- Oleh Dian Thenniarti
- Kamis, 7 November 2024 | 07:21 WIB
: Menteri PPPA Arifah Fauziah saat membuka seminar Srikandi Perempuan Dalam Kancah Politik. Foto : Kemen PPPA
Oleh Dian Thenniarti, Kamis, 7 November 2024 | 07:13 WIB - Redaktur: Untung S - 124
Jakarta, InfoPublik - Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Arifah Fauzi, menegaskan bahwa upaya meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen bukan hanya tentang memenuhi angka atau kuota 30 persen, tetapi juga tentang menciptakan parlemen yang benar-benar inklusif terhadap seluruh masyarakat Indonesia.
Menurut Menteri PPPA, perbedaan kebutuhan, pengalaman, dan perspektif antara perempuan dan laki-laki dapat memberikan referensi bagi legislator perempuan dalam meningkatkan kualitas kinerja lembaga legislatif, baik dalam fungsi legislasi, pengawasan, maupun penganggaran.
Arifah mengungkapkan, terdapat tren kenaikan keterwakilan perempuan di lembaga DPR RI. Jika pada Pemilu 2019 perempuan menduduki 120 kursi, maka pada Pemilu tahun ini, jumlahnya meningkat menjadi 127 kursi dari total 580 kursi yang tersedia.
"Ini menjadi catatan baik dalam upaya bersama untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen. Ini waktunya kita teruskan perjuangan bukan hanya untuk memenuhi kuota, dan bukan hanya dalam konteks kesetaraan gender, tetapi juga untuk menghasilkan parlemen yang lebih inklusif," ujarnya, sebagaimana dikutip InfoPublik pada Kamis (7/11/2024).
Arifah menambahkan bahwa meskipun angka keterwakilan caleg perempuan masih di bawah 30 persen, jumlah tersebut merupakan yang terbanyak dalam sejarah pemilu pasca-reformasi.
Dengan jumlah yang layak di parlemen, perempuan dapat menciptakan kebijakan yang lebih representatif. Kemen PPPA berkomitmen kuat untuk bersinergi dengan instansi pemerintah dan masyarakat sipil guna meningkatkan partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan, baik di sektor politik maupun profesional.
"Oleh karena itu, upaya peningkatan keterwakilan perempuan harus menjadi prioritas nasional, bukan sekadar bagian dari kesetaraan gender, tetapi juga langkah penting menuju demokrasi yang lebih baik," tambahnya.
Lebih lanjut, Arifah menyebutkan bahwa Pemilu 2024 meninggalkan pekerjaan rumah dalam memperjuangkan partisipasi perempuan yang lebih baik dalam politik. Pentingnya kebijakan afirmasi bagi perempuan, penguatan perlindungan hukum dalam bidang politik, dan pembangunan alat audit keamanan gender adalah beberapa agenda yang perlu diperjuangkan bersama.
Dalam hal Alat Kelengkapan Dewan (AKD), menurutnya, keberadaan legislator perempuan dalam AKD menjadi sangat penting untuk turut serta dalam pengambilan keputusan, mengingat AKD merupakan instrumen bagi DPR dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya.
"Komitmen partai politik terhadap keterwakilan perempuan dalam AKD menjadi sangat penting, mengingat peran strategis partai dalam menentukan pengisian anggota dan pimpinan AKD," ucapnya.
Terkait pelibatan perempuan dalam AKD ini, telah tercantum dalam Putusan MK No. 82/PUU-XII/2014, yang menyebutkan bahwa komposisi pimpinan AKD harus memenuhi keterwakilan perempuan berdasarkan perimbangan jumlah anggota tiap fraksi.
Dalam proses mekanisme internal DPR RI pasca pelantikan, pembentukan Alat Kelengkapan Dewan DPR RI terdiri dari 13 komisi dan 7 badan. Dalam periode 2019-2024, hanya 11 dari 87 pimpinan AKD yang merupakan legislator perempuan. Namun, dalam periode 2024-2029, keterwakilan perempuan meningkat menjadi 14 dari 70 pimpinan DPR dan komisi, serta 7 dari 35 pimpinan badan.
"Meskipun ada kemajuan, legislator perempuan tetap tidak terwakili di beberapa posisi strategis, termasuk pimpinan Badan Anggaran, Badan Legislasi, Badan Akuntabilitas Keuangan Negara, dan Mahkamah Kehormatan Dewan, serta di Komisi I, II, V, VIII, XI, dan XIII," ujar Arifah.
Sementara itu, Wakil Ketua MPR RI, Eddy Soeparno, menyampaikan pandangannya bahwa keterwakilan perempuan di parlemen tidak boleh dibatasi pada jabatan publik tertentu saja, serta harus ada kesempatan yang setara bagi perempuan. Hal ini sejalan dengan kebijakan affirmative action yang mengutamakan kesadaran bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan yang setara.
"Kepercayaan terhadap perempuan di jabatan eksekutif terbukti mampu dilaksanakan dengan baik. Sementara itu, di legislatif lahir beberapa rancangan undang-undang pro terhadap perlindungan perempuan yang telah konsisten diperjuangkan. Saat ini, membedakan jabatan laki-laki dan perempuan tidak lagi relevan, karena banyak yang membuktikan bahwa keterwakilan perempuan dalam berbagai bidang, terutama parlemen, telah mampu menghasilkan beberapa kebijakan inklusif," imbuh Eddy.