- Oleh Farizzy Adhy Rachman
- Senin, 25 November 2024 | 15:55 WIB
: Plt. Deputi Bidang Kesetaraan Gender Kemen PPPA Rini Handayani menyoroti soal jumlah kepemimpinan perempuan dalam Alat Kelengkapan Dewan (AKD). Foto : Kemen PPPA
Oleh Dian Thenniarti, Jumat, 18 Oktober 2024 | 18:45 WIB - Redaktur: Untung S - 189
Jakarta, InfoPublik – Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) mendorong peningkatan jumlah perempuan sebagai pimpinan Alat Kelengkapan Dewan (AKD) pada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI. Kepemimpinan perempuan dalam AKD sangat penting, karena posisi tersebut memegang fungsi strategis untuk mendorong proses legislasi yang mewujudkan keadilan gender.
"Posisi kepemimpinan dalam AKD memiliki fungsi strategis. AKD yang akan menentukan agenda legislatif, mengatur jalannya sidang, dan terlibat dalam pengambilan keputusan terkait substansi undang-undang. Oleh karena itu, penempatan perempuan dalam AKD menjadi penting agar dapat mendorong proses legislasi yang mendukung keadilan gender," ujar Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Bidang Kesetaraan Gender Kemen PPPA, Rini Handayani, pada Jumat (18/10/2024).
Rini menekankan bahwa peran perempuan dalam politik telah dijamin dalam Undang-Undang No. 7 tahun 2023 tentang Perpu No. 1 tentang Perubahan atas UU No. 7 tahun 2017 mengenai Pemilihan Umum, khususnya pada Pasal 173 Ayat 2 Butir e yang menyebutkan afirmasi 30 persen keterwakilan perempuan.
Meski demikian, Rini mengingatkan bahwa peran perempuan tidak seharusnya berhenti setelah terpilih sebagai anggota legislatif. Partisipasi perempuan di dalam AKD sangat penting untuk dikawal menjelang pemetaan jabatan. Sayangnya, masih ada kendala dalam implementasinya, di mana semakin tinggi jabatan strategis di politik, semakin rendah persentase perempuan yang menduduki posisi tersebut.
Menurut data Kemen PPPA pada tahun 2024, keterwakilan perempuan di DPR RI periode 2019-2024 baru mencapai 20,5 persen, yang belum memenuhi target afirmasi sebesar 30 persen. Lebih lanjut, keterwakilan perempuan dalam posisi pimpinan AKD pada periode tersebut hanya 12,5 persen atau 11 dari total 87 orang pimpinan AKD.
"Jika dilihat dari persentasenya, masih banyak posisi kepemimpinan perempuan yang kosong di AKD DPR RI, antara lain di Mahkamah Kehormatan Dewan, Badan Legislasi (BALEG), Badan Anggaran (BANGGAR), dan Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP). Posisi kepemimpinan perempuan terdapat di Badan Musyawarah (BAMUS), Badan Urusan Rumah Tangga (BURT), dan Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN)," ungkap Rini.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa berdasarkan sebaran partai politik, masih ada tiga partai yang tidak memiliki perempuan sebagai anggota kelengkapan dewan, yaitu Partai Demokrat, Partai Amanat Rakyat (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Rini menegaskan bahwa Kemen PPPA akan terus mengawal partisipasi perempuan di politik, khususnya di posisi strategis. Ke depan, revisi peraturan perundang-undangan terkait politik, pemilihan umum, dan pilkada akan diupayakan agar menciptakan sistem yang ramah terhadap perempuan.
Hal ini diperlukan untuk mendorong sistem politik dan tata kelola bernegara yang inklusif, bebas dari diskriminasi dan kekerasan, serta mendorong kebijakan afirmasi 30 persen keterwakilan perempuan di legislatif.
Asdep Pengarusutamaan Gender Bidang Politik dan Hukum Kemen PPPA, Iip Ilham Firman, menyatakan pentingnya mendorong keterwakilan dan kepemimpinan perempuan di politik, mengingat isu ini adalah perhatian global yang diupayakan oleh berbagai negara. Berdasarkan Global Gender Gap Index, posisi Indonesia di bidang pemberdayaan politik perempuan turun dari peringkat 81 pada 2023 menjadi 107 pada 2024.
"Kemen PPPA akan terus mendorong upaya pemberdayaan perempuan di politik. Kami sedang meninjau peraturan daerah (perda) yang diskriminatif, di mana saat ini masih terdapat ratusan perda yang perlu mendapat perhatian dari pemerintah dan legislatif. Kami juga perlu mendorong putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 82/PUU-XII/2014 yang menekankan perlunya perhatian terhadap kebijakan afirmasi pelibatan perempuan di politik," ucap Iip.
Sementara itu, Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, menyampaikan bahwa persentase anggota perempuan DPR RI periode 2024-2029 mengalami kenaikan menjadi 22 persen atau 127 perempuan dari total 580 anggota. Meski begitu, masih ada kekhawatiran terkait kurang proporsionalnya persebaran anggota perempuan di masing-masing komisi.
Pada periode 2019-2024, jumlah anggota DPR RI perempuan paling banyak terdapat di Komisi VIII sebanyak 17 orang, Komisi X ada 19 orang, dan Komisi IX ada 26 orang. Sementara itu, di Komisi I hanya ada 5 perempuan, Komisi II hanya ada 4, dan di Komisi III juga hanya 5 perempuan. Hal ini menunjukkan adanya komisi-komisi yang dianggap feminim, padahal semua komisi memerlukan keterwakilan perempuan yang memadai.
"Kita memahami bahwa perempuan cenderung ditempatkan di posisi tertentu atau pada isu-isu tertentu. Oleh karena itu, kita tidak bisa berhenti pada peran perempuan di politik atau kepemimpinan saja. Kita perlu memastikan bahwa partai politik mendistribusikan perempuan secara proporsional dan berimbang ke semua komisi," kata Titi.
Ia menambahkan bahwa keterwakilan perempuan lebih dari sekadar angka, tetapi juga berdampak pada substansi dalam parlemen. Tiga fungsi parlemen yang harus didorong adalah legislasi yang mendukung hak-hak perempuan, penganggaran untuk mewujudkan anggaran responsif gender, dan pengawasan.
Titi juga memberikan masukan kepada pemerintah untuk memberikan insentif lebih kepada partai politik yang mencalonkan kader perempuan pada pemilihan legislatif, dibandingkan dengan yang mencalonkan kader laki-laki. Langkah ini diharapkan dapat meringankan beban kampanye bagi partai politik sekaligus mendorong kebijakan afirmasi perempuan agar kuota pencalonan 30 persen dapat tercapai.