Pengelolaan RSPTN Diharapkan Dapat Mandiri

:


Oleh Wawan Budiyanto, Sabtu, 28 Oktober 2017 | 23:59 WIB - Redaktur: Juli - 321


Jakarta, InfoPublik - Peningkatan kualitas pendidikan tinggi dan pelayanan kesehatan merupakan satu kesatuan yang harus dijalankan secara sinergis. Mengingat Rumah Sakit Perguruan Tinggi Negeri (RSPTN) memiliki peran penting dalam pembangunan kesehatan bangsa, sekaligus berperan dalam upaya peningkatan daya saing tenaga kesehatan.

"Perguruan tinggi harus berinovasi dalam pengelolaan RSPTN," ujar Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir dalam keterangan tertulis yang diterima Infopublik, Sabtu (28/10) saat Kongres Inagurasi Asosiasi RSPTN di RS Universitas Airlangga (Unair) di Surabaya. 

Menurutnya, RS PTN juga diharapkan dapat menggandeng pihak swasta, namun kerja samanya tetap mengikuti ketentuan yang telah tetapkan Kemenristekdikti. "Dengan begitu, pengelolaan RS PTN dapat mandiri," ujar Menristekdikti.

Diperlukan harmonisasi kebijakan pelayanan kesehatan dan kebijakan pendidikan tinggi kesehatan untuk menghasilkan lulusan pendidikan tinggi kesehatan yang berkualitas, sehingga dapat meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan kepada masyarakat.

Kemenristekdikti telah menjalankan serangkaian program penataan sistem pendidikan tinggi kesehatan dalam upaya memperbaiki kualitas input, proses, dan output. Salah satu program yang dijalankan sejak 2007 adalah pengembangan Rumah Sakit Pendidikan (RSP) di beberapa Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang berpijak pada konsep dasar integrasi pendidikan, penelitian, dan pelayanan kesehatan untuk menghasilkan lulusan pendidikan tinggi kesehatan yang lebih berkualitas sekaligus meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

Rektor Unair Mohammad Nasih berkata, RS PTN dalam skema arsitektur kesehatan Indonesia, komponennya masih relatif baru. oleh karena itu, dalam mengembangkan misinya harus banyak yang dikoordinasikan. Jika tidak, akan terjadi disharmoni.

Urgensi pengembangan RSP di perguruan tinggi diperkuat dengan terbitnya UU No. 20/2013 tentang Pendidikan Kedokteran. Berdasarkan UU tersebut, setiap Fakultas Kedokteran (FK) dan Fakultas Kedokteran Gigi wajib memiliki RSP atau memiliki RS yang bekerja sama dengan RSP dan wahana pendidikan kedokteran, serta memenuhi standar nasional pendidikan kedokteran.

Hingga saat ini, telah dibangun 24 RS PTN yang pengelolaannya menjadi tanggung jawab PTN. Pada 2016, Kemenristekdikti dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) bersepakat membentuk Komite Bersama untuk peningkatan kualitas pendidikan, penelitian, dan pelayanan kesehatan.

Salah satu bidang prioritas Komite Bersama adalah program pengembangan dan pembinaan RS PTN yang berupaya mengharmonisasi berbagai peraturan terkait implementasi RS PTN dan berbagai peraturan teknisnya, juga melakukan pendampingan, serta Monitoring dan Evaluasi (Monev) implementasi RS PTN agar dapat beroperasi sesuai dengan fungsinya.

RS PTN didirikan untuk memperkuat fungsi pendidikan dan penelitian klinik yang berbasis pelayanan kesehatan. Proses pendidikan di RS PTN lebih ditekankan pada pendekatan pendidikan interprofesi kesehatan (inter-professional education) untuk menumbuhkan budaya kolaborasi di antara tenaga kesehatan, yang dimulai sejak menjadi mahasiswa.

Selain itu, RS PTN juga didorong untuk menjadi center of excellence dalam penelitian dan inovasi bidang kesehatan yang sesuai dengan kearifan lokal dan mampu memenuhi kebutuhan masyarakat. Dalam menjalankan fungsinya, RS PTN harus memiliki sarana dan prasarana untuk menunjang proses pendidikan dan penelitian yang sesuai standar, dengan tetap mengutamakan fungsi pelayanan kesehatan yang menjamin keselamatan pasien (patient safety).

Terkait hal ini, Komite Bersama telah menyusun pedoman RS PTN yang dapat menjadi rujukan bagi pimpinan PTN dalam mengimplementasikan RS PTN.

Direktur Utama RS Unair Nasronudin menyadari kompleksitas implementasi RS PTN dalam mengintegrasikan sistem manajemen PTN dan RS. "Masih banyak permasalahan terkait aspek legal kelembagaan organisasi, sistem manajemen SDM, sarana prasarana, dan keuangan, sehingga membutuhkan sinergi antara pimpinan PTN dan RS PTN, untuk selanjutnya berkoordinasi dengan berbagai pihak," ungkapnya.

Berdasarkan hasil Monev implementasi RS PTN, hingga saat ini, 13 RS PTN sudah beroperasi penuh, satu RS PTN dalam tahap persiapan operasional, dan 10 RS PTN dalam tahap pembangunan, dengan isu implementasi yang beragam. Inilah mengapa diperlukan wadah komunikasi, koordinasi, dan kolaborasi antarpimpinan RS PTN agar dapat berbagi pengalaman.

"Kami menyambut baik inisiasi dari para direktur RS PTN untuk membentuk Asosiasi RS PTN. Asosiasi ini, bisa saling berbagi good practices, maupun lesson learned, juga diharapkan dapat menjadi think tank dalam merumuskan berbagai kebijakan dan solusi atas berbagai isu terkait program pengembangan RS PTN, termasuk dalam Academic Health System," harap Menristekdikti. 

Kemenristekdikti meminta Asosiasi RS PTN dapat bersinergi dengan pemangku kepentingan terkait, khususnya Asosiasi Rumah Sakit Pendidikan Indonesia (ARSPI) yang menaungi seluruh RSP, Asosiasi intitusi pendidikan, dan organisasi profesi, dalam upaya memperkuat kolaborasi antara RS PTN dengan FK dan fakultas lainnya, serta RSP yang telah digunakan sebagai RSP utama maupun jejaring.

Kemenristekdikti senantiasa mendukung dan memfasilitasi implementasi program inovatif dari Asosiasi RS PTN dalam upaya mengawal misi apeningkatan kualitas pendidikan, penelitian, dan pelayanan kesehatan yang berkelanjutan, secara bersama-sama, demi meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.