Pelaku Penyebar Konten Porno di Sekolah Harus Diproses Hukum

:


Oleh Yudi Rahmat, Senin, 27 Februari 2017 | 14:32 WIB - Redaktur: Juli - 1K


Jakarta, InfoPublik - Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menyebutkan selama satu tahun terakhir terjadi banyak kasus penyebaran konten porno di sekolah namun tidak ada satu kasus pun yang diproses secara hukum.

"JPPI berharap penegak hukum memberikan efek jera terhadap pelaku penyebaran konten porno di sekolah, karena kasus serupa terus berulang seperti yang terjadi di Jambi, Bali, Samarinda, Pasaman, Bogor, Tangerang Selatan, dan DKI Jakarta," kata Koordinator Nasional JPPI Ubaid Matraji, di Jakarta, Senin (27/2).

Ia menilai, penyelesaian kasus selalu sama hanya dengan penerbit meminta maaf lalu selesailah perkara. Namun yang terjadi kemudian adalah kasus serupa kembali terjadi dengan modus yang tak jauh berbeda. "Karena tidak ingin terulang lagi, kasus ini harusnya jadi pelajaran bersama dan dicarikan jalan keluar yang terbaik," ujarnya.

Selain itu JPPI minta, pelaku dan siapapun yang terlibat harus dihukum, dan harus ada penyelidikan secara komprehensif mulai dari penulis, penerbit, distributor, dan pihak sekolah. Dari langkah ini, ada banyak hal yang akan ditemukan. Misalnya, dari sisi penulis, perlu ada penyelidikan lebih lanjut mengapa dia sampai menulis buku dengan konten seperti itu. "Karena ketidaktahuan, atau kesengajaan, atau malah ada motif lain, ini penting untuk diketahui oleh publik," ungkapnya.

Menurutnya, konten porno di buku sekolah ini memang agak tarik-ulur dan belum jelas duduk perkaranya. Dalam beberapa kasus, definisi porno agak kabur.

"Ketika JPPI melakukan investigasi pada beberapa buku yang diduga bermuatan konten porno, ada beberapa kalangan yang mengatakan, termasuk kategori porno. Sementara sebagian yang lain mensinyalir bahwa ini tidak masuk kategori porno, tapi bagian dari pendidikan seks di sekolah. Mana yang lebih tepat Ini perlu diinvestigasi lebih dalam," ungkapnya.

Lebih lanjut dikatakan, diluar perdebatan tersebut ternyata memunculkan pertanyaan publik ikhwal pendidikan seks di sekolah. Hal ini menurutnya, penting untuk diperhatikan, sebab kasus pelecehan dan kekerasan seksual juga kerap terjadi bahkan pelakunya tidak jarang berasal dari lingkungan sekolah.

"Ini disebabkan karena lemahnya pengawasan dan juga ketidaktahuan si korban terhadap pengetahuan seksual, karena itu, JPPI memandang penting bahwa pendidikan seks harus dimasukkan dalam kurikulum sekolah," ujarnya.

Dalam Kurikulum 2013 lalu, pemerintah pernah mengklaim bahwa pendidikan seks sudah dimasukkan dalam kurikulum tersebut. Tapi, belum kelihatan secara pasti model pendidikan seks di sekolah itu seperti apa. Apalagi, pemberlakuan kurikulum 2013 sudah kandas di tengah jalan.

Sehingga hal ini dinilai menambah kegelisahan masyarakat soal model pendidikan seks di sekolah. Karena itu, JPPI menegaskan dan meminta pemerintah untuk merumuskan model pendidikan seks di sekolah dan memasukkan ke dalam kurikulum.

Selain itu, dari sisi penerbit tidak boleh menutup mata terhadap buku yang diterbitkan. Sebab, sudah menjadi maklum, bahwa penerbit punya visi dan hanya akan menerbitkan buku-buku yang sejalan, jadi tidak menerbitkan semua jenis buku bacaan.

"Karena itu, menjadi salah dan tidak bisa diterima logika yang mengatakan tidak tahu-menahu tentang konten buku yang diterbitkan. Begitu pula dengan pihak sekolah, harus ada penyelidikan yang tuntas, apakah ada keterlibatan atau tidak," katanya

Menurutnya,  dalam aturan hukum sudah jelas, ancaman terhadap kasus ini diatur dalam Pasal 29 UU 44/2008 tentang pornografi yaitu pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250 juta dan paling banyak Rp6 miliar.

"JPPI menyerukan untuk mengganjar para pelaku dan pihak-pihak yang terlibat dengan hukuman yang setimpal, serta mendesak pemerintah untuk memasukkan dan membenahi hal ini," pungkasnya.