OPSI Minta Pekerja Dilibatkan dalam Menyiapkan Aturan Ketenagakerjaan KEK

:


Oleh H. A. Azwar, Rabu, 27 Januari 2016 | 09:44 WIB - Redaktur: R. Mustakim - 494


Jakarta, InfoPublik - Saat ini Kementerian Ketenagakerjaan sedang mempersiapkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan sebagai aturan turunan dari Peraturan Pemerintah No 96 Tahun 2015 tentang Fasilitas dan Kemudahan di Kawasan Ekonomi Khusus.

Adapun PP No 96 tahun 2015 yang ditandatangani oleh Presiden Jokowi tanggal 21 Desember 2015 merupakan turunan dari UU No 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus.

PP No 96 memberikan fasilitas dan kemudahan bagi badan usaha serta pelaku usaha di KEK, meliputi: perpajakan, kepabeanan dan cukai; lalu lintas barang; ketenagakerjaan; keimigrasian; pertanahan; perizinan dan non perizinan.

Khusus masalah Ketenagakerjaan, UU No 39 Tahun 2009 mengatur masalah Ketenagakerjaan di Pasal 41 sampai Pasal 47, sementara PP No 96 Tahun 2015 mengatur Fasilitas dan Kemudahan Ketenagakerjaan di Pasal 34 sampai Pasal 61.

Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) yang akan dibuat ini merupakan amanat Pasal 46 UU No 39 tahun 2009 dan Pasal 59 PP No 96 Tahun  2015, yaitu khusus untuk mengatur tentang forum komunikasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh (SP/SB) yang dapat dibentuk di suatu perusahaan yang memiliki minimal dua SP/SB.

Pembahasan aturan turunan PP 96 Tahun 2015 melalui Permenaker ini harus melibatkan SP/SB sehingga Permenaker tersebut tidak merugikan hak berserikat pekerja/buruh di tempat kerja di KEK, tegas Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar di Jakarta, Rabu (27/1).

Sebelum pembuatan Permenaker tersebut, Timboel mengkritisi beberapa hal dari isi regulasi UU No 39 tahun 2009 dan PP No 96 Tahun 2015, seperti insentif ketenagakerjaan yang lebih diflexibelkan untuk menarik para investor.

“Insentif Ketenagakerjaan ini akan berpotensi bertabrakan dengan hak-hak pekerja atau buruh untuk berserikat, bernegosiasi dan hak untuk hidup sejahtera beserta dengan keluarganya,” kata Timboel.

Timboel juga secara khusus meminta Kemnaker membenahi beberapa hal yaitu:

  1. Pembahasan Permenaker ini harus melibatkan SP/SB sehingga Permenaker tersebut tidak merugikan hak berserikat pekerja/buruh di tempat kerja di KEK
  2. Bahwa pembentukan Forum Komunikasi ini adalah bersifat sukarela karena Pasal 46 UU No. 39 Tahun 2009 dan Pasal 59 PP No 96 Tahun 2015 menggunakan kata “DAPAT”, dan oleh karena itu Permenaker jangan mengarahkan pembentukan Forum Komunikasi SP/SB ini sebagai sesuatu yang harus dilakukan di tempat kerja
  3. Bahwa Permenaker tersebut harus menyerahkan hal-hal teknis tentang keanggotaan forum komunikasi tersebut kepada SP/SB di tempat kerja. Permenaker ini tidak perlu mengatur sesuatu yang bisa mengamputasi kewenangan SP/SB dalam memilih anggotanya di forum komunikasi tersebut, dan bisa berpotensi terjadi perselisihan antar SP/SB di tempat kerja
  4. Bahwa fungsi dan tugas Forum Komunikasi ini jangan disamakan dengan fungsi dan tugas Lembaga Kerjasama Triparti Khusus

Dari draf Permaker yang pernah saya lihat, tugas dan fungsi Forum Komunikasi ini diarahkan seperti fungsi dan tugas Lembaga Kerjasama Tripartit Khusus, pungkas Timboel.

Sementara itu, Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (PHI-Jamsos) Kemnaker Haiyani Rumondang menargetkan, semua aturan khusus terkait dengan ketenagakerjaan tersebut bisa diselesaikan secepatnya.

“Kami menargetkan semua aturan turunan dari PP No 96 tersebut kelar tahun ini,”  ujar Haiyani, Senin (25/1).

Menurut Haiyani, aturan turunan tersebut ditujukan untuk mengatur lebih teknis sektor ketenagakerjaan yang berada di wilayah KEK agar tidak ada perbedaan tafsir. “Nanti, aturan turunan tersebut akan dituangkan dalam bentuk Peraturan Menteri Ketenagakerjaan,” ujarnya.