- Oleh Wahyu Sudoyo
- Kamis, 24 April 2025 | 22:18 WIB
: Dirjen KPM Komdigi Fifi Aleyda Yahya dan Mederator Diskusi Andi Muslim (Amiri Yandi/Indonesia.go.id)
Oleh Wahyu Sudoyo, Jumat, 28 Februari 2025 | 15:05 WIB - Redaktur: Untung S - 573
Jakarta, InfoPublik – Upaya pemerintah dalam merumuskan regulasi untuk melindungi anak di ruang digital bukanlah hal baru. Proses ini dimulai sejak dua tahun lalu, tepatnya pada 2023.
Direktur Jenderal Komunikasi Publik dan Media (Dirjen KPM) Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkomdigi), Fifi Aleyda Yahya, menjelaskan bahwa langkah awal penyusunan rancangan regulasi pelindungan anak dimulai pada Juli hingga Agustus 2023.
“Pada 2023, kami memulai penyusunan draft awal mengenai pelindungan anak di ruang digital,” ujar Fifi dalam acara Diskusi Publik Pelindungan Anak di Ruang Digital yang diadakan di Kantor Kemkomdigi, Jakarta, pada Jumat (28/2/2025).
Di akhir tahun 2023, Kemkomdigi melanjutkan proses ini dengan melakukan harmonisasi serta menggelar rapat bersama kementerian dan lembaga terkait, seperti Kementerian Kesehatan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).
Pada 2024, Kemkomdigi meminta izin prakarsa untuk Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) ke Kementerian Sekretariat Negara. Kemudian, dilakukan harmonisasi dan pemantapan konsep regulasi tersebut.
Mendengarkan Langsung Pengalaman Anak-Anak
Pada 2025, Kemkomdigi lebih lanjut menggencarkan forum diskusi (FGD) dengan melibatkan berbagai pihak, termasuk akademisi dan praktisi. Mereka juga memberikan ruang bagi anak-anak untuk berbagi pengalaman mereka, terutama terkait pembatasan sosial media.
“Masukan dari para pakar dan siswa sekolah yang diundang sangat mewakili berbagai pemangku kepentingan. Kami juga mendengarkan langsung pengalaman anak-anak, terutama terkait pembatasan media sosial,” jelas Fifi.
Namun, Fifi juga mengakui adanya tantangan dari beberapa pihak yang merasa terganggu dengan pembatasan akses sosial media untuk anak-anak. Meskipun demikian, ia menegaskan bahwa pelindungan anak adalah prioritas.
“Nah, itu yang ingin kita kelola bersama. Tetapi kalau bicara soal perlindungan anak, kapan lagi kita harus melakukannya? Australia saja yang jumlah anaknya lebih sedikit dari Indonesia, sudah memiliki regulasi yang jelas,” tegasnya.
Literasi Digital Orang Tua yang Masih Rendah
Dalam kesempatan tersebut, Kreator Digital, Halimah, turut memberikan pandangan. Ia menyatakan bahwa ada pendapat yang menyebutkan sebaiknya pemerintah tidak merilis regulasi pembatasan akses internet untuk anak dan cukup mengandalkan peran orang tua yang membeli perangkat digital. Namun, Halimah menekankan pentingnya literasi digital, mengingat tingkat literasi digital anak-anak Indonesia, terutama yang berusia 15 tahun, masih sangat rendah.
Berdasarkan Program for International Student Assessment (PISA), hanya 30 persen anak-anak Indonesia yang dapat mencapai skor minimum dalam hal kemampuan logika dan pemikiran sistemik. Hal ini mencerminkan rendahnya literasi digital yang harus ditingkatkan, terutama di kalangan orang tua.
“Orang tua di Indonesia rata-rata memiliki tingkat pendidikan setingkat SMP dengan literasi digital yang rendah. Oleh karena itu, perlu ada kebijakan pemerintah untuk membantu mereka memahami bahaya adiksi digital dan interaksi dengan orang asing di dunia maya,” ujar Halimah.
Notifikasi untuk Konten Negatif Anak di Platform Digital
Sementara itu, Co-Founder Ayah ASI, Agus Tahmat Hidayat, mengusulkan agar platform digital atau Pengelola Sistem Elektronik (PSE) memberikan notifikasi jika terdapat unggahan konten yang melibatkan anak, guna mengantisipasi penyebaran konten negatif.
“Orang tua juga diharapkan tidak memanfaatkan anak sebagai sarana untuk mencari uang atau monetisasi di ruang digital. Kita harus melindungi kebebasan dan hak-hak anak-anak,” kata Agus.
Upaya pemerintah Indonesia dalam merumuskan regulasi untuk melindungi anak di ruang digital menunjukkan keseriusan dalam menciptakan lingkungan digital yang lebih aman bagi generasi muda. Dengan melibatkan berbagai pihak, termasuk anak-anak, diharapkan kebijakan ini dapat memberi dampak positif yang luas, tanpa mengabaikan kebebasan berinternet yang sehat.