BKSAP DPR RI Soroti Pentingnya Pendanaan Iklim yang Mencerminkan True Cost

: Wakil Ketua BKSAP DPR RI, Ravindra Airlangga (kanan), saat mengikuti Parliamentary COP29 di Baku, Azerbaijan,./Foto Humas BKSAP DPR RI


Oleh Wandi, Minggu, 17 November 2024 | 21:01 WIB - Redaktur: Untung S - 170


Jakarta, InfoPublik – Wakil Ketua Badan Kerja Sama Antar-Parlemen (BKSAP) DPR RI, Ravindra Airlangga, menekankan pentingnya pendanaan iklim yang lebih mencerminkan true cost untuk mendukung upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim global.

Pernyataan itu disampaikan dalam forum Parliamentary COP29 yang berlangsung di Baku, Azerbaijan. Ravindra mengungkapkan bahwa negara-negara berkembang adalah pihak yang paling terdampak oleh perubahan iklim, meskipun kontribusi mereka terhadap emisi karbon jauh lebih kecil dibandingkan dengan negara-negara maju.

"Sebanyak 79 persen dari emisi CO₂ historis berasal dari segelintir negara maju. Namun, negara berkembang yang justru menanggung dampak terbesarnya. Oleh karena itu, komitmen pendanaan dari negara-negara maju yang diinisiasi oleh UNFCCC menjadi hal penting yang harus terus diperjuangkan dan dilaksanakan," ujar Ravindra dalam keterangan tertulis yang diterima InfoPublik pada Minggu (17/11/2024).

Ravindra juga menyoroti prediksi dari Potsdam Institute of Climate Change yang menyatakan bahwa kerugian tahunan akibat perubahan iklim dapat mencapai hampir setengah dari PDB dunia pada 2050. “Dengan dampak yang semakin besar ini, negara-negara berkembang harus mendapatkan dukungan pendanaan iklim yang adil dan sesuai dengan kebutuhan mereka,” ujar Ravindra.

Komitmen Indonesia dalam Pengurangan Emisi

Indonesia, yang berkontribusi sekitar 1,7 persen dari total emisi global berdasarkan Global Climate Atlas 2021, tetap berkomitmen kuat dalam Nationally Determined Contribution (NDC) untuk mengurangi emisi hingga 31,89 persen dengan upaya mandiri, dan 43,2 persen dengan dukungan internasional pada tahun 2030. "Dukungan pendanaan iklim dari negara maju harus mencerminkan 'true cost', dengan proyeksi kebutuhan pendanaan global mencapai 5,7 hingga 5,8 triliun dolar AS per tahun," jelasnya.

Selain itu, Ravindra mengusulkan beberapa instrumen keuangan inovatif untuk mendukung pembiayaan iklim, di antaranya:

  • Climate Resilient Debt Clause: Mengintegrasikan klausul yang memungkinkan negara untuk menunda pembayaran utang saat terjadi bencana terkait iklim.
  • Loss and Damage Fund: Dana yang dirancang untuk membantu negara-negara berkembang menghadapi kerugian akibat bencana iklim.
  • Carbon Credit Financing: Memanfaatkan mekanisme kredit karbon sebagai alat pembiayaan proyek mitigasi iklim.

Ravindra juga mendorong pengembangan konsep “Ecosystem as a Service”, sebuah pendekatan untuk menciptakan pasar global yang mendukung pelestarian lingkungan dan pengelolaan ekosistem. "Instrumen ini akan memberikan insentif bagi sektor publik dan memperkuat kapasitas negara-negara berkembang dalam mitigasi perubahan iklim," pungkas Ravindra.

Komitmen yang disampaikan oleh Ravindra di forum Parliamentary COP29 itu diharapkan dapat memberikan kontribusi signifikan dalam menciptakan solusi kolektif yang adil dan berkelanjutan untuk mengatasi tantangan perubahan iklim global. Dengan kerjasama internasional yang lebih kuat, negara-negara berkembang dapat lebih siap menghadapi dampak perubahan iklim yang semakin mengkhawatirkan.

 

Berita Terkait Lainnya

  • Oleh Pasha Yudha Ernowo
  • Minggu, 17 November 2024 | 20:55 WIB
Mendikdasmen Tekankan Pentingnya SDM Unggul untuk Kemajuan Bangsa di Kudus
  • Oleh Mukhammad Maulana Fajri
  • Kamis, 14 November 2024 | 18:35 WIB
Pertamina Bangun 114 Desa Energi Bersih untuk Percepat Transisi Energi