BPJS Ketenagakerjaan Gelar Journalistic Award 2016

:


Oleh H. A. Azwar, Jumat, 16 Desember 2016 | 10:49 WIB - Redaktur: Gusti Andry - 1K


Jakarta, InfoPublik - BPJS Ketenagakerjaan Journalists Club (BPJSTKJC) dan Humas BPJS Ketenagakerjaan menyelenggarakan BPJS Ketenagakerjaan Journalistic Award 2016 dalam rangkaian peringatan hari lahir PT Jamsostek (Persero), sebagai embrio BPJS Ketenagakerjaan, yang ke-39 pada 5 Desember 2016.

Menurut Kepala Divisi Komunikasi BPJS KetenagakerjaanAbdul Latif Algaff di Jakarta, Jumat (16/12), lomba ini mengambil tema “Persiapan Diri Menjelang Hari Tua”. Peserta lomba adalah wartawan media cetak dan online dengan hasil tulisan dimuat di media masing-masing mulai 10 November 2016 sampai dengan 26 Desember 2016 dengan bukti tulisan diserahkan kepada panitia paling lambat pada 26 Desember 2016.

Persyaratan tulisan minimal 3.000 karakter, belum pernah dilombakan dan bukan tulisan pariwara (advetorial), serta diserahkan dalam bentuk hard copy dan soft copy ke Bagian Humas BPJS Ketenagakerjaan Lantai IV, Gedung Kantor BPJS Ketenagakerjaan Jl. Gatot Subroto No.79, Jakarta Selatan 12930. Pengiriman file materi lomba ke: panitiabpjstkja2015@gmail.com atau ke panitiabpjstkja2016@gmail.com.

Para juri pada lomba karya tulis ini adalah oleh pihak-pihak independen yang merupakan pakar dan praktisi dalam hal jaminan sosial, seperti: Ahmad Kurnia Soeriawidjaja, Wartawan Senior dan Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi The London School of Public Relations; Naufal Mahfudz, Direktur Umum dan SDM BPJS Ketenagakerjaan; Abdul Latief Algaff, Kepala Divisi Komunikasi BPJS Ketenagakerjaan; dan Ridwan Max Sijabat, Wartawan Senior The Jakarta Post.

Salah satu dinamika yang ada di BPJS Ketenagakerjaan, sekaligus melatarbelakangi diselenggarakannya  BPJS Ketenagakerjaan Journalistic Award 2016 adalah perubahan regulasi terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Hari Tua (JHT) yang berlaku pada 1 Juli 2015.  Perubahan regulasi memungkinkan pekerja mencairkan dana JHT tanpa melihat masa kepesertaan peserta yang sebelumnya diatur selama lima tahun satu bulan.

Berlakunya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 60 Tahun 2015 tentang Perubahan atas PP Nomor 46 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program JHT yang isinya pengambilan JHT dapat dilakukan sebulan setelah tidak bekerja atau sebulan setelah mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) menjadi faktor utama meningkatnya permintaan klaim JHT di hampir seluruh Kantor Cabang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan.

Secara otomatis tingginya lonjakan antrian peserta yang ingin mengajukan klaim JHT tersebut tentu saja cukup merepotkan bagi petugas hampir di sejumlah Kantor Cabang BPJS Ketenagakerjaan di seluruh Indonesia. Bahkan ada sejumlah kantor cabang yang terpaksa membuka pelayanan pada Sabtu-Minggu untuk mengurai antrian yang cukup panjang tersebut.

Sejatinya, filosofi JHT yang diselenggarakan oleh BPJS Ketenagakerjaan adalah sebagai tabungan bagi pekerja saat memasuki usia pensiun, yang sangat penting untuk kesejahteraan para pekerja di masa tuanya.  Namun, akibat turunnya Permenaker Nomor 19 Tahun 2015, peserta berbondong-bondong mencairkan JHT sebelum waktunya.

Fakta yang terjadi saat ini, sebanyak lima persen dari para pekerja yang mengundurkan diri dan mencairkan JHT, kembali bekerja. Dari 42.041 peserta yang bekerja kembali setelah mencairkan JHT, ternyata sebanyak 6.003 kembali bekerja di perusahaan yang sama, sementara sisanya bekerja di perusahaan lain, sehingga tabungan masa depan mereka dihabiskan, padahal tabungan itu sangat berguna bagi mereka di masa pensiun nanti.

Fakta lainnya, pencairan dana JHT didominasi oleh peserta dengan masa kepesertaan satu tahun hingga lima tahun dan lima tahun hingga 10 tahun, di mana para peserta tersebut berada dalam usia produktif mereka untuk bekerja. Sementara di sisi lain, saldo JHT para pekerja berbanding lurus dengan masa kepesertaan yang mana akan dirasakan signifikan saat masa kepesertaan mencapai minimal 20 tahun.

Dilihat dari kelompok kerja, rata-rata peserta non aktif memiliki saldo yang relatif kecil dibanding kelompok kerja lainnya. Kesimpulannya adalah tenaga kerja non aktif berasal dari golongan yang memiliki upah rendah.

Di luar dinamika JHT tersebut, seluruh pekerja di Indonesia mempunyai hak yang sama untuk memiliki jaminan sosial. Perlindungan menyeluruh BPJS Ketenagakerjaan akan mampu mengakomodir para pekerja di Indonesia agar merasa aman dan tenang dalam bekerja.