Pengolahan Tambang Emas Rakyat Diminta Tidak Gunakan Merkuri

:


Oleh G. Suranto, Rabu, 5 April 2017 | 18:08 WIB - Redaktur: Juli - 914


Jakarta, InfoPublik – Direktur Pusat Teknologi Sumberdaya Mineral Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Dadan M. Nurjaman mengatakan, pihaknya terus mendorong agar pengolahan tambang emas rakyat tidak memakai merkuri. 

Pada tahun 2016/2017 pihaknya telah melakukan survei untuk proses penyusunan detail engineering design, dan sudah datang mengunjungi lokasi penambangan emas skala kecil atau pertambangan rakyat.

"Umumnya mereka menyambut gembira, selama ada teknologi alternatif pengganti merkuri, mereka akan meninggalkan merkuri,” kata Dadan usai acara jumpa pers di BPPT, Rabu (5/4).

Menurutnya, yang diperlukan saat ini adalah kerja nyata, dengan menunjukkan di tambang rakyat ada teknologi selain merkuri yang lebih menguntungkan, dan ramah lingkungan.

Tahun 2017 ini, pihaknya akan melakukan uji coba pengelolaan penambangan emas tanpa merkuri di Pacitan dan Banyumas, bekerja sama dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (SDM).

Disebutkan, penggunaan merkuri di pertambangan rakyat telah menimbulkan dampak pencemaran yang sangat berbahaya. Bukan saja bagi kesehatan penambang, tapi juga berdampak pada kesehatan keluarga terutama anak-anak, serta masyarakat yang hidup di sekitar tambang.

Dijelaskan, Merkuri tergolong logam yang berbahaya dan beracun. Dengan tingkat bahaya tidak hanya bagi si penambang namun juga lingkungan.

"Bagi penambang, dari proses penguapan atau pembakaran merkuri, biasanya menghasilkan uap. Uap itu apabila dihirup maka sangat berbahaya untuk jangka panjang," ungkapnya.

Selain itu, dapat merusak sistem syaraf dan kelumpuhan, serta dapat menyebabkan kematian. Salah satu bahaya merkuri adalah penyakit Minamata atau Sindron Minamata.

Dikutip dari Wikipedia, Sindron Minamata adalah sindrom kelainan fungsi syaraf yang disebabkan oleh keracunan akut air raksa. Gejala-gejala sindrom ini seperti kesemutan pada kaki dan tangan, lemas-lemas, penyempitan sudut pandang dan degradasi kemampuan berbicara dan pendengaran.

Pada tingkatan akut, gejala tersebut biasanya memburuk disertai dengan kelumpuhan, kegilaan, jatuh koma dan akhirnya meninggal. Pada tahun 1950, tiga ribu terdampak Sindrom Minamata. Dari jumlah itu, 1.780 orang meninggal.

Adapun untuk lingkungan, limbah merkuri di buang ke laut, sungai, atau terserap kemudian ikan menjadi terkontaminasi. Begitu pula merkuri dibuang dan diserap oleh tanah. Tanpa disadari, distribusi pencemaran merkuri sudah dianggap tanpa batas, artinya melebar kemana-mana. Tidak hanya terbatas di daerah itu saja, tetapi melebar jauh ke perairan bebas, bahkan internasional. Pencemaran di Indonesia mengakibatkan pencemaran di dunia.