Gangguan Pendengaran Tertinggi Diderita Kelompok Usia Sekolah

:


Oleh Dian Thenniarti, Kamis, 2 Maret 2017 | 09:41 WIB - Redaktur: Juli - 2K


Jakarta, InfoPublik - Gangguan pendengaran dan ketulian dikalangan anak usia sekolah menjadi ancaman utama saat ini di Indonesia, sering terpapar suara keras atau bising menjadi salah satu faktor pemicunya.

Ketua Komnas Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian (PGPKT) Damayanti Soetjipto mengungkapkan, ancaman saat ini adalah ketulian dikalangan anak usia sekolah akibat pemakaian iPod berlebihan, dan pada balita akibat bising di tempat hiburan/permainan di mal-mal kota besar.

"Tempat main anak dijumpai di semua mall di Indonesia, merupakan tempat bermain yang menarik, terutama bagi anak-anak. Namun celakanya, justru di tempat ini banyak permainan mengeluarkan bunyi yang keras yang dapat merusak pendengaran anak," kata Damayanti, saat temu media di Kemenkes Jakarta, Rabu (1/3).

Berdasarkan hasil pengukuran suara permainan di sejumlah tempat bermain anak di mall yang dilakukan di 16 kota besar menunjukkan angka 96.1 desibel hingga 128 desibel. Padahal batas aman tingkat kebisingan atau bunyi yang keras maksimal hanya 80 desibel. Tingkat kebisingan mulai 85 desibel sudah disarankan memakai alat pelindung pendengaran.

"Bisa dibayangkan dampak yang akan terjadi pada anak dan balita yang sering main di tempat bising ini. Mereka akan mengalami tuli permanen yang tidak bisa diperbaiki. Sering mengajak anak ke tempat semacam ini berisiko menyebabkan cacat pendengaran. Dengan dampak gangguan penyerapan ilmu yang akan mengganggu pembinaan masa depan," ujar Damayanti.

Sementara dikalangan remaja dan siswa SMK, penyakit tuli justru sering dijumpai akibat kebiasaan mendengar alat musik digital sepanjang hari dengan suara keras dan penggunaan alat praktek tidak sesuai prosedur tingkat keamanan menjadi pemicunya.

Oleh karena itu, Komnas Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian telah menyiapkan sejumlah program khusus sebagai langkah pencegahan mengatasi masalah penyakit ketulian ini. Diantaranya adalah dengan kegiatan Indonesia BBT (Baksos Bersih Telinga) siswa SD.

"Dampak yang dihasilkan dari kegiatan ini cukup luar biasa. Pasca dibersihkan telinganya, anak-anak menjadi lebih ceria dan percaya diri, dan lebih cerdas karena ilmu yang disampaikan guru dapat diterima dengan baik," katanya.

Selanjutnya, dengan mengadakan vaksinasi Rubella Nasional, dan deteksi dini tuli kongenital. Menggalakkan kampanye Remaja Sadar Bising, sosialisasi bahaya bising pada remaja dan dewasa muda, serta pemberian informasi terkait cara mendengarkan musik secara aman, yakni dengan membatasi volume iPod pada batas aman 60 persen dari volume maksimal dengan maksimum waktu mendengarkan selama 60 menit; menggunakan earphone khusus yang dapat memblokir suara background yang tidak diinginkan (ini mengurangi perlunya mengeraskan volume).

Menurut Damayanti, hasil survei bising mesin praktek di SMK yang tersebar di 14 kota di Indonesia cukup mengejutkan, dimana alat-alat praktek yang digunakan para siswa SMK memiliki tingkat kebisingan yang cukup tinggi, dengan rata-rata mencapai lebih dari 100 desibel, seperti mesin gergaji bundar, gerinda, kompresor, dan sebagainya.

Hasil survei menyatakan, anak-anak SMK ini mengalami gangguan pendengaran ringan sampai sedang. Hal ini beresiko menurunkan penyerapan ilmu. "Pada siswa SMK ini kami sarankan penggunaan earmuff (pelindung telinga) saat melakukan praktek dengan tingkat kebisingan diatas 80 desibel," ungkapnya.

Damayanti juga menambahkan, populasi yang beresiko tinggi tuli akibat bising, juga ditemui pada pekerja pabrik/industri; pemusik; tempat keramaian (diskotik, karaoke, dll); Abri dan Polisi, dan para pegawai yang bekerja di tempat hiburan/permainan anak.

Untuk diketahui, berdasarkan data WHO, 5,3 persen atau 360 juta penduduk dunia terkena gangguan pendengaran, dimana setengahnya atau 180 juta lebih berada di Asia Tenggara, termasuk Indonesia yang menduduki tempat ke-4 setelah Srilanka, Myanmar, dan India.

Data Indonesia menunjukkan prevalensi ketulian cukup tinggi (4.6 persen). Penyakit telinga 18.5 persen, gangguan pendengaran 16.8 persen, dan ketulian berat 0.4 persen, dimana populasi tertinggi di kelompok usia sekolah (7-18 tahun).

Selanjutnya, WHO menyebutkan bahwa bayi lahir tuli (tuli kongenital) berkisar 0.1-0.2 persen, sehingga diperkirakan ada 6.500 bayi tuli di Indonesia per tahun. Bayi-bayi ini beresiko menjadi anak tunarungu wicara, gangguan kualitas akademik dan SDM. Jika tidak ditolong, mereka akan menjadi warga negara dengan masa depan suram.

Namun begitu, Damayanti mengatakan, 50 persen gangguan pendengaran ini dapat dihilangkan melalui upaya pencegahan dan pengendalian lima penyakit, yakni Congek (OMSK), tuli kongenital (sejak lahir), tuli akibat bising, presbikusis (tuli orang tua), dan serumen (kotoran telinga).

Pemerintah sendiri menargetkan, di tahun 2020, 70 persen gangguan pendengaran dapat diturunkan, dan 90 persen masyarakat akan bebas dari ketulian pada tahun 2030.