Sasaran Pembangunan Peningkatan 2.000 Desa Mandiri

:


Oleh G. Suranto, Kamis, 22 September 2016 | 08:44 WIB - Redaktur: Gusti Andry - 1K


Jakarta, InfoPublik - Sasaran pembangunan desa dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 adalah indikator penurunan desa tertinggal sampai 5.000 desa hingga 2019 dan peningkatan desa mandiri sedikitnya 2.000 desa.

“Jadi pada tahun 2019 mendatang ada sekitar 2.000 desa mandiri, sesuai rencana pembangunan kita,” kata Direktur Daerah Tertinggal, Transmigrasi dan Perdesaan, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Sumedi Andono Mulyo
saat memberikan paparannya pada acara Focus Group Discussion tentang pemetaan desa yang dilaksanakan di Gedung BPPT, Rabu (21/9).

Disebutkan, indikator penurunan tahun 2015 sampai 500 desa, 2016 sampai 1.000 desa, 2017 sampai 1.500 desa, 2018 sampai 1.500 desa, dan 2019 sampai 500 desa. Kemudian, peningkatan desa mendiri, tahun 2015 sedikitnya 200 desa, 2016 sedikitnya 400 desa, 2017 ada 600 desa, 2018 sedikitnya 600 desa, dan 2019 sedikitnya 200 desa.

Sementara sasaran pengembangan kawasan perdesaan keterkaitan desa-kota 2015-2019, indikator peningkatan desa-kota untuk memperkuat pusat-pusat pertumbuhan sebagai pusat kegiatan wilayah (PKW) atau pusat kegiatan lokal (PKL), sampai 2019 ada 39 pusat pertumbuhan yang akan diperkuat perannya.

Rinciannya, 2015-2016 ada 13 pusat pertumbuhan yang akan diperkuat perannya antara lain di Banyuwangi, Barru, Kwandang, Marabahan, Merauke, Pamekasan, Pinrang, Praya, Raba, Sumbawa Besar, Tabanan dan Pesisir Selatan.

Tahun 2017 ada 14 pusat pertumbuhan yang diperkuat pertumbuhannya antara lain Batik Nau, Bula, Buol, Cibaliung, Kolonedale, Misool, Pangkalan Bun, Peureulak, Poso, Sambas, Sidikalang, Tanjung Pandan, Tanjung Siapi-api, dan Wangi-Wangi.

Kemudian tahun 2018 ada 13 pusat pertumbuhan yang diperkuat, antara lain Arso, Daruba, Endalabuan Bajo, Maba, Mamuju, Manokwari, Memuji, Raha, Rasau Jaya, Sangata, Sukadana, Tanjung Redep. Kemudian tahun 2019 diadakan evaluasi lokasi.

Ia menambahkan, dalam pemenuhan sistem informasi desa berbasis spasial masih banyak masalah yang dihadapi, antara lain belum ada satu platform nasional yang terkoneksi online, dan perbedaan konten desa.

Disamping itu, belum ada penyepakatan jenis data: free open access dan closed access, terkait administrasi penyelenggara pemerintah desa, potensi desa, dan tidak adanya sarpras energi kelestrikan, serta keterbatasan ketersediaan pendanaan dalam penyediaan sistem informasi desa (SID) berbasis spasial.

Untuk itu, kata dia, perlu keperpaduan SID berbasis spasial dalam mendorong upaya percepatan pembangunan desa, dan perlu ada kesamaan format SID namun tetap sesuai dengan karakteristik, kebutuhan dan potensi lokal desa.

Disamping itu, juga perlunya penggunaan teknologi SID yang friendly user atau tidak rumit bagi desa, serta keberlanjutan komitmen dan penganggaran dibutuhkan dalam penyediaan SID berbasis spasial.