Sumenep Miliki Kewajiban Besar Lestarikan Budaya Madura

:


Oleh MC Kabupaten Sumenep, Kamis, 21 Januari 2016 | 19:37 WIB - Redaktur: Tobari - 900


Sumenep, InfoPublik -  Dewasa ini, saat kebesaran masa lalu telah mengering dalam bentuk coretan tinta sejarah, sekaligus juga tergerus oleh pengaruh negatif budaya asing, jiwa Madura terancam mati.

Tentu, sebagai salah satu anak kandungnya yang tertua, dengan merujuk pada penetapan hari jadi Sumenep tanggal 31 Oktober 1269 alias sudah berumur 746 tahun. Sementara Pamekasan berusia 485 tahun, Sampang berusia 392 tahun, dan Bangkalan berusia 484 tahun, Sumenep memiliki kewajiban terbesar yang harus ditunaikan.

“Terlebih Sumenep memiliki banyak nilai plus yang mendukung kewajiban itu,” kata Rabiatul Adawiyah, salah satu pemerhati perkembangan Sumenep pada Media Center, Kamis (21/1).

Bahkan menurut salah seorang guru di SMPN 1 Saronggi ini, Sumenep begitu kaya dengan nilai-nilai plus itu. Di bidang budaya, misalnya, Sumenep merupakan cikal bakal beberapa tradisi budaya yang sudah go international. Seperti di antaranya, upacara adat nyadhar, kerapan sapi, klenengan, tari gambhu, dan lain-lain.

“Bahkan simbol Madura, yakni garam, juga bercikal bakal dari Sumenep yang ditandai oleh tradisi nyadhar,”kata putri pasangan RB. Abdul Karim, dan F Winarti ini.

Tak hanya itu, menurut Rabiatul, Sumenep masih alami. Jika dilihat dari peninggalan terbesarnya, menurut ibu dari R.Aj. Lubna Alawiyah, dan R.Aj. Raudlatusy Syifa ini, Sumenep memiliki bangunan keraton yang masih original sebagai simbol kuasa Sumenep di masa lalu.

“Jika dibanding dengan 3 kabupaten lain di Madura, bukti otentik kebesaran masa lalu Sumenep masih utuh, yakni keraton di Pajagalan, dan Asta Tinggi    di Kebunagung,” tambahnya.

Sementara salah satu tokoh Sumenep asal Desa Batuampar Kecamatan Guluk-guluk, K. R. Abubakar, mengatakan, bahwa pada dasarnya Sumenep memang layak dikatakan sebagai jiwa maupun ikon Madura. Karena jika diibaratkan, Sumenep merupakan cermin Madura. “Sehingga siapa saja yang ingin melihat Madura, cukup melihat Sumenep saja,”katanya.

Abubakar beralasan, karena pada awal sejarahnya Sumenep merupakan pusat Madura. Itu bisa dibuktikan secara historis, bahwa pusat pemerintahan di Madura berawal dari dilantiknya Aria Wiraraja tahun 1269.

Namun tentu, penyebutan Sumenep sebagai ikon Madura tidak serta merta hanya diukur dari sudut usianya saja. Ia menambahkan, beberapa kriteria yang mendukung penyebutan tersebut.

Kalau kita lihat, budaya Sumenep itu majemuk. Hal itu juga dipengaruhi oleh beberapa hal, termasuk yang paling penting ialah agama. Nah, untuk yang disebut terakhir ini, kemajemukan Sumenep juga meliputi agama.

Itu bisa dilihat dari bangunan Klenteng di Pabian. Malah bangunan itu bersanding dengan bangunan gereja, dan bangunan Masjid di sisi jalan sebelahnya. Namun bisa kita lihat, masyarakatnya akur-akur saja.

“Kita lihat juga budaya-budaya seperti nyadhar, kemudian juga cahe, di sana sangat kaya dengan kemajemukan. Dan itu masih tetap lestari,”ujarnya panjang lebar.

Kemajemukan itu juga meliputi suku. Seperti yang diketahui, Sumenep memiliki gugusan pulau. Penghuninya tak hanya suku Madura. Ada suku Mandar, suku Bugis, suku Dayak (ini penulis temui di Kepulauan Masalembu), bahkan juga Batak dan Ambon. Kendati demikian, warisan-warisan lokal yang berupa tradisi dan budaya masih bisa bertahan. Masyarakat saling menghormati satu sama lain.

“Jadi semangat kemajemukan ini sangat banyak ditemui di Sumenep, sehingga layaklah Sumenep ini menjadi ikon Madura. Karena harus diingat, Indonesia itu majemuk. Dan tidaklah berlebihan, jika Sumenep yang merupakan miniatur Indonesia itu disebut sebagai ikon Madura,”tambah Abubakar sambil tersenyum.

Di tempat terpisah, Rifqil Izzah Ashfari, salah seorang mahasiswi asal Sumenep mengatakan bahwa penyematan Sumenep sebagai soul of Madura selama ini sangatlah tepat dan tak berlebihan.

Selama ini, terutama di luar Madura, stereotipe Madura agak angker. “Namun ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan kuburan-kuburan kuna dan angker yang ada di Madura,”kata Izzah tertawa kecil.

Stereotipe itu dikatakannya muncul akibat ulah sebagian oknum saja. Malah sangat tidak sampai sebagianpun, sehingga umum bagi orang luar Madura yang tidak kenal sebagian besar orang Madura, akan dengan mudah menyimpulkan bahwa karakteristik orang Madura tak jauh dari perilaku kasar, kurang ramah, kurang menyenangkan, bahkan kaku.

“Saya kira itu hanya masalah beda logat saja. Yang itu sangat dipengaruhi oleh faktor iklim dan geografis. Tapi, memang harus diakui, bahwa karakter orang Sumenep lebih halus. Itu jelas bisa terlihat dari logat bicaranya,”tambah dara yang menguasai bahasa Inggris hingga tingkat toefl ini.  ( Farhan/Esha/Fer/toeb )