harga mahal maka pengusaha akan pilih impor dari negara lain daripada membeli ke petani.

"Hal Ini menjadi paradoks, karena meski konsumsi rokok meningkat tapi petani tembakau tetap mengalami kerugian. Dalam konteks ini petani lebih butuh regulasi soal pengaturan impor tembakau bukanlah RUU pertembakauan," katanya. (mc pp muhammadiyah/toeb)