Menristekdikti : Industri Butuh Insentif untuk Tingkatkan Dana Riset

:


Oleh Astra Desita, Jumat, 16 September 2016 | 09:44 WIB - Redaktur: Gusti Andry - 369


Jakarta, InfoPublik - Meskipun setelah dihitung kembali anggaran belanja riset dan pengembangan (Litbang) Indonesia mengalami kenaikan dari 0,09 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) menjadi 0,20 persen tahun 2015, alokasi belanja riset swasta dinilai masih minim dan perlu digenjot.

Sebabnya, saat ini prosentase alokasi dari 0,20 persen itu, sektor swasta baru menyumbang 0,05 persen dan sisanya 0,15 persen pemerintah.

“Industri masih enggan mengeluarkan dana riset. Oleh sebab itu, pihaknya mengusulkan kepada Kementerian Keuangan (Kemenkeu) adanya insentif bagi industri yang mengalokasi dana riset hingga mencapai inovasi melalui double tax reduction,” tutur Menristekdikti Mohamad  Nasir dalam konferensi pers Mengenai Belanja Research & Development (R&D) Belanja  Indonesia di Gedung Kemristekdikti Senayan, Jakarta, Kamis, (15/9).

Perusahaan kata dia tidak menganggap penelitian penting. Mereka lebih senang mengadopsi dari luar negeri dibanding mengembangkan sendiri. “Perilaku ini perlu kita geser dengan usulan double tax reduction,” tegasnya.

Terkait penghitungan kembali belanja riset, selain menghitung belanja riset dari APBN, APBD, swasta dan alokasi belanja pegawai yang sebelumnya tidak dihitung.

Walaupun mengalami kenaikan rasionya, jika dibandingkan negara tetangga lainnya, anggaran belanja riset Indonesia, dinilai belum ideal di posisi 1 persen dari PDB. Di Malaysia, lanjut Nasir, lebih dari 1 persen, Singapura 2,1 persen, Thailand 0,25 persen, Amerika Serikat 2,8 persen bahkan Korea Selatan 4 persen dari PDB. “Sejumlah negara juga telah menerapkan insentif double tax reduction. Bahkan Malaysia menerapkan hingga 300 persen,” jelasnya.

Moh Nasir mengatakan, pemerintah pun akan mengoptimalkan riset. Penghematan anggaran ditujukan pada kegiatan yang tidak memberi nilai tambah, sehingga pemotongan tidak mempengaruhi penelitian.

"Riset dan inovasi yang dihasilkan pun harus disesuaikan pada kebutuhan masyarakat dan industry,” tuturnya.

Sementara itu Direktur Jenderal Riset dan Pengembangan Kemristekdikti, Muhammad Dimyati, mengungkapkan, pihaknya telah membuat simulasi dengan penetapan double tax reduction negara tetap untung. Saat ini, kata dia, baru 51 persen industri yang mempunyai unit dan alokasi riset dan pengembangan. Sisanya 59 persen industri tidak melakukan riset tetapi membeli dari luar negeri.

Menurut Dimyati, Revisi UU No 36 Tahun 2008 Tentang Pajak menjadi momentum bagi kita untuk mengusulkan double tax reduction. “Kemristekdikti juga mengusulkan terkait pembeli alat-alat riset diberi perlakuan khusus,” pungkasnya.