:
Oleh Wawan Budiyanto, Kamis, 16 November 2017 | 17:58 WIB - Redaktur: Juli - 330
Jakarta, InfoPublik - Sebanyak 84 profesor kelas dunia melakukan kolaborasi dengan sejumlah perguruan tinggi dan Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK) di Indonesia melalui program Visiting World Class Professor (WCP) 2017.
Program yang diinisiasi oleh Direktorat Jenderal Sumber Daya Iptek dan Dikti Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) ini bertujuan untuk memberikan kesempatan pada perguruan tinggi agar berinteraksi dengan institusi dan profesor berkelas dunia, meningkatkan kinerja dan produktivitas riset akademisi perguruan tinggi, serta meningkatkan peringkat perguruan tinggi untuk masuk 500 besar dunia.
Dalam rangka membagikan pelajaran penting (lesson learned) dari program Visiting World Class Professor 2017 serta sosialisasi WCP 2018, maka diselenggarakan seminar dengan menghadirkan tiga profesor berikut tiga perguruan tinggi penerima program.
Direktur Jenderal Sumber Daya Iptek Dikti, Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti) Ali Ghufron Mukti menjelaskan, penyelenggaraan program Visiting World Class Professor terbagi menjadi dua skema, yakni A dan B. Perbedaannya, yakni pada persyaratan perguruan tinggi pengusul dan profesor yang diundang.
Ghufron mengatakan, persyaratan skema A lebih berat, sedangkan skema B lebih sederhana, begitu pula dengan target output yang didapat juga lebih tinggi pada skema A.
"Sebagai contoh skema A diperuntukkan bagi perguruan tinggi dengan akreditasi A, sedangkan skema B dapat diikuti oleh minimal perguruan tinggi berakreditasi B. Begitu juga profesor yang diundang pada skema A harus ada minimal satu yang memiliki h-index Scopus minimal 25. Untuk skema B, profesor yang diundang cukup memiliki h-index minimal 5, dan diutamakan berpengalaman memimpin laboratorium riset atau editor jurnal internasional bereputasi," ujar Ghufron pada Pembukaan Seminar World Class Professor Tahun 2017 di Hotel Kartika Chandra, Jakarta, Kamis (16/11).
Ghufron mengungkapkan, skema A pada akhir program ditargetkan mampu menghasilkan sekurang-kurangnya enam manuskrip joint publication di jurnal internasional bereputasi Q1/Q2-SJR Scimago dalam status under review.
Sementara untuk skema B, minimal menghabiskan HaKI atau joint publication di jurnal internasional bereputasi, seperti Scopus, Reuters, dan Thomson dengan impact factor minimal 0,2. Adapun pada akhir kegiatan sudah dalam status under review atau HaKI sudah didaftarkan.
"Perlu diketahui bahwa program Visiting World Class Professor ini berbeda dengan Diaspora. Selain lebih banyak melibatkan profesor yang berasal dari luar negeri juga ada proposal yang diajukan. Sehingga perguruan tinggi di Indonesia sudah tahu berkolaborasi dengan siapa, termasuk dengan track record profesornya," sebut Ghufron.
Program WCP Tahun 2017 sendiri menarik minat yang besar dari para profesor dunia juga perguruan tinggi. Negara-negara asal profesor pada program ini datang dari berbagai penjuru dunia, seperti Korea Selatan, China, Inggris, Prancis, Australia, Jepang, Amerika, Denmark, Jerman, Selandia Baru, Arab Saudi, Kanada, Italia, Belanda, Taiwan, Rusia, Thailand, dan Malaysia.
Bahkan, program World Class Professor berhasil menghimpun 162 proposal. Namun, setelah diseleksi hanya ada 39 proposal yang lolos untuk berkolaborasi dengan 84 profesor dunia.
Hadir sebagai peserta Seminar World Class Professor adalah para jajaran pejabat di lingkungan Kemenristekdikti, Komisi VII dan Komisi X DPR RI, para pimpinan perguruan tinggi, dan para koordinator Kopertis Wilayah di Indonesia.
Adapun tiga profesor yang akan memaparkan penelitiannya, yakni Profesor Jean Louis Batoz dari Prancis yang melaksanalan program di UI, Profesor Paul Taylor dari Australia yang melaksanalan program di UGM, serta Profesor K. Honda dari Jepang yang melaksanakan program di IPB.