Awas Bencana, Bulan Ini Puncak Musim Hujan

:


Oleh H. A. Azwar, Kamis, 25 Februari 2016 | 23:23 WIB - Redaktur: R. Mustakim - 683


Jakarta, InfoPublik - Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengingatkan, Bulan Februari adalah puncak musim hujan 2015/2016.

Menurut Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho, biasanya bulan Januari merupakan puncak musim penghujan sehingga bencana banjir, longsor dan puting beliung juga paling banyak terjadi selama Januari.

Namun, adanya pengaruh El Nino telah menyebabkan anomali, dimana selama Januari tebal hujan lebih rendah dan sebaran hujan tidak merata, kata Sutopo, Kamis (25/2).

Dijelaskannya, diprediksikan intensitas hujan pada bulan Februari tinggi hingga sangat tinggi, khususnya berpeluang terjadi di sebagian Sumbar, Jambi, Sumsel, Bengkulu, Lampung, seluruh Jawa, Bali, NTB, NTT, Sulsel, Sulbar, Sulteng, Sultra, Papua dan Papua Barat.

Daerah-daerah ini ancaman banjir, longsor dan puting beliung berpotensi tinggi. Bukan berarti daerah-daerah lain sudah aman. Ancaman juga tetap tinggi, meskipun hujan lokal akan lebih berperan yang menyebabkan bencana, jelas Sutopo.

Menurutnya, sesuai dengan data sejarah kebencanaan di Indonesia, 96 persen bencana adalah bencana hidrometerorologi yaitu bencana yang disebabkan pengaruh cuaca seperti banjir, longsor, putting beliung, cuaca ektrem, kekeringan, dan kebakaran hutan dan lahan. “Banjir, longsor dan puting beliung adalah jenis bencana yang paling dominan,” ujarnya.

Ditambahkannya, trend kejadian ketiga jenis bencana tersebut terus meningkat dari tahun ke tahun. Dampak perubahan iklim global secara siginifikan telah merubah pola curah hujan, baik pada perubahan intensitas, durasi dan tebal hujan.

Saat ini frekuensi hujan dengan intensitas tinggi semakin sering terjadi. Hal ini disebabkan volume awan-awan orografik telah bertambah besar volumenya sehingga uap air yang dikandung oleh awan-awan tersebut semakin besar juga, imbuhnya.

Meningkatnya suhu di atmosfer telah menyebabkan puncak-puncak awan orografik, khususnya awan Cumolonimbus telah makin tinggi sehingga energi yang ada dalam awan tersebut bertambah besar.

Makin tinggi intensitas hujan, maka daya pukul terhadap permukaan tanah juga makin besar. Daya tampung dan daya dukung lingkungan tidak mampu mengalirkan aliran permukaan secara bersamaan sehingga banjir, kata Sutopo.

Dijelaskannya, hujan adalah pemicu terjadinya banjir dan longsor. Namun faktor yang paling berperan menyebabkan banjir dan longsor adalah faktor antropogenik atau pengaruh ulah manusia.

Makin rusaknya lingkungan seperti meluasnya lahan kritis, daerah aliran sungai kritis, rendahnya persentase ruang terbuka hijau dan hutan, berkembangnya permukiman di dataran banjir, pelanggaran tata ruang, buruknya pengelolaan sampah, sedimentasi, budi daya pertanian di lereng-lereng perbukitan atau pegunungan tanpa kaidah konservasi, dan lainnya telah menyebabkan wilayah makin rentan terhadap banjir dan longsor, jelasnya.

Politik lokal, tambahnya, juga makin meningkatkan kerentanan, dimana makin merebak izin usaha pertambangan di bagian hulu daerah aliran sungai, minimnya pendanaan untuk pengurangan risiko bencana, terbatasnya staf profesional yang ditempatkan pada jabatan-jabatan strategis dan lainnya.

Selain itu, menurut Sutopo, akumulasi dari berbagai masalah, dimana meningkatnya faktor-faktor penyebab dibandingkan dengan upaya pengelolaan lingkungan telah menyebabkan wilayah makin rentan.

Saat musim hujan, seolah-olah menjadi menakutkan karena akan muncul bencana banjir, longsor dan puting beliung yang selalu timbul korban jiwa. Begitu pula sebaliknya, saat masuk musim kemarau, muncul ketakutan akan terjadinya bencana asap akibat kebakaran hutan dan lahan, pertanian puso, krisis air dan kekeringan lain.

“Jika hal ini dibiarkan maka bencana hidrometeorologi akan makin meningkat kejadian dan dampaknya,” paparnya.

Menurutnya, hingga saat ini, dari 1 Januari 2016 hingga 12 Februari 2016, telah terjadi bencana banjir, longsor dan puting beliung di 290 kabupaten/kota di Indonesia. Dampak yang ditimbulkan 45 orang meninggal dunia, 48 orang luka-luka, hampir satu juta jiwa mengungsi, dan ribuan rumah rusak.

Ini adalah data sementara yang pasti akan meningkat karena pendataan saat darurat bencana seringkali belum dapat dilakukan dengan baik, ujarnya.