Menaker-DPR Sepakat Bentuk Panja RUU Perlindungan Pekerja

:


Oleh H. A. Azwar, Rabu, 3 Februari 2016 | 23:32 WIB - Redaktur: R. Mustakim - 483


Jakarta, InfoPublik - Kementerian Ketenagakerjaan dan Komisi IX DPR sepakat membentuk Panitia Kerja RUU tentang Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri (PPILN).

Kesepakatan tersebut dihasilkan setelah Kemnaker dan Komisi IX DPR melakukan rapat kerja. Raker dipimpin langsung ketua Komisi IX DPR Dede Yusuf, Wakil Ketua Syamsul Bachri, Asman Abnur dan Hj Ermalena.

Menteri Ketenagakerjaan Muhammad Hanif Dhakiri mengatakan, sesuai kesepakatan dalam raker sebelumnya ditetapkan pembahasan Panja akan selesai dalam dua kali masa persidangan tahun ini.

Sesuai kesepakatan persidangan sebelumnya, setelah disusun jadual bersama dalam pekan ini, panja akan membahas RUU PPILN dan akan selesai dalam dua kali masa persidangan, kata Hanif, Rabu (3/2).

Menurut Hanif, Undang-Undang Nomor 39 tahun 2004 sebagai dasar RUU PPILN, saat ini telah berusia hampir dua belas tahun. Dua belas tahun adalah waktu yang cukup panjang untuk melakukan penilaian, evaluasi serta kemudian menetapkan pembaharuan dan perbaikan.

Kami meyakini dengan pembahasan RUU PPILN, inilah momentum kita menyusun tata kelola migrasi dan perlindungan TKI yang berbeda secara signifikan dari yang ada saat ini, ujar Hanif.

Pemerintah lanjut Hanif, beranggapan bahwa sedapat mungkin undang-undang yang dihasilkan nanti memuat hal-hal yang baru, yang berbeda, sarat berisi terobosan atau breakthrough, dalam memberi perlindungan dan kepastian.

Pemerintah berharap diakhir pembahasan ini, dapat lahir undang-undang dengan karakter yang sama sekali baru. Kami akan sangat mengapresiasi para anggota dewan yang bersama pemerintah berkomitmen meningkatkan perlindungan TKI, imbuhnya.

Hanif menjelaskan, pemerintah berjuang agar negara dapat selalu hadir untuk mengurus rakyat dengan sebaik-baiknya. Dalam konteks substansi undang-undang ini, inti kehadiran negara bukanlah bermakna negara hadir secara fisik dalam seluruh proses migrasi dari hulu ke hilir, dari TKI ke luar rumah hingga pulang.

Makna kehadiran negara adalah memberi perlindungan dan kepastian. Kepastian dan perlindungan ini meliputi soal penyederhanaan tata kelola migrasi, distribusi informasi yang memadai, standarisasi dan akreditasi kelembagaan, pengawasan yang keras dan konsisten serta advokasi bagi anak-anak kita yang bermasalah di luar negeri, jelas Hanif.

Penyederhanaan tata kelola dan proses migrasi tenaga kerja menjadi inti dari gagasan pemerintah untuk undang-undang baru ini. Dengan tata kelola yang lebih sederhana namun tetap aman, maka aspek perlindungan dan kepastian dapat terpenuhi sekaligus, baik bagi TKI maupun pelaku usaha.

Di samping penegakan hukum, tata kelola yang sederhana adalah senjata dalam perang besar kita melawan migrasi ilegal dan perdagangan orang.

Hanif meyakini bahwa undang-undang yang baru nanti akan menghasilkan pergeseran peran dari para pemangku kepentingan. “Peran pemerintah daerah sudah semestinya diperkuat. Sementara peran pelaku usaha menjadi lebih terkurangi. Para calon TKI pun selayaknya kita berikan kemandirian dalam berproses, dengan menyiapkan lebih banyak pilihan, tanpa mengurangi aspek perlindungan dan kepastian,” terang Hanif.

Menurut Hanif, pemerintah berharap, dalam era ekonomi digital ini, pelayanan dapat sepenuhnya bersifat online hingga ke kantong-kantong daerah.

Pola-pola pelayanan yang bersifat manual, konvensional, dengan banyaknya tatap muka, harus dikurangi. Kami berharap ketentuan baru ini meletakkan dasar-dasar bagi pola pelayanan migrasi tenaga kerja yang lebih modern dan akuntabel, ujarnya.

Sementara Dede Yusuf mengatakan Undang-undang Perlindungan Pekerja ini nantinya harus bisa memberikan manfaat bagi TKI formal dan TKI profesional.

“Minggu ini akan tetapkan jadual bersama dan setelah itu melakukan konsinyering  beberapa kali. Selanjutnya akan diselesaikan dalam dua kali masa persidangan,” kata Dede Yusuf.