Ambliopia: Pentingnya Deteksi Dini untuk Cegah Kebutaan pada Anak

: Foto: Kemenkes


Oleh Putri, Jumat, 11 Oktober 2024 | 10:29 WIB - Redaktur: Untung S - 219


Jakarta, InfoPublik – Mata malas atau ambliopia merupakan salah satu penyebab utama hilangnya penglihatan. Jika tidak ditangani sejak dini, kondisi ini dapat berdampak buruk, termasuk risiko kebutaan di usia dewasa. Dokter Spesialis Mata RS Mata Cicendo, Dr. dr. Feti Karfiati Memed, SpM(K), MKes, menjelaskan bahwa ambliopia terjadi ketika otak tidak menerima rangsangan visual yang cukup dari mata.

“Hanya anak-anak yang bisa mengalami ambliopia. Jika tidak diobati pada masa anak-anak, kondisi ini dapat menyebabkan hilangnya penglihatan secara permanen,” ujar dr. Feti dalam wawancaranya dengan InfoPublik, Kamis (10/9/2024).

Ia menambahkan bahwa penyebab utama hilangnya penglihatan pada orang dewasa usia 20 hingga 70 tahun adalah ambliopia yang tidak tertangani dengan baik di masa kanak-kanak. Ambliopia umumnya disebabkan oleh kelainan refraksi yang tidak dikoreksi, strabismus atau mata juling, serta kelainan mata seperti katarak.

Pemeriksaan penglihatan pada usia sekolah sebenarnya bisa terlambat, karena ambliopia semakin sulit diobati setelah usia 5 tahun. Kehilangan penglihatan permanen dapat terjadi jika terapi baru dilakukan setelah anak berusia 8 hingga 10 tahun.

Menurut dr. Feti, anak-anak yang berisiko mengalami ambliopia antara lain mereka yang memiliki riwayat keluarga dengan strabismus atau mata juling, mata malas, atau yang sudah menggunakan kacamata sejak usia dini. "Riwayat medis seperti kelahiran prematur, perkembangan yang lambat, dan diabetes juga dapat meningkatkan risiko ambliopia. Selain itu, gejala seperti mata juling, mata berair, ptosis, dan penglihatan kabur perlu diperhatikan," tambahnya.

Skrining pada bayi baru lahir dianjurkan pada usia sekitar 35 bulan, atau antara usia 0 hingga 2 tahun, untuk mengetahui riwayat kesehatan, termasuk kondisi mata dalam keluarga.

“Cek penglihatan pergerakan mata, seperti adanya nistagmus (mata terus bergerak), posisi bola mata, apakah ada juling, serta pemeriksaan refleks kornea dan cover test untuk melihat adanya juling atau tidak,” jelas dr. Feti.

Skrining berikutnya dianjurkan pada usia 36 hingga 47 bulan, atau sekitar 3 hingga 4 tahun. Pada usia ini, anak diharapkan mampu mengukur ketajaman penglihatannya dan mengidentifikasi sebagian besar optotipe pada baris 20/50 di masing-masing mata.

Pemeriksaan dilakukan pada jarak 10 kaki (3 meter), dan mata yang tidak diperiksa harus tertutup dengan benar. Skrining selanjutnya dilakukan ketika anak berusia di atas 60 bulan atau 5 tahun. Anak diharapkan dapat mengidentifikasi sebagian besar optotipe pada baris 20/30 di setiap mata, dengan skrining ulang yang dianjurkan setiap tahun.

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi, menambahkan bahwa sebagian biaya perawatan untuk ambliopia atau kasus kesehatan anak lainnya dapat ditanggung oleh BPJS Kesehatan jika anak tersebut terdaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan.

Dalam rangka Hari Kesehatan Mata, Nadia mengingatkan pentingnya deteksi dini kesehatan mata, terutama pada anak-anak. "Peran guru di sekolah juga perlu diperkuat agar lebih memperhatikan kesehatan mata anak didiknya. Jika anak duduk pada jarak tertentu dan tidak bisa membaca, hal ini harus segera dikonsultasikan,” ujarnya.

 

Berita Terkait Lainnya

  • Oleh Putri
  • Senin, 25 November 2024 | 07:53 WIB
RS Harapan Kita Kembangkan Layanan Jantung yang Merata
  • Oleh Putri
  • Minggu, 24 November 2024 | 18:45 WIB
Pemerintah akan Penuhi Alat Kesehatan di RSUD Saiful Anwar
  • Oleh Putri
  • Minggu, 24 November 2024 | 18:43 WIB
Ini Strategi Pemerintah Indonesia Kendalikan Kanker Darah
  • Oleh Putri
  • Minggu, 24 November 2024 | 18:42 WIB
Deteksi Dini Kanker Jadi Bagian Program Skrining Kesehatan Nasional