OPSI: Ungkap Kehadiran Perempuan Dalam Kerja Paksa

:


Oleh H. A. Azwar, Selasa, 4 Oktober 2016 | 12:21 WIB - Redaktur: R. Mustakim - 1K


Jakarta, InfoPublik - World Economic Forum (WEF) baru saja merilis Global Competitiveness Index (GCI) atau Indeks Daya Saing Global tahun 2016-2017. Posisi atau peringkat GCI Indonesia tahun 2016-2017 ini mengalami penurunan yaitu dari peringkat 37 ke peringkat 41.

Terkait hubungan industrial, Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar mengungkapkan bahwa penurunan GCI  ini juga dikontribusi oleh poin kerjasama bipartit (cooperation in labor - employer relation) yang masih di posisi skor 4.7, naik 0.1, skor tahun lalu 4.6).

Secara umum Pilar Labor Market Efficiensy memiliki skor 3.8. Hal ini diperberat dengan skor kehadiran perempuan di kerja paksa (female participation in the labor force) yang memiliki skor 0.61.

Selama ini tidak pernah diuangkap adanya fakta tentang kehadiran perempuan dalam kerja paksa, kata Timboel di Jakarta, Selasa (4/10).

Fakta kerja paksa ini menurutnya harus diungkap oleh Kementerian Ketenagakerjaan ke publik dan harus dihapuskan. “Pengawas Ketenagakerjaan harus pro aktif untuk menghapuskan kerja paksa,” kata Timboel.

Menurutnya, kerja sama antara pengusaha dan pekerja bisa dijalin dan ditingkatkan bila ada pemahaman yang baik dari keduanya tentang hubungan industrial di tempat kerja.

Kemnaker kata dia mempunyai tanggungjawab untuk mensosialisasikan hubungan industrial kepada pengusaha dan perkerja, namun hal ini terkendala dengan alokasi dana yang rendah kepada Kemnaker melalui Ditjen PHI dan Jamsos. “Ke depan alokasi APBN untuk ini harus ditingkatkan,” ujarnya.

Tentunya, Timboel menyebut, penetapan upah yang fleksibel (flexibility of wage determination) juga masih di skor 4.3 (sama seperti skor tahun lalu). Kehadiran PP 78/2015 khususnya pasal 44 dan 45 lalu belum menjadi regulasi yang mampu mendongkrak skor labor market efficiency khususnya tentang penetapan upah minimum. Padahal Pasal 44 dan 45 ini terus menuai protes dari banyak pekerja dan SP/SB.

Timboel yang juga Koordinator Advokasi BPJS Watch menilai menarik untuk melihat skor pilar Health and Primary Education yang skornya turun dari 5.6 di tahun lalu menjadi 5.3 di tahun ini, sehingga peringkatnya turun 20 peringkat dari peringkat 80 menjadi peringkat 100 tahun ini.

Dari item-item pengukuran kesehatan yaitu tentang malaria, TBC, HIV AIDS dan kematian bayi dan usia harapan hidup, tampak bahwa upaya pada item-item tersebut berfokus pada proses preventif dan promotif dari Kemenkes dan BPJS kesehatan.

Penurunan skor tersebut disebabkan oleh upaya preventif dan promotif yang menurun. Seharusnya upaya preventif dan promotif mendapat perhatian khusus dan mendapatkan alokasi dana yang mumpuni. Namun saat ini sepertinya preventif dan promotif belum menjadi fokus kerja Kemenkes dan BPJS Kesehatan, beber Timboel.

Demikian juga dengan pilar Higher Education and Training, Timboel melihat skor untuk pelatihan para karyawan masih sebesar 4.5, tidak berbeda dari skor tahun lalu.

Tidak adanya peningkatan pada skor tersebut karena program-program pelatihan belum menjadi fokus pemerintah saat ini. Kualitas kurikulum dan BLK yang belum nge-link dengan kebutuhan industri menyebabkan skor pelatihan hanya di angka 4.5. Pemerintah harus mendukung proses pelatihan ini. Pemerintah harus meningkatkan alokasi APBN untuk proses-proses pelatihan ini.

Timboel pun mengingatkan bahwa penurunan GCI kita menjadi warning bagi pemerintah. Pasalnya paket kebijakan ekonomi yang telah dirilis pemerintah ternyata belum mampu mendukung GCI kita tahun ini.

Ada yang salah tentunya. Pemerintah jangan hanya merilis Paket Kebijakan Ekonomi tanpa pernah melakukan pengawasan dan penegakan hukum, tukas Timboel.