- Oleh Mukhammad Maulana Fajri
- Senin, 16 Desember 2024 | 13:35 WIB
: Ilustrasi pimpinan sidang pada sidang perdana pengujian materiil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terhadap Undang – Undang Dasar 1945 (UUD 1945)/ foto:You TubeMK
Oleh Mukhammad Maulana Fajri, Selasa, 15 Oktober 2024 | 18:14 WIB - Redaktur: Untung S - 294
Jakarta, InfoPublik – Mahkamah Konstitusi (MK) siap menggelar sidang perdana pengujian materiil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terhadap Undang – Undang Dasar 1945 (UUD 1945).
Sidang tersebut menguji terkait pasal penghinaan kepada Presiden dengan agenda Pemeriksaan Pendahuluan. Permohonan idengan nomor perkara 143/PUU-XXII/2024 ini diajukan oleh Muhammad Amir Rahayaan dan dua rekannya.
Berdasarkan siaran pers MK pada Selasa (15/10/2024), menurut Para Pemohon, Pasal 218 dan Pasal 219 UU Nomor 1 Tahun 2023 tidak tepat diterapkan dalam sistem negara demokrasi berbasis republik seperti Indonesia.
Pasal 218 ayat (1) menyatakan bahwa seseorang yang menyerang kehormatan atau martabat Presiden atau Wakil Presiden di muka umum dapat dipidana penjara hingga 3 tahun 6 bulan atau didenda. Ayat (2) menyatakan bahwa tindakan tersebut tidak dianggap sebagai penghinaan jika dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri. Sementara Pasal 219 mengatur pidana hingga 4 tahun 6 bulan bagi mereka yang menyebarluaskan tulisan atau gambar yang menghina Presiden atau Wakil Presiden melalui media informasi.
Pemohon berpendapat bahwa pasal-pasal tersebut lebih sesuai untuk sistem negara monarki yang menerapkan konsep "Lèse Majesté", yaitu perlindungan hukum khusus terhadap penguasa. Di negara demokrasi, Presiden dan Wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat dan bukanlah simbol negara seperti dalam monarki. Oleh karena itu, pengaturan tersebut dianggap tidak relevan dan berpotensi menimbulkan kediktatoran serta membatasi kebebasan berpendapat.
Pemohon juga menyatakan bahwa penggunaan konsep "Primus Interpares" atau "yang pertama di antara yang setara" untuk melindungi kehormatan Presiden dan Wakil Presiden tidak sesuai. Prinsip ini, menurut mereka, lebih tepat diterapkan pada hak-hak istimewa dalam menjalankan tugas kepresidenan, seperti memberikan grasi atau amnesti, bukan pada pengaturan penghinaan. Selain itu, mereka berpendapat bahwa pasal-pasal ini bertentangan dengan asas kesetaraan di depan hukum ("Equality Before the Law") karena memberikan perlindungan khusus yang tidak seharusnya ada di dalam sistem demokrasi.
Dalam petitumnya, Para Pemohon memohon agar MK mengabulkan permohonannya secara keseluruhan. Para Pemohon berargumen bahwa Pasal 218 ayat (1) dan (2), serta Pasal 219 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 bertentangan dengan UUD 1945, sehingga perlu dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat