- Oleh Putri
- Senin, 7 Oktober 2024 | 21:42 WIB
: Dokter Spesialis Anak RS Cipto Mangunkusumo dr. Nastiti Kaswandani mengatakan pneumonia akibat bakteri mycoplasma sering disebut sebagai walking pneumonia, lantaran gejalanya cenderung ringan sehingga pasien tidak perlu menjalani rawat inap di rumah sakit/Foto: Tangkapan Layar Youtube Kemenkes
Oleh Putri, Kamis, 7 Desember 2023 | 22:58 WIB - Redaktur: Taofiq Rauf - 88
Jakarta, InfoPublik - Dokter Spesialis Anak RS Cipto Mangunkusumo dr. Nastiti Kaswandani menegaskan tingkat fatalitas dan keparahan akibat bakteri Mycoplasma pneumoniae lebih rendah dibandingkan virus COVID-19.
“Tingkat keparahan maupun mortalitas (kematian) akibat Mycoplasma pneumoniae cenderung lebih rendah hanya 0,5 sampai dua persen, itu pun pada mereka dengan komorbiditas,” kata dr. Nastiti melalui keterangan resmi yang dikutip InfoPublik (7/12/2023).
Karena itu, pneumonia akibat bakteri mycoplasma sering disebut sebagai walking pneumonia, lantaran gejalanya cenderung ringan sehingga pasien tidak perlu menjalani rawat inap di rumah sakit dan cukup melakukan rawat jalan.
“Anaknya cukup baik kondisi klinisnya sehingga masih bisa beraktivitas seperti biasa, makanya sebagian besar kasusnya bisa dilakukan rawat jalan, pemberian obatnya secara minum, dan anaknya bisa sembuh sendiri,” dr. Nastiti.
Dokter Spesialis Paru RSUP Persahabatan Prof. Erlina Burhan menyebut bahwa pneumonia akibat bakteri mycoplasma sebenarnya bukanlah penyakit baru. Bakteri penyebab peradangan akut pada paru ini telah ditemukan dari lama, bahkan sejak periode 1930-an.
Namun, belakangan menjadi perhatian dan kewaspadaan dunia lantaran bakteri Mycoplasma pneumoniae diduga telah menyebabkan kenaikan kasus pneumonia di Tiongkok Utara dan Eropa yang mayoritas menyerang anak-anak.
Prof Erlina mengatakan karena bukan penyakit baru, pengobatan untuk Mycoplasma pneumoniae tidak susah dicari karena dapat ditemukan di Puskesmas dan dapat diperoleh menggunakan BPJS Kesehatan.
“Makanya, masyarakat tidak perlu panik karena penyakit ini sudah lama ditemukan di Indonesia,” kata Prof. Erlina.
Lanjutnya, yang terpenting saat ini adalah menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS). Menurutnya, hal tersebut adalah kunci utama pencegahan penyakit ini.
Selain itu, menurut Prof Erlina, masyarakat juga perlu mengikuti prosedur kesehatan seperti yang direkomendasikan WHO dan Persatuan Dokter Paru Indonesia (PDPI) untuk menurunkan risiko penyakit pernapasan.
Rekomendasi itu di antaranya melakukan vaksinasi terutama pada anak-anak, menjaga jarak dengan orang sakit, tidak bepergian saat sakit, pergi ke dokter dan mendapatkan perawatan bila dibutuhkan, memakai masker, memastikan kualitas ventilasi baik dan rutin cuci tangan.
“Kita harus waspada dan terapkan PHBS serta jangan panik,” kata Prof Erlina.