Kemnaker Gandeng 9 Perguruan Tinggi

:


Oleh H. A. Azwar, Selasa, 22 Maret 2016 | 09:54 WIB - Redaktur: Gusti Andry - 601


Jakarta, InfoPublik - Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) menggandeng sembilan perguruan tinggi untuk mengurai permasalahan ketenagakerjaan di Indonesia dan membuka perspektif baru pembangunan ketenagakerjaan ke depan yang ideal.

Kesembilan perguruan tinggi yang ikut menandatangani nota kesepahaman itu adalah Universitas Sumatera Utara (Prof. Dr. Runtung Sitepu SH, M.Hum), Universitas Trilogi Jakarta (Dr. M. Rizal Taufikuroman), Universitas Airlangga (Prof. Dr. M. Nasih), Perbanas Institute (Adi Darmawan), Universitas Negeri Yogyakarta (Dr. Ing. Satoto E. Nayano M.Eng), IAIN Jember (Babun Suharto), Center for Indonesia Policy Studies (Anthea Haryoko), Universitas Hasanuddin (Budu) dan Universitas Padjajaran yang berhalangan hadir serta Zanterman Radjagukguk (Puslitbang Kemnaker).

Kesepahaman dan kerjasama dengan para ahli dan akademisi dari Perguruan Tinggi dan kelompok masyarakat sipil baik secara perorangan maupun kelembagaan tersebut, juga untuk mendapatkan grand desain peningkatan kualitas SDM pekerja Indonesia yang lebih baik.

"Para ahli dan akademisi diyakini lebih objektif dan memiliki spectrum lebih luas sehingga mampu melihat dan menemukan sisi lain permasalahan ketenagakerjaan. Harapan selanjutnya kita secara kolektif akan mendapatkan kesimpulan dan rekomendasi kebijakan untuk pemecahan permasalahan secara lebih baik," kata Sekretaris Jenderal Kemnaker Abdul Wahab Bangkona dalam sambutannya yang mewakili Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Muhammad Hanif Dhakiri pada acara penandatanganan nota kesepahaman atau perjanjian kerja bersama (PKB) di kantor Kemnaker, Jakarta, Senin (21/3).

Dalam kesempatan tersebut, dilakukan juga peresmian Team of Policy Research (TPR) Ketenagakerjaan, dan Pembukaan Rapat Kerja Teknis (Rakernis) Penelitian dan Pengembangan Tahun 2016 Barenbang Ketenagakerjaan.

Menurut Wahab, nota kesepahaman dengan sembilan perguruan tinggi tersebut dalam upaya meningkatkan kualitas dan sumber daya pekerja Indonesia  melalui pendidikan dan pelatihan kerja.

Pasalnya, permasalahan bidang ketenagakerjaan yang terjadi di Indonesia sangatlah komplek, maka disadari dalam membangun bidang ketenagakerjaan tidak dapat berdiri sendiri dan harus melibatkan stake holder terkait, termasuk para ahli dan akademisi.

Guna memecahkan berbagai masalah tersebut, perlu didukung data yang akurat. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus diperbaharui, dilaksanakan secara menyeluruh dan berkelanjutan dengan melibatkan serta partisipasi aktif berbagai pihak terkait, ujarnya.

Dijelaskannya, pemerintah berharap semua pihak harus memperkuat fundamental di segala bidang, sehingga tidak mudah goyah dengan berbagai terpaan baik dari luar maupun dalam negeri. Seluruh pemangku kepentingan juga harus selalu waspada terhadap adanya perubahan yang ada dan memprediksi kemungkinan adanya perubahan lingkungan strategis yang akan timbul untuk diantisipasi.

Karena, kondisi ketenagakerjaan tidak dapat steril dari pengaruh lain, baik sosial, ekonomi, politik, maupun budaya, baik yang terjadi di dalam negeri maupun luar negeri, jelas Wahab.

Dalam kesempatan itu, Wahab memberikan apresiasi kepada seluruh akademisi yang bersedia menjadi anggota peneliti TPR (Team of Policy Research) Ketenagakerjaan di tengah kesibukan menjalankan tugas dan fungsi utamanya di perguruan tinggi.

Saya berharap TPR Ketenagakerjan ini dapat menjadi sebuah kaukus yang mampu membantu Kemnaker untuk melihat dan memahami situasi dan kecenderungan ketenagakerjaan secara jernih, dan mengusulkan kebijakan-kebijakan yang logis, arif, serta dapat diterima oleh semua pihak yang berkepentingan, terang Wahab.

Wahab mengungkapkan, hingga saat ini dari sisi kualitas, pekerja Indonesia masih didominasi oleh pendidikan rendah. Bahkan, berdasarkan Sakernas Agustus 2015, penduduk usia kerja berpendidikan SD ke bawah sebanyak 80,11 juta orang atau 43 persen. Sedangkan berpendidikan di atas SLTA hanya 15,82 juta (8,59 persen).

Sedangkan angkatan kerja berpendidikan SD ke bawah masih sebanyak 52,26 juta orang atau 42,70 persen, berpendidikan di atas SLTA baru 13,55 juta (11,07 persen). Hal itu tak jauh berbeda, sudah bekerja yang berpendidikan SD ke bawah sebanyak 50,26 juta orang (44,27 persen). Sedangkan yang berpendidikan di atas SLTA hanya 12,64 juta (11 persen).

Kondisi penduduk yang sudah bekerja pun belum sesuai harapan, karena masih lebih banyak yang bekerja informal yakni 59.38 juta atau 51,7 persen dari 114,8 juta orang yang bekerja, kata Wahab.

Dari data yang dihimpun sejak tahun 2013, penduduk usia muda yang terjun ke pasar kerja sebanyak 16,39 juta dan mengalami kenaikan setahun berikutnya menjadi 15,66juta dan terus melonjak tahun 2015 menjadi 15,75 juta.

Sementara di pihak lain, pada tahun 2013 ditemukan banyak jumlah pengangguran usia muda yakni 4,51 juta dan mengalami penurunan setahun berikutnya menjadi 4,47 juta. Namun, di tahun 2015 kembali melonjak menjadi 4,60 juta. Pengangguran usia muda ini seharusnya masih bersekolah/kuliah, sehingga mestinya mereka itu masih tergolong bukan angkatan kerja.

Mereka sesungguhnya masih memerlukan peningkatan kualitas dan produktivitas melalui pendidikan dan pelatihan kerja. Tetapi, ketika terlalu dini (usia sangat muda) masuk ke pasar kerja, maka mereka dapat langsung terjerumus dalam kemiskinan structural, tukas Wahab.

Seperti diketahui, Pasal 27 ayat (2) UU NRI 1945 mengamanatkan “Setiap  warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.  Kemudian telah dijabarkan ke dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang pada intinya mengatur peningkatan kualitas tenaga kerja dan peransertanya dalam pembangunan serta peningkatan perlindungan tenaga kerja dan keluarganya sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan.